Selasa, 01 Mei 2012

MANUSIA DAN TUHAN (Bagian I)


Setelah menyadari bahwa menalar Tuhan adalah hal yang dapat dilakukan, dan setelah dapat dirumuskan jalan-jalan yang dapat ditempuh menuju Tuhan, perlu dilakukan sebuah pengenalan terhadap konsep-konsep filsafat yang menguraikan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, dalam hal ini dunia. Konsep-konsep filsafat yang dimaksud bukanlah konsep dalam pengertian kaku, melainkan lebih tepat disebut sebagai pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan bagaimana manusia dapat berbicara tentang Tuhan dalam keterbatasan manusia. Lantas dengan keterbatasan manusia untuk memahami Tuhan, bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia, dan bagaimana Tuhan yang tidak terbatas itu dapat berhubungan baik dengan manusia yang sangat terbatas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting, karena pada kenyataannya, yang superior akan menguasai yang inferior; ciptaan akan dikuasai Pencipta; dan yang inferior tidak mungkin bisa memahami yang superior secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini secara sistematis pada setiap anak judul.


I. MEMBICARAKAN TUHAN DENGAN BAHASA MANUSIA
Bagaimana mungkin manusia yang sangat terbatas menggunakan bahasa yang juga sangat terbatas untuk berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas? Pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab, sebab dituntut sebuah argumen ketat berdasarkan bukti kemampuan berbahasa manusia. Wittgenstein dalam Suseno (2006, hlm. 185) menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat diperkatakan, orang harus diam.” Namun secara logis, tidak berarti bahwa manusia tidak mampu memperkatakannya. Apalagi wacana tentang Tuhan yang sudah melekat dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan orang beragama, dalam tatanan sosial dan masyarakat. Manusia beriman dan beragama seharusnya terpanggil untuk mencoba memperkatakannya, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya atas iman yang dianutnya.
Harus diakui, keterbatasan bahasa manusia hanyalah salah satu dari berbagai keterbatasan yang ada untuk berbicara tentang Tuhan. Misalnya pengalaman. Tidak ada manusia yang memiliki pengalaman dalam mengamati Tuhan. Pengalaman Tuhan adalah pengalaman transendental, sementara bahasa manusia sangat terbatas pada objek-objek inderawi, yang dibatasi ruang dan waktu. Padahal, Tuhan secara nyata tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak juga dapat dikategorikan sebagai objek inderawi. Dengan demikian, bahasa manusia hampir tidak mungkin digunakan untuk berbicara tentang Tuhan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk berbicara tentang Tuhan adalah bahasa dialektis (Suseno, 2006, hlm.187). Bahasa dialektis artinya bahwa dalam berbicara tentang Tuhan, manusia dituntut untuk memberikan pernyataan, kemudian dapat menyangkal pernyataannya, dan akhirnya membetulkan pernyataannya. Memberikan pernyataan artinya, manusia tidak lagi perlu ragu dalam memberitahukan apa yang diketahuinya tentang nilai-nilai Ketuhanan. Misalnya Tuhan itu Baik, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Ada. Semua itu dapat dinyatakan oleh manusia karena manusia menyadari bahwa Tuhan itu adalah realitas mutlak personal. Sehingga pastilah tidak ada nilai negatif dalam diri-Nya (Suseno, 2006, hlm. 187). Dengan demikian, manusia dituntut untuk menyangkal segala atribut negatif yang diberikan kepada Tuhan. Setelahnya, manusia dapat memahami Tuhan dengan jalan transendensi. Transendensi karena melamapui pemahaman yang terbatas. Manusia tidak terkotak lagi dengan pemahaman yang keliru dan terbatas. Ini adalah proses yang dapat berkelanjutan dan untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Tuhan, manusia diharapkan mampu melakukannya.
Berbicara tentang Tuhan dengan bahasa dialektis mengantarkan manusia untuk melampaui segala keterbatasannya untuk memahami Tuhan yang tidak terbatas. Kiranya jelas bahwa manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan dengan bahasa yang bermakna ganda (ekuivok) maupun bahasa yang bermakna tunggal (univok). Sebab dengan menggunakan kedua bahasa itu, manusia sangat mereduksi Tuhan itu sendiri. Jalan yang paling mungkin digunakan manusia adalah bahasa analog. Dengan menggunakan bahasa analog, manusia dapat berbicara tentang Tuhan dengan tidak membatasi Tuhan berdasarkan definisi manusia itu sendiri. Bisa saja sama dengan apa yang dibicarakan, namun bisa saja berbeda. Dasar analoginya adalah bahwa segala pengada bersatu dalam kemengadaan (Suseno, 2009, hlm. 190). Sampai disinilah batas manusia untuk dapat berbicara tentang Tuhan.


II. TUHAN SEBAGAI PENCIPTA: TRANSENDEN DAN IMANEN
Kiranya telah jelas bahwa manusia terbatas untuk berbicara tentang Tuhan, tapi dapat berbicara tentang Tuhan secara analog. Pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana hubungan Tuhan dengan alam semesta yang diciptakannya?
Tuhan adalah Pencipta. Jika dia adalah Pencipta, maka Ia independen, tidak bergantung pada ciptaan-Nya, karena tokh Ia bisa menolak untuk menciptakan dan merusak ciptaan-Nya. Tuhan itu menciptakan dalam arti creation ex nihilo. Ia menciptakan alam semesta dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Maka Ia adalah transenden. Hubungannya dengan manusia adalah hubungan transendensi. Pencipta memiliki kesatuan transendensi dengan ciptaan-Nya (Suseno, 2009, hlm. 192-193).
Hal ini disorot oleh deisme. Tuhan adalah pencipta, dan akhirnya Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya sendirian, tanpa pemeliharaan Tuhan. Deisme menolak adanya campur tangan Tuhan pada alam semesta. Namun paham ini sama sekali tidak kuat karena jika alam raya dapat eksis tanpa campur tangan Tuhan, bahkan tanpa diciptakan oleh Tuhan pun, alam raya seharusnya ada. Maka tidak mungkin Tuhan menciptakan, lantas meninggalkannya. Sebab alam semesta nyata-nyata bukan mutlak, tetapi diciptakan.
Tapi pada kenyataannya tidak dapat ditolak bahwa sebenarnya Tuhan tidak terpisah jauh sekali dari ciptaan-Nya. Karena salah satu sifatnya adalah sebagai penyayang, Pencipta itu memelihara ciptaan-Nya terus menerus. Itu artinya, Tuhan juga terlibat banyak dengan ciptaan-Nya. Ia memiliki kesatuan imanen dengan ciptaan-Nya, karena dengan campur tangannya untuk memelihara ciptaan-Nya, Tuhan juga ada di dalam ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia transenden sekaligus imanen? Karena Ia adalah realitas mutlak. Ia dapat di mana-mana ada (imanen), sekaligus di mana-mana tidak ada (transenden) (Suseno, 2009, hlm. 193-194).


III. KEMAHAKUASAAN TUHAN DAN KEBEBASAN MANUSIA
Intinya begini. Manusia jelas adalah ciptaan. Manusia lebih lemah daripada Tuhan yang Maha Kuasa dan superior. Lantas bagaimana manusia yang dipelihara oleh Tuhan bisa menjadi manusia yang bebas jika Tuhan itu sendiri Maha Kuasa, superior dan sangat hebat. Bagaimana mungkin ada hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan jika terdapat perbedaan kekuasaan yang sangat besar di antara keduanya?
Untuk menjawabnya, dapat dilakukan beberapa pendekatan dengan argumentasi. Keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa justru membuat manusia semakin hebat, atau dengan kata lain, Tuhan sebenarnya memberdayakan manusia, bukan memperdaya manusia. Tuhan menjadikan manusia memiliki daya untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Tuhan tidak memperdaya manusia, karena Tuhan tidak bersaing dengan manusia. Manusia dan Tuhan memiliki “area” perjuangan yang berbeda, sehingga tidak mungkin bersaing kemudian saling memperdaya. Yang ada hanyalah bahwa Tuhan memberdayakan manusia. Hal ini menjadi mungkin karena Tuhan itu Maha Kuasa. Ia mampu membuat manusia memiliki daya yang penuh. Dengan daya yang dimilikinya, manusia kemudian mampu menentukan pilihan secara bebas dan sangat bebas. Peran Tuhan dalam kebebasan manusia adalah memberikan nilai atau bobot terhadap pilihan manusia. Bobot itu menjadi acuan yang baik. Sehingga dengan adanya Tuhan yang Maha Kuasa, kebebasan manusia menjadi lebih bermakna, penuh arti. Kuasa manusia semakin bernilai dan makin berbobot.
Refleksi filosofis tentang Kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia di atas bukan tanpa cacat. Kerja sama antara Pencipta dan ciptaan, antara Kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia tidak mudah dianalisis (Leahy, 1994, hlm. 229; Suseno, 2006, hlm. 215). Sebab bagaimana manusia yang mandiri dan punya daya harus bergantung pada Tuhan? Mengapa harus bekerja sama jika mandiri. Namun justru di sinilah letak Kemahakuasaan Tuhan. Manusia tidak mengerti bagaimana cara-Nya bekerjasama dengan manusia. Terlebih lagi, jika pengertian tentang “kebebasan manusia” sama sekali dalam pengertian yang terbatas. Sebab sebenarnya, kebebasan manusia itu bukan kebebasan yang tak beraturan tanpa nilai dan norma. Di sinilah letak keterbatasan manusia berbicara tentang kaitan Tuhan yang Maha Kuasa dengan kebebasan manusia.

Sumber:Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta/ Jakarta: Penerbit Kanisius/ BPK Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar