Rabu, 06 Juni 2012

Budaya Bangsa VS Budaya Gaga

Saya memang peragu menuliskan pemikiran saya di blog. Meski saya menyadari bahwa acap kali gagasan kritis saya berguna. Namun persoalan waktu adalah persoalan yang ternyata tidak terlalu besar:-) LAMBAT karena ada yang ditunggu, CEPAT karena ada yang hendak dikejar.

Lady GAGAL memang tidak jadi konser di Indonesia. Pihak manajemennya membatalkan rencana konsernya. FPI mengadakan pesta syukuran karena konser tersebut batal, dan ratusan penggemar seni Gaga sedih, namun tak sedikit pula dari mereka akhirnya menyaksikan konser sang Gaga di Singapura. Kepolisian pun lebih lega karena potensi kericuhan berkurang di Indonesia.

Terdapat berbagai situasi yang menarik untuk disorot dari kacamata kritis.

Pertama, BUDAYA. Ternyata, budaya sebuah negara yang berdaulat bisa dengan mudahnya akan dirubah oleh budaya seorang gadis berusia 26 tahun, bukan nasionalis, bukan pemikir, maupun politikus--melainkan hanya seorang penyanyi. Hal-hal seperti ini tampaknya semakin sering terjadi. Penyanyi rumahan mengorbit seketika menjadi penyanyi papan atas; pelantun lagu Korea yang liriknya pun tak kita pahami dengan mudahnya mengubah gaya hidup remaja bahkan dewasa kini. Memang bukan mustahil jika budaya sebuah bangsa dapat dipengaruhi dengan kuat oleh seorang penyanyi. Namun itu hanya sekarang terjadi. Dulu, perubahan-perubahan besar seperti ini dilakukan oleh Karl Marx, Marcuse, Horkheimer, Adam Smith, Nelson Mandela, dan Soekarno. Hal lain yang patut dipikirkan adalah, setelah seminggu Lady Gaga gagal konser di Indonesia, apakah budaya bangsa ini masih baik? Apakah budaya bangsa itu? Sudah lama budaya bangsa ini tak dirumuskan.

Kedua, DUNIA TANPA BATAS. Tampaknya mudah bagi Gaga mengorbitkan namanya ke seluruh dunia. Saya teringat dengan Alexander the Great yang namanya pun meroket saat berusia semuda Lady Gaga. Tentu banyak juga yang sekelas Lady Gaga, seperti Justin Bieber, Connie Talbot, dan Michael Jackson. Begitu konsernya gagal diadakan di Senayan, dengan mudahnya para penggemarnya segera nongkrong di Singapura untuk menyaksikan konser akbar tersebut. Singapura memang negara yang sangat terbuka. Sejarah bangsanya menunjukkan bahwa jika mereka menjadi negara yang tertutup, maka tidak akan ada kemajuan. Namun di sisi lain, perbatasan negara, misalnya perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan dan Kepri, serta perbatasan Indonesia dengan Singapura di Kepri masih terus dalam situasi panas. Caplok mencaplok lahan, hingga penyeludupan-penyeludupan. Indonesia mengklaim bahwa batas bagian dalam wilayahnya adalah MILIK negara. Kenyataannya, rakyat perbatasan tak selamanya punya tanah sendiri. Tidak pun memiliki laut maupun harta lainnya. Kepemilikan tanah dan air di perbatasan sudah jelas-jelas dimiliki oleh segelintir orang kaya, para investor. Lantas, masih relevankah batas-batas antar negara jika pada kenyataannya dunia sedang menuju pada kondisi tanpa batas? Apakah makna sebuah batas? What is border?

Ketiga, TATA HIDUP BERSAMA. John Locke justru menegaskan bahwa tata hidup bersama itu penting. Setiap orang harus meletakkan haknya untuk menjamin langgengnya kehidupan bersama. Sebagian rakyat berpesta, sebagian rakyat menangis. Kaum mayoritas menekan kaum minoritas. Kaum minoritas menolak kaum mayoritas. Di manakah sang Leviathan yang berjanji menjaga perjanjian rakyatnya? Maka masihkah relevan sebuah tata hidup bersama dalam kondisi seperti ini?



Salam secangkir kopi!
Toast dari STF Driyarkara

Rabu, 02 Mei 2012

Fenomena Dunia Menjepit

Kemarin, di perjalan menuju kampus, seorang teman bercerita panjang lebar sepanjang perjalanan yang mengambil waktu lebih dari setengah jam. Ia seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sedang dipercaya untuk ngurusin SDM. Ceritanya mulai dari kompetensi pegawai, dosen, penggajian, assesment, hingga skill masing-masing pegawai yang akan diberikan jabatan. Singkatnya, ceritanya hari itu bisa dibilang seperti laporan lengkap diskusinya dengan pimpinan universitas.

Ya... Dari cerita itu saya simpulkan, sebenarnya persoalan yang dihadapi setiap organisasi hampir mirip satu sama lain, tak memandang apakah itu profit oriented atau bukan. Yang pasti, persoalan SDM memang nggak jauh-jauh dari kompetensi, gaji, jabatan, dan jam kerja. Persoalannya menjadi sedikit bervariasi karena ada stigma tertentu terhadap seseorang. Misalnya pimpinan berkata: "sebenarnya dia mampu... Tapi dulu dia pernah terlibat kasus A, B, C..." Persis, pelabelan. Bahkan label terhadap seseorang berperan sentral dalam bidang SDM, mau atau tidak; sadar atau tidak sadar.

Sejenak saya mengambil jarak dari cerita tersebut. Memandang dari jauh untuk menemukan angle yang menarik dari berbagai fenomena pengelolaan SDM itu.

Faktanya, sebuah organisasi dibentuk untuk dapat berkompetisi atau bekerjasama dengan organisasi lain. Organisasi terdiri dari banyak individu yang disatukan. Lantas bagaimana jika organisasi terdiri dari individu-individu yang saling mencurigai, saling bersaing, saling menerkam dan malah membentuk kelompok-kelompok kecil di dalam sebuah organisasi? Inilah yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini.

Mencurigai, bersaing, saling mendahului, saling menguasai--adalah sifat dasar manusia menurut Hobbes, Freud, dan berbagai filsuf maupun ahli psikologi lainnya. Manusia berbuat demikian untuk mencapai tujuan pribadinya. Namun seharusnya berbeda bila setiap individu membentuk organisasi yang merupakan kesatuan setiap individu yang memiliki tujuan yang sama, tujuan yang besar, yang hanya bisa dicapai jika bersama-sama. Setiap individu harus mengorbankan keinginan pribadinya untuk mencapai keinginan bersama. Idealnya, tujuan setiap individu seharusnya sama dengan tujuan organisasi.

Universitas bertujuan untuk mendidik. Maka sepatutnya seluruh karyawannya memiliki passion dan tujuan pribadi untuk mendidik. Perusahaan bertujuan meraih keuntungan. Maka seluruh karyawannya harus memiliki tujuan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka tidak ada tempat bagi orang yang bertujuan mencari jabatan dan kekuasaan di sana. Jika ingin mencari jabatan dan kekuasaan , carilah organisasi yang memang bertujuan mendapatkan jabatan dan kekuasaan dengan cara-cara tertentu misalnya partai politik. Hanya dengan kesesuaian tujuan hidup individu dengan tujuan organisasi, sebuah tujuan besar akan tercapai lebih mudah.

++++

Rekomendasi untuk setiap individu: TETAPKAN TUJUAN, DAN CARILAH ORGANISASI YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ANDA.

Rekomendasi bagi organisasi: HIRE-LAH ORANG-ORANG YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ORGANISASI.

++++


Salam secangkir kopi!
Sabar Aritonang (2 Mei 2012)

Selasa, 01 Mei 2012

Mahalnya Pengalaman

Tokoh yang akan saya bangkitkan dalam tulisan ini adalah Gabriel Marcel. Ia seorang filsuf eksistensial yang tersohor, juga menulis buku The Philosophy of Existensialism. Baginya, yang membuat seseorang dapat menghidupkan filsafat adalah PENGALAMAN. Belajar filsafat hanya akan melelahkan manusia. Konsep-konsepnya abstrak, dan tidak berada pada diri manusia itu sendiri. Filsafat akan menjadi lebih hidup jika filsafat itu didasarkan pada pengalaman.

Jika orang ingin mendekati filsafat, semua topik yang diamati harus dianggap sebagai misteri, bukan masalah. Misalnya: putus cinta. Putus cinta jangan dianggap sebagai masalah. Anggaplah itu sebagai misteri tentang cinta atau misteri tentang putus cinta. Jika ini dirumuskan dengan pemikiran filosofis, maka ini akan membuat filsafat itu hidup. Inilah yang disebut dengan eksistensial! Saat eksistensi kita terancam karena sebuah pengalaman, itulah sumber teori eksistensial yang sesungguhnya!

Pembaca yang budiman, bukankah Anda punya pengalaman yang juga menggetirkan eksistensi Anda? Misalnya divonis, dilabel, diancam, kadang kala menggetirkan, bukan? Daripada menganggapnya sebagai masalah, cobalah untuk menganggapnya sebagai sebuah misteri yang akan diungkapkan. Cobalah mengungkap misterinya! Tulislah! Itu akan membuat filsafat dan segala ilmu menjadi hidup.


Catatan Kuliah di STF Driyarkara,
Filsafat Kontemporer (1 Mei 2012)
Pengampu: Dr. Thomas H. Djaja, SJ.

EKSISTENSIALISME

"Dasar manusia jahanam! Memang koruptor tak tau diuntung!"

Kalimat di atas bukan saja mampu memprovokasi, tapi mampu menghadirkan wacana filosofis tentang diri manusia. "Manusia itu jahanam, koruptor tak tau diuntung" tentu saja kalimat yang menceritakan tentang seseorang, yang berkorupsi dan kemudian dikutuk oleh orang lain. Namun apakah koruptor memang akan selamanya jahanam? Apakah seorang jahanam juga akan selamanya buruk? Nyatanya, manusia mampu berubah-ubah.

Mari kita ingat para pejuang reformasi. Para mahasiswa yang dulunya berada pada barisan menurunkan Pak Harto, setelah jadi anggota DPR, tidak pasti bahwa dia seideal apa yang dulunya digagasinya. Tokh setelah jadi anggota DPR juga masih ada yang korup. Maka, ini membuktikan bahwa manusia dapat berubah. Dia hanya tidak dapat berubah jika dia sudah meninggal dunia. Melabel seseorang (manusia) pada masa hidupnya sangatlah tidak masuk akal dan tidak jujur.

Inilah yang dicuplik J.P. Sartre, filsuf eksistensialisme yang termahsyur. Konsep eksistensialisme adalah bahwa manusia dapat berubah. Selama hidupnya, manusia akan menjadi PENGADA UNTUK DIRINYA (being for itself) dan PENGADA PADA DIRINYA (being in itself). Dia bisa menciptakan dirinya yang berbeda-beda. Dia bisa menghargai dirinya, membangun dirinya, dan membuat dirinya eksis atau tidak. Tujuan umum manusia adalah membuat dirinya selaras dengan being for itself dan being in itself. Manusia sangat bebas. Ya, sangat bebas menciptakan dirinya maupun membangun dirinya. Bagi Sartre, tidak ada Tuhan. Sebab jika ada Tuhan, kebebasan manusia tidak ada.

Konsep eksistensialisme yang diberikan oleh Sartre dapat dinyatakan sebagai gerakan humanisme. Gagasan Sartre merupakan doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Manusia tidak lain daripada apa yang dipilih dan diciptakannya dalam hidup, tetapi bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk semua manusia. Memang harus diakui bahwa pandangan "esksistensi mendahului esensi" sebagai konsekuensi dari ketiadaan Tuhan, tapi setidaknya gagasan Sartre secara filosofis dapat diterima.

Mari mencuplik kembali kisah manusia. Seorang buronan dan mantan penjahat bisa saja menjadi orang suci. Orang suci sekelas Pastur pun bisa menjadi bejat dan jauh dari kebenaran. Setiap manusia dapat berubah. Esensinya, apakah dia baik atau buruk, hanya dapat disimpulkan saat manusia itu meninggal dunia. Sebab selama dia hidup, dia masih dapat menciptakan dirinya yang baru.

Teori eksistensialisme bukan saja menjadi teori. Ini memberi implikasi bagi masyarakat, bahwa tak ada jalan terbuka. Hidup tidak hanya sekali dalam eksistensialisme. Hidup bisa berkali-kali. Bisa berubah-ubah. Pada keadaan inilah manusia eksis.


Catatan kuliah STF Driyarkara,
1 Mei 2012 (MK: Filsafat Kontemporer)
Pengampu: Dr. Thomas H. Tjaja, SJ.

MANUSIA DAN TUHAN (Bagian I)


Setelah menyadari bahwa menalar Tuhan adalah hal yang dapat dilakukan, dan setelah dapat dirumuskan jalan-jalan yang dapat ditempuh menuju Tuhan, perlu dilakukan sebuah pengenalan terhadap konsep-konsep filsafat yang menguraikan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, dalam hal ini dunia. Konsep-konsep filsafat yang dimaksud bukanlah konsep dalam pengertian kaku, melainkan lebih tepat disebut sebagai pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan bagaimana manusia dapat berbicara tentang Tuhan dalam keterbatasan manusia. Lantas dengan keterbatasan manusia untuk memahami Tuhan, bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia, dan bagaimana Tuhan yang tidak terbatas itu dapat berhubungan baik dengan manusia yang sangat terbatas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting, karena pada kenyataannya, yang superior akan menguasai yang inferior; ciptaan akan dikuasai Pencipta; dan yang inferior tidak mungkin bisa memahami yang superior secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini secara sistematis pada setiap anak judul.


I. MEMBICARAKAN TUHAN DENGAN BAHASA MANUSIA
Bagaimana mungkin manusia yang sangat terbatas menggunakan bahasa yang juga sangat terbatas untuk berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas? Pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab, sebab dituntut sebuah argumen ketat berdasarkan bukti kemampuan berbahasa manusia. Wittgenstein dalam Suseno (2006, hlm. 185) menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat diperkatakan, orang harus diam.” Namun secara logis, tidak berarti bahwa manusia tidak mampu memperkatakannya. Apalagi wacana tentang Tuhan yang sudah melekat dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan orang beragama, dalam tatanan sosial dan masyarakat. Manusia beriman dan beragama seharusnya terpanggil untuk mencoba memperkatakannya, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya atas iman yang dianutnya.
Harus diakui, keterbatasan bahasa manusia hanyalah salah satu dari berbagai keterbatasan yang ada untuk berbicara tentang Tuhan. Misalnya pengalaman. Tidak ada manusia yang memiliki pengalaman dalam mengamati Tuhan. Pengalaman Tuhan adalah pengalaman transendental, sementara bahasa manusia sangat terbatas pada objek-objek inderawi, yang dibatasi ruang dan waktu. Padahal, Tuhan secara nyata tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak juga dapat dikategorikan sebagai objek inderawi. Dengan demikian, bahasa manusia hampir tidak mungkin digunakan untuk berbicara tentang Tuhan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk berbicara tentang Tuhan adalah bahasa dialektis (Suseno, 2006, hlm.187). Bahasa dialektis artinya bahwa dalam berbicara tentang Tuhan, manusia dituntut untuk memberikan pernyataan, kemudian dapat menyangkal pernyataannya, dan akhirnya membetulkan pernyataannya. Memberikan pernyataan artinya, manusia tidak lagi perlu ragu dalam memberitahukan apa yang diketahuinya tentang nilai-nilai Ketuhanan. Misalnya Tuhan itu Baik, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Ada. Semua itu dapat dinyatakan oleh manusia karena manusia menyadari bahwa Tuhan itu adalah realitas mutlak personal. Sehingga pastilah tidak ada nilai negatif dalam diri-Nya (Suseno, 2006, hlm. 187). Dengan demikian, manusia dituntut untuk menyangkal segala atribut negatif yang diberikan kepada Tuhan. Setelahnya, manusia dapat memahami Tuhan dengan jalan transendensi. Transendensi karena melamapui pemahaman yang terbatas. Manusia tidak terkotak lagi dengan pemahaman yang keliru dan terbatas. Ini adalah proses yang dapat berkelanjutan dan untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Tuhan, manusia diharapkan mampu melakukannya.
Berbicara tentang Tuhan dengan bahasa dialektis mengantarkan manusia untuk melampaui segala keterbatasannya untuk memahami Tuhan yang tidak terbatas. Kiranya jelas bahwa manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan dengan bahasa yang bermakna ganda (ekuivok) maupun bahasa yang bermakna tunggal (univok). Sebab dengan menggunakan kedua bahasa itu, manusia sangat mereduksi Tuhan itu sendiri. Jalan yang paling mungkin digunakan manusia adalah bahasa analog. Dengan menggunakan bahasa analog, manusia dapat berbicara tentang Tuhan dengan tidak membatasi Tuhan berdasarkan definisi manusia itu sendiri. Bisa saja sama dengan apa yang dibicarakan, namun bisa saja berbeda. Dasar analoginya adalah bahwa segala pengada bersatu dalam kemengadaan (Suseno, 2009, hlm. 190). Sampai disinilah batas manusia untuk dapat berbicara tentang Tuhan.


II. TUHAN SEBAGAI PENCIPTA: TRANSENDEN DAN IMANEN
Kiranya telah jelas bahwa manusia terbatas untuk berbicara tentang Tuhan, tapi dapat berbicara tentang Tuhan secara analog. Pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana hubungan Tuhan dengan alam semesta yang diciptakannya?
Tuhan adalah Pencipta. Jika dia adalah Pencipta, maka Ia independen, tidak bergantung pada ciptaan-Nya, karena tokh Ia bisa menolak untuk menciptakan dan merusak ciptaan-Nya. Tuhan itu menciptakan dalam arti creation ex nihilo. Ia menciptakan alam semesta dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Maka Ia adalah transenden. Hubungannya dengan manusia adalah hubungan transendensi. Pencipta memiliki kesatuan transendensi dengan ciptaan-Nya (Suseno, 2009, hlm. 192-193).
Hal ini disorot oleh deisme. Tuhan adalah pencipta, dan akhirnya Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya sendirian, tanpa pemeliharaan Tuhan. Deisme menolak adanya campur tangan Tuhan pada alam semesta. Namun paham ini sama sekali tidak kuat karena jika alam raya dapat eksis tanpa campur tangan Tuhan, bahkan tanpa diciptakan oleh Tuhan pun, alam raya seharusnya ada. Maka tidak mungkin Tuhan menciptakan, lantas meninggalkannya. Sebab alam semesta nyata-nyata bukan mutlak, tetapi diciptakan.
Tapi pada kenyataannya tidak dapat ditolak bahwa sebenarnya Tuhan tidak terpisah jauh sekali dari ciptaan-Nya. Karena salah satu sifatnya adalah sebagai penyayang, Pencipta itu memelihara ciptaan-Nya terus menerus. Itu artinya, Tuhan juga terlibat banyak dengan ciptaan-Nya. Ia memiliki kesatuan imanen dengan ciptaan-Nya, karena dengan campur tangannya untuk memelihara ciptaan-Nya, Tuhan juga ada di dalam ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia transenden sekaligus imanen? Karena Ia adalah realitas mutlak. Ia dapat di mana-mana ada (imanen), sekaligus di mana-mana tidak ada (transenden) (Suseno, 2009, hlm. 193-194).


III. KEMAHAKUASAAN TUHAN DAN KEBEBASAN MANUSIA
Intinya begini. Manusia jelas adalah ciptaan. Manusia lebih lemah daripada Tuhan yang Maha Kuasa dan superior. Lantas bagaimana manusia yang dipelihara oleh Tuhan bisa menjadi manusia yang bebas jika Tuhan itu sendiri Maha Kuasa, superior dan sangat hebat. Bagaimana mungkin ada hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan jika terdapat perbedaan kekuasaan yang sangat besar di antara keduanya?
Untuk menjawabnya, dapat dilakukan beberapa pendekatan dengan argumentasi. Keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa justru membuat manusia semakin hebat, atau dengan kata lain, Tuhan sebenarnya memberdayakan manusia, bukan memperdaya manusia. Tuhan menjadikan manusia memiliki daya untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Tuhan tidak memperdaya manusia, karena Tuhan tidak bersaing dengan manusia. Manusia dan Tuhan memiliki “area” perjuangan yang berbeda, sehingga tidak mungkin bersaing kemudian saling memperdaya. Yang ada hanyalah bahwa Tuhan memberdayakan manusia. Hal ini menjadi mungkin karena Tuhan itu Maha Kuasa. Ia mampu membuat manusia memiliki daya yang penuh. Dengan daya yang dimilikinya, manusia kemudian mampu menentukan pilihan secara bebas dan sangat bebas. Peran Tuhan dalam kebebasan manusia adalah memberikan nilai atau bobot terhadap pilihan manusia. Bobot itu menjadi acuan yang baik. Sehingga dengan adanya Tuhan yang Maha Kuasa, kebebasan manusia menjadi lebih bermakna, penuh arti. Kuasa manusia semakin bernilai dan makin berbobot.
Refleksi filosofis tentang Kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia di atas bukan tanpa cacat. Kerja sama antara Pencipta dan ciptaan, antara Kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia tidak mudah dianalisis (Leahy, 1994, hlm. 229; Suseno, 2006, hlm. 215). Sebab bagaimana manusia yang mandiri dan punya daya harus bergantung pada Tuhan? Mengapa harus bekerja sama jika mandiri. Namun justru di sinilah letak Kemahakuasaan Tuhan. Manusia tidak mengerti bagaimana cara-Nya bekerjasama dengan manusia. Terlebih lagi, jika pengertian tentang “kebebasan manusia” sama sekali dalam pengertian yang terbatas. Sebab sebenarnya, kebebasan manusia itu bukan kebebasan yang tak beraturan tanpa nilai dan norma. Di sinilah letak keterbatasan manusia berbicara tentang kaitan Tuhan yang Maha Kuasa dengan kebebasan manusia.

Sumber:Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta/ Jakarta: Penerbit Kanisius/ BPK Gunung Mulia.

Jumat, 06 April 2012

FILSAFAT KETUHANAN dan TEOLOGI

1.      Apa perbedaan antara filsafat ketuhanan dan teologi?
Perbedaan filsafat ketuhanan dan teologi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Filsafat Ketuhanan
Teologi
1.      Mempertanggungjawabkan iman berdasarkan rasionalitas, dengan memakai nalar.
2.      Nalar adalah sumber kebenaran.
1.      Mempertanggungjawabkan iman berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan.
2.      Wahyu adalah sumber kebenaran.

2.      Apa yang dimaksud dengan perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris?

Perubahan paradigma teosentris ke paradigma antroposentris adalah sebuah perubahan cara pandang manusia dalam sejarah, berlangsung pada abad 13-17 di Eropa. Paradigma teosentris artinya, manusia memandang sesuatu dari sudut Allah; terjadi pada abad ke-10 sampai abad ke-15. Sementara paradigma antroposentris adalah memandang segala sesuatu dari sudut manusia, bukan dari sudut Allah. Perubahan paradigma ini mendorong manusia dan para filsuf seperti Thomas Aquinas untuk mencari jawaban atas segala pertanyaan kitab suci dengan menggunakan nalar. Perubahan paradigma ini pula yang mendorong lahirnya humanisme, renaisans, dan rasionalisme.
3.      Apa yang dimaksud dengan deisme?
Deisme adalah paham tentang Allah. Butir-butir pahamnya antara lain: (a) Allah tidak diperlukan, sebab Allah tidak campur tangan terhadap dunia; (b) Allah adalah dasar dari segala penyebaban, bukan salah satu penyebab di antara penyebab lain di dunia. Deisme adalah paham yang berkembang pesat dan membuka pintu bagi ateisme.
4.      Apa tiga tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte?
Tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tahap
Cara Menjelaskan Gejala-Gejala Alam
1.      Teologis
Menguraikan bahwa gejala-gejala alam adalah hasil tindakan dewa.
2.      Metafisik
Dengan konsep spekulasi filsafat.
3.      Pengamatan ilmiah
Melakukan pengamatan ilmiah tentang bagaimana gejala alam saling mempengaruhi.


Sabtu, 24 Maret 2012

HAK MILIK?

Masalah kepemilikan memang selalu hangat. Di kota besar seperti Jakarta, masalah kepemilikan tanah dan gedung tidak sedikit memicu konflik. Masih membekas di mata, bayangan liputan beberapa siaran televisi yang memberitakan “aksi jahit mulut” atas rencana pembangunan apartemen di daerah Pramuka; aksi “parang memarang” antar kelompok di beberapa wilayah; dan adanya pemaksaan yang intens terhadap masyarakat miskin untuk minggat dari areal yang akan dibangun dengan gedung-gedung pencakar langit. Terciptalah gedung-gedung megah, perumahan-perumahan elit, dan taman-taman indah yang sesungguhnya, dibalik lahan tersebut tercurah keringat ratusan rakyat miskin dan darah para pahlawan.
Isu kepemilikan tanah bukan hanya terjadi di kota besar sekelas Jakarta. Bintan misalnya, sebuah pulau kecil yang berbatasan dengan Singapura. Area wisata “Bintan Resort” yang mahsyur itu justru masih memiliki dilema dengan beberapa warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada pengelola Bintan Resort. Alhasil, mereka tinggal di tengah kawasan wisata, menikmati fasilitas yang ada meskipun manajemen Bintan Resort harus rela tak rela melihatnya. Hal seperti ini pun tidak mudah ketika masalah ini terjadi di Papua. “Ini bukan tanah Indonesia, ini tanah kami!” Ya, ujaran demikian tidak langka disampaikan oleh warga Papua.
Pertanyaan filosofis yang muncul adalah mengapa sebagian besar orang rela menjual harta miliknya dan digusur keberadaannya dari tanah miliknya, sementara yang lain sama sekali tidak mau bergeser? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan mencoba memberikan tawaran solusi atas keadaan runyam tentang kepemilikan.
Kepemilikan tanah bukan isu baru dalam alam pemikiran. John Locke (1632-1704) misalnya, menguraikan idenya tentang kondisi asali bahwa pada awalnya, semua manusia tidak “memiliki” tanah, namun hanya mengolahnya sesuai dengan kemampuannya. Jika seseorang berbadan kuat, maka lahan yang diolahnya pun besar. Tanah menjadi persoalan ketika tanah memiliki nilai uang tertentu. Akibatnya, setiap orang berebut lahan yang lebih luas, dan saling bersaing. Dalam persaingan, amat wajar jika ada yang kalah dan menang. Yang menang menjadi tuan tanah, yang kalah menjadi kuli kebun.
Karl Marx memberikan sebuah langkah resolutif untuk persoalan rumit yang digambarkan Locke. Konsep Marx adalah agar tata kepemilikan pribadi harus didasarkan atas prinsip kesamaan dan kesetaraan. Sementara itu, John Stuart Mill memiliki argumen bahwa kepemilikan tanah hanya dapat diperoleh jika seseorang telah memberikan manfaat terhadap tanah tersebut.
Luasnya pemikiran tentang kepemilikan tanah inilah yang membentuk berbagai aliran pemikiran misalnya “libertarianianisme” (Robert Nozick) yang menganjurkan peran minimal negara, dan “liberalisme kesejahteraan” (John Rawls) yang menganjurkan peran intervensi negara dan sistem kesejahteraan sosial. Lantas, bagaimana sih yang seharusnya terjadi? Apa yang faktual terjadi adalah: 1% warga kaya menguasai 40% kekayaan dunia; 5% menguasai 71% harta dunia; 10% menguasai 85% kekayaan dunia.
Mari membedah gagasan Locke lebih dalam. Bagi Locke, pada awalnya seluruh benda di dunia tidak dimiliki siapa-siapa. Contohnya, buku. Buku ini milik Tuan A, terbuat dari pohon yang dimiliki Ibu B. Pohon itu bersumber dari biji pohon, dan biji pohon itu bersumber dari pohon yang lain, demikian seterusnya hingga tiba pada benda yang tak dimiliki siapapun. Menurut Locke, sebuah benda dapat dimiliki seseorang jika dia menambahkan “nilai kerja, nilai tambah, dan nilai kelayakan.” Artinya, seseorang yang mengerjakan sebidang tanah hingga memberikan hasil, dan membuat tanah itu lebih bernilai dari sebelumnya berhak memiliki tanah tersebut. Namun, argumen Locke tidak kuat untuk menguraikan kepemilikan tanah. Sebab, semua argumen itu hanya berlaku selama “masa pengolahan” dan tidak lebih. Pemilikan menjadi tetap irasional. Robert Nozick pun mengkritik argumen Locke atas kepemilikan berdasarkan nilai kerja. “Jika saya memiliki cairan, lalu saya menuangkannya ke laut, apakah laut menjadi milik saya?” Tentu saja pemikiran Locke tidak menjawab pertanyaan seperti ini.

Pagi ini, saat saya mengaduk kopi luwak, saya terpancing informasi menarik dari inspirator saya yang menceritakan apa yang dibacanya dari buku “Membina Pendidikan Sejati” karya Ellen G. White. Terlepas dari penulisnya yang diklaim mendapat wahyu dari Yang Adikodrati, saya tertarik dengan gagasannya yang kiranya dapat menjadi salah satu alternatif solusi. Gagasannya bersumber dari pemaparannya tentang sejarah. Ya, tulisann.ya lebih condong kepada sejarah bangsa-bangsa, khususnya bangsa Israel yang dituliskan dalam kitab taurat. Hak milik adalah istilah yang sudah dikenal sejak dulu, sejak zaman bangsa Israel menerima langsung wahyu dari Allah. Tanah dibagi rata kepada 1 suku bangsa Israel kecuali suku Lewi yang ditugaskan untuk mengatur tata ibadah di bait suci. Seseorang boleh menjual tanah miliknya kepada orang lain, asal bukan menjual milik anaknya. Tanah yang dijualnya dapat dibelinya kembali sewaktu-waktu dan orang yang membeli tanahnya wajib membrikan tanahnya jika orang tersebut sudah membayarnya kembali. Demikian pula jika seseorang berutang, dia dapat membayarnya dengan memberikan tanah miliknya kepada si pemberi utang. Namun pada tahun ketujuh , si pemberi utang harus mengembalikan tanahnya kepada pemilik aslinya kembali. Pada tahun ketujuh, sebagaimana tradisi Israel, adalah tahun cuti. Tahun itu hanya digunakan untuk pergaulan sosial dan waktu utnuk kedermawanan. Tidak ada yang bekerja di kebun, dan hasil kebun pada tahun ketujuh dinikmati bersama, khususnya diberikan untuk orang miskin. Kondisi historis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perebutan kekuasaan, tidak ada kemelaratan permanen setelah menjual atau memberikan tanah, tidak pula ada kemiskinan yang amat parah, karena setiap warga menikmati hasil bersama. Tidak pula ada pembodohan yang membuat seseorang hanya menjadi kuli kebun terus menerus, tidak ada konflik kepemilikan, dan cara seperti ini secara historis mampu mencegah kemiskinan.
Deskripsi historis ini bukan saja logis, namun amat mungkin menjadi argumen kuat tentang kepemilikan. Jika saja manajemen PT. Freeport, serta berbagai perusahaan lainnya menyempatkan diri berefleksi tentang hak milik, kiranya kesimpulan yang sama akan ditemukan.

Salam secangkir kopi!
Toast dari Semanggi

Selasa, 06 Maret 2012

RENCANA BISNIS: WARUNG VEGE

WHAT IS ENTREPRENEURIAL MARKETING?

MANAGING GLOBAL HUMAN RESOURCES

ANALISIS PERILAKU GETUK TULAR (WoM)

BUDDHISME

AJARAN INTI BUDDHISME

FILSAFAT POLITIK & ILMU POLITIK

TUGAS TERSTRUKTUR 1

1.      Mengapa Filsafat Politik akan kerdil tanpa didukung Ilmu Politik? Dan sebaliknya, mengapa Ilmu Politik akan kerdil tanpa didukung Filsafat Politik?
Dua pertanyaan di atas memberikan penegasan bahwa filsafat politik dan ilmu politik merupakan dua hal yang berbeda namun sama-sama membahas politik. Perbedaan kajian filsafat dan ilmu-ilmu dalam mengamati realitas bukanlah sesuatu yang baru. Pada ilmu-ilmu, untuk memahami realitas yang ada dilakukan pendekatan deskriptif. Sedangkan pada filsafat, sebuah realitas dikaitkan dengan disiplin normatif. Disiplin normatif maksudnya adalah disiplin yang merumuskan sesuatu secara ideal. Pertanyaan-pertanyaan pada ilmu-ilmu cenderung mudah diketahui dimana mencari jawabannya, sementara pertanyaan-pertanyaan filosofis atau normatif cenderung sulit menentukan di mana dan bagaimana mencari jawabannya (Wolff 2006, “introduction,” 1-5).
Perbedaan tersebut juga dapat dilihat pada cara ilmu-ilmu (dalam hal ini ilmu politik) dan filsafat (politik) memandang politik sebagai objek kajian. Misalnya dalam mengkaji permasalahan Papua sebagai tata hidup bersama, filsafat politik mempertanyakan apakah negara Indonesia mutlak diperlukan untuk terbentuknya tata hidup bersama di Papua; ilmu-ilmu mempertanyakan dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua. Saat filsafat politik menalar urgensi negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua, jelaslah bahwa filsafat politik berupaya memberikan pernyataan nilai (value statement). Sementara temuan ilmu politik terhadap dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua memberikan pernyataan faktual atau factual statement (Herry-Priyono 2010, 6-7).
Filsafat politik yang memberikan dasar normatif tentunya berisi argumen yang disusun dengan nalar. Argumen tersebut tidak mustahil menggunakan data-data deskriptif yang bersumber dari hasil kajian ilmu politik (Herry-Priyono 2010, 7), karena dengan jalan itu, argumen yang disusun semakin kaya. Maka filsafat politik akan sulit menentukan apakah Papua lebih baik terpisah dari Indonesia atau tetap bersatu dengan Indonesia jika tidak didukung data deskriptif faktual tentang dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua. Senada dengan itu, ilmu politik tidak mudah menentukan apakah pemerintahan negara Indonesia membawa kebaikan bagi tata hidup bersama di Papua, sebab menalar baik atau buruknya pengaruh pemerintahan Indonesia bagi tata hidup bersama merupakan ranah normatif (yang ada pada kajian filsafat politik).
Mencuplik perbedaan filsafat politik dan ilmu politik, apakah filsafat politik yang sarat nilai tidak perlu dihubungkan dengan ilmu politik yang sarat fakta? Bagaimana mungkin sesuatu dapat dinyatakan “baik” secara normatif jika “secara faktual tidak dibuktikan baik?” Demikian pula, bagaimana mungkin sesuatu dapat “disimpulkan baik secara faktual” jika berdasarkan nalar sesungguhnya tidak “baik”? Di sinilah ilmu politik dan filsafat politik saling melengkapi. Maka tidak naïf jika menyebutkan bahwa filsafat politik akan kerdil tanpa ilmu politik, dan sebaliknya, ilmu politik akan kerdil tanpa filsafat politik.

2.      Metode Resolutif-Kompositif Filsafat Politik Thomas Hobbes dan gagasan filsafat politiknya.
Metode filsafat Thomas Hobbes berhubungan dengan pemaknaannya terhadap filsafat. Bagi Hobbes, filsafat adalah kajian sebab-akibat, dan metode yang paling tepat adalah cara untuk menemukan akibat dari sebab (dan sebaliknya). Terkait dengan itu, metode Hobbes dalam berfilsafat adalah dengan melakukan langkah “resolusi” (resolution) dan “komposisi” (composition). Resolusi adalah mengurai, mencopot satu persatu setiap partikel dari sesuatu kemudian dianalisis; Komposisi adalah menata ulang seluruh bagian yang sebelumnya telah dicopot untuk dianalisis, dilakukan pendekatan sintetik (Herry-Priyono 2010, 45). Tentu metode yang digunakannya bukanlah satu-satunya penyebab kemahsyuran temuan filosofisnya. Namun dengan metode itu, Hobbes telah mampu menguraikan seluruh unsur dalam suatu tata negara (melalui filsafatnya tentang manusia), kemudian merumuskannya kembali sebuah tata negara yang lebih baik daripada kondisi tata negara sebelumnyan (melalui filsafatnya tentang politik, atau tata negara).
Langkah resolusi (atau resolutif) yang dilakukan Hobbes adalah dengan melihat unsur-unsur terkecil sebuah tata negara yaitu manusia tanpa negara dan hukum (Herry-Priyono 2010, 45-46). Inilah yang dikenal dengan “kondisi asali.” Beberapa tesis Hobbes tentang manusia adalah: 1) manusia selalu bergerak tiada henti karena memiliki “isi” yaitu nafsu mencapai keberhasilan, kepuasan, reputasi, dan kekuasaan, dan ia hanya akan berhenti jika dihalangi kematian atau dihambat orang lain; 2) manusia bersaing ketat (menyerang atau bertahan) dan penuh ketegangan untuk mendapatkan “keberhasilan” dan “kekuasaan” karena keberhasilan dan kekuasaan langka; 3) manusia berhak membunuh orang lain atau melakukan apapun untuk bertahan hidup, meraih keberhasilan, dan memperkuat “kekuasaannya”; 4) manusia selalu siap untuk berperang (homo homini lupus); 5) manusia takut mati dan takut kepada orang lain; dan 6) manusia memiliki hukum alami; 7) manusia tidak diatur oleh moralitas. Karena di sana tidak ada “baik” dan “tidak baik.” (Wolff 2006, 10-11; Herry-Priyono 2010, 10-11). Namun manusia memiliki hukum alami. Hukum alaminya adalah tidak memerangi asalkan orang lain pun tidak memerangi; tidak menggunakan hak membunuh sejauh orang lain pun tidak melakukannya; dan tidak melanggar perjanjian sejauh orang lain pun tidak melanggarnya (Wolff 2006, 14; Herry-Priyono 2010, 11). Tentu keadaan menjadi lebih baik dengan hukum alami. Namun siapa yang dapat menjamin hukum alami tersebut ditegakkan? Dengan pertanyaan seperti inilah  Hobbes memulai filsafatnya tentang tata negara dengan langkah kompositif.
Dalam langkah kompositif, Hobbes menggagas diperlukannya kekuatan pemaksa untuk menjamin hukum alami ditegakkan—agar setiap manusia tidak dihantui ketakutan terus menerus (Wolff 2006, 14). Meskipun secara individual, “perang” adalah keputusan rasional pada kondisi asali, namun secara kolektif, pembentukan sebuah tata negara adalah rasional karena menawarkan damai (Wolff 2006, 14-15). Dasar kekuatan negara adalah perjanjian setiap orang yang mengadakan kesepakatan, dan penjamin penegakan hukum alami itu adalah negara, dapat personal atau instansi. Negara tersebut berdaulat, karena tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi darinya (Herry-Priyono 2010, 11). Dari pemikiran inilah Hobbes memunculkan istilah Leviathan sebagai metafora “negara.”. Negara adalah bentukan rakyat, pilihan rakyat dan merupakan hasil perjanjian setiap rakyat.


Sumber:
Wolff, J, An Introduction to Political Philosophy. New York: Oxford University Press, 2006.
Herry-Priyono, B. “Filsafat Politik, Bahan Kuliah Program Matrikulasi Program Pascasarjana
Filsafat STFD.” Jakarta, Mei 2010.

Selasa, 21 Februari 2012

SISTEM FILSAFAT INDIA

Sistem filsafat India. Ya, tulisan ini akan menguraikan secara ringkas sistem filsafat India. Sistem filsafat India terdiri dari enam, sehingga dikenal pula dengan nama shad dharsana yang merupakan kristalisasi pengetahuan pada masa Weda, Brahmana, Upanishad, dan Purana. Enam sistem filsafat didirikan oleh para Rhisis berdasarkan kontempelasi yang sungguh-sungguh dengan melihat realitas yang sama. Enam sistem filsafat ini adalah jalan menuju pencerahan sejati; bukan tujuan itu sendiri, namun sebuah jalan menuju tujuan yakni Realitas yang absolut.
Enam sistem filsafat dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar (sehingga terdapat tiga pasang) antara lain: Nyaya-Vaisheshika, Samkhya-Yoga, dan Mimamsa-Vedanta. Setiap pasangan saling melengkapi. Nyaya-Vaisheshika adalah pasangan sistem filsafat yang menjadikan argumen, logika, dan kemampuan menganalisis pengalaman sebagai tema sentralnya. Mencuplik Nyaya-Vaisheshika, dapat mengingatkan kita pada Plato (yang sama mirip dengan apa yang ada pada Nyaya-Vaisheshika) tentang “substansi” dan “kategori” serta “bagian inteligibel” dan “bagian “sensibel.” Bagi Plato, pengetahuan dapat diperoleh dengan jalan yang  “sensibel”  (yaitu ilusi, opini, dan penginderaan); dan jalan yang inteligibel (dengan pengetahuan, intelek, dan sains). Pada Nyaya-Vaisheshika pun demikian. Manusia memiliki kemampuan sensibel dan inteligibel untuk melakukan “penyimpulan” atas hubungan “sebab-akibat” (dan sebaliknya), dan penyimpulan atas absrtak persepsi. Ciri yang menarik dalam kedua sistem yang berpasangan ini adalah teori subatomis yang menerima adanya empat unsur dasar yaitu tanah, air, api, dan udara.
Pasangan yang kedua adalah Sankhya-Yoga. Sankhya berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah “renungan.” Melalui Sankhya, fakta filsafat tertinggi dapat dicapai dengan pengetahuan. Namun seperti pasangan sistem filsafat yang lain, Sankhya pun memiliki keterkaitan dengan Yoga. Sankhya dapat dicapai dengan baik jika melakukan praktik Yoga (dengan delapan aspek utamanya yang mencakup: tidak melukai, kesucian, berpuas diri, studi, berserah pada Tuhan, postur tubuh, pernafasan, pengendalian indera, konsentrasi, meditasi, dan ekstasis). Selain itu, Yoga adalah jalan menuju “pembebasan.” Jika demikian, maka tidak berlebihan jika Yoga diklaim sebagai pendamai seluruh sistem filsafat India—sebab dengan mempraktikkan Yoga, pengetahuan dan pencapaian tujuan memahami realitas melalui lima sistem filsafat yang lainnya dapat dicapai. Bagaimanapun kompleksitas pengertian tentang Yoga, Yoga dapat mencapai berbagai tujuan manusia seperti: penyatuan (Samadhi), transendensi diri, disiplin diri, dan berbagai tujuan pemurnian diri lainnya (tentunya dengan tahapan-tahapan yang benar. Mendalami sistem filsafat India, pengetahuan tertinggi bukan saja “ada” tetapi “sangat mungkin” dipahami dengan pengetahuan manusia.

Rujukan: Ali, M. 2010. Filsafat India, Sebuah Pengantar Hinduisme dan Budhisme. Tangerang: Sanggar Luxor. Hlm. 29-88.

Kamis, 16 Februari 2012

HINDU DAN FILSAFAT TIMUR: SEBUAH PENGANTAR

Sebuah agama yang bukan agama, tetapi kumpulan agama-agama. Sangat liberal. Cara hidup, filsafat yang sangat mendalam, dan menjunjung hukum abadi (Sanathana Dharma). Agama dengan ribuan lembar teks suci. Secuplik penjelasan pada empat kalimat awal tersebut sebenarnya belum cukup menjelaskan tentang Hindu yang begitu luas pengertiannya. Ya, Hindu adalah sebuah agama yang merupakan kumpulan agama-agama, karena Hindu merupakan sintesis dari agama para Aryan yang masuk ke India sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Agama para Aryan merupakan agama yang meyakini pemujaan terhadap para dewa yang dianggap merupakan lambang kekuatan-kekuatan alam. Hindu disebut liberal karena setiap orang dapat menjadi nabi, bahkan menjadi dewa.
Jika para Aryan yang mempengaruhi munculnya agama Hindu, bukan berarti perintisnya adalah para Aryan. Sebab Hinduisme tidak memiliki pendiri (seperti agama-agama pada umumnya), tidak memiliki badan perumus dogma, dan lebih tepat jika disebutkan bahwa “Hinduisme merupakan gabungan berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada di balik kehidupan” (Ali, 2010). Maka tidak berlebihan jika Hindu dikategorikan unik.
Teks suci Hinduisme dapat dibagi menjadi dua bagian besar yakni Sruti (revealed) dan Smriti (remembered, tradition). Teks-teks suci dalam Sruti berisi pujian (Rig-Veda), music (Sama-Veda), ritual-ritual kurban (Yajur-Veda), dan jimat atau mantra (Atharva-Veda).  Sementara teks-teks dalam Smriti adalah itihasa (terdiri dari Ramayana, Mahabharata, Puranas (yang terdiri dari vaishnava puranas, shaiva puranas, Brahma Puranas, dan UpaPuranas), dan Dharmashastras. Weda, kitab suci yang dikenal sebagai kitab suci Hindu merupakan sebuah sintesis dari kitab-kitab para Aryan dari utara dan selatan. Weda pun berasal dari kata yang memiliki arti widya yang berguna menuntun manusia dari awidya (tidak berpengetahuan) menjadi widya (berpengetahuan). Dengan latar tersebut, Hindu hampir tidak dapat dipisahkan dari enam sistem filsafat India. Filsafat adalah Hindu, dan Hindu adalah filsafat.

Berdasarkan gambaran tersebut, melirik filsafat timur dengan mengayunkan langkah dari Hindu tidaklah berlebihan, bahkan menarik. Hindu, sebuah tawaran filsafat yang berbeda jauh dengan keketatan filsafat barat, sebuah khazanah baru yang akan melengkapi pengertian tentang filsafat secara utuh. Enam sistem filsafat India disebut shad darshana. Dharsana berarti pandangan kontemplatif, spiritual, dan persepsi langsung (Ali, 2010). Enam sistem filsafat India disusun oleh para Rhisis. Sistem Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa, dan Vedanta. Setiap filsafat didahului dengan analisis unsur-unsur yang membangun eksistensi dan pengalaman manusia, serta merumuskan hubungan Roh Absolut dan Alam (Ali, 2010). Tampak sangat liberal, cair dan elastis, namun justru dengan sistem-sistem filsafat inilah filsafat India akan kaya makna. Sanathana Dharma!
Rujukan: Ali, M. 2010. Filsafat India, Sebuah Pengantar Hinduisme dan Budhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.

Rabu, 15 Februari 2012

HARUSKAH ADA INDONESIA?

Indonesia. Ya, Indonesia. Hampir semua memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara (khususnya bila teringat dengan pidato Bung Karno pada 1945). Sebuah terminologi klasik yang artinya adalah "tanah" dan "air" (Indo dan Nesos). Tidak banyak yang tahu bahwa bahkan nama negara ini bukanlah buatan pribumi, tapi seorang berkebangsaan Inggris karena melihat gugusan pulau di Indonesia yang teramat banyak. Tidak naif jika menyebutkan bahwa Indonesia, Negara Indonesia, terbentuk bahkan bukan dari dewa, bukan oleh Soekarno dan bukan oleh Jawaharlal Nehru serta tokoh-tokoh termahsyur dunia saat itu.

Marilah menoleh sejenak ke Indonesia yang bukan Indonesia. Indonesia yang bukan sebuah kesatuan, tetapi gabungan dari suku-suku dan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Mataram, Kerajaan Sriwijaya, dan lain sebagainya. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan yang berlokasi di Indonesia. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian dijajah oleh negara-negara yang lebih kuat seperti Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol, dan Jepang. Mari hidup dalam era itu! Kerajaan yang satu sedang berperang dengan kerajaaan yang lain, namun tidak sampai di situ, kerajaan berperang pula melawan bangsa penjajah. Rakyat pun saling berperang merebut lahan, merebut kekuasaan, dan merebut perhatian para raja.

Seharusnya cuplikan tersebut ada di masa lalu. Amat disayangkan, keadaan sekarang tidak jauh berbeda dengan dulu. Setiap individu dalam negara berperang untuk mencapai keberhasilan, kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Bahkan setiap komunitas seakan-akan "berperang" untuk mencapai kekuasaan--walau tidak dapat dihindari, kekuasaan berjumlah sangat sedikit. Sebab jika semua menjadi penguasa, lantas siapa yang menjadi dikuasai? Maka di mana ada penguasa, maka ada yang dikuasai. Di mana ada pemenang, di sana ada yang kalah. Penggusuran rumah-rumah penduduk di metropolitan untuk dijadikan apartemen dibalas dengan aksi jahit mulut. Penegakan hukum yang lemah dibalas dengan aksi bakar diri. Keadaan ini dapat menggiring pemikiran moralitas, mengapa harus ada kekuasaan jika kekuasaan justru menimbulkan perang yang seharusnya tidak ada? Mengapa harus menjadi Indonesia jika tokh keadaannya sama seperti dulu? Filsafat kiranya dapat menjawabnya melalui logika negatif dengan mempertanyakan: bagaimana jika sebuah negara tidak ada?

Pertanyaan tersebut mengingatkan kembali pada tiga tokoh besar filsafat politik: Thomas Hobbes (1588-1679), John  Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Pada pemikiran ketiga filsuf inilah tulisan ini akan mencoba menemukan jawaban. Sebab "Dari apa yang ada, kita tidak dapat menyimpulkan apa yang seharusnya ada" (D. Hume). Bukan berarti bahwa karena negara ada, maka seharusnya sebuah negara itu ada. Mari mengandaikan sebuah negara tidak ada, karena itu sangat mungkin.

THOMAS HOBBES
Kita mulai dari pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes meyakini bahwa sangat mungkin untuk membentuk sebuah non-negara. Itulah yang disebutnya sebagai keadaan asali. Hobbes mendasari pemikirannya tentang keadaan asali berawal dari pengertiannya tentang teori gerak (oleh Galileo Galilei). Sebelum Galileo, pertanyaan yang kerap didiskusikan adalah: "mengapa benda tetap bergerak?" Dari sanalah Galileo menemukan bahwa pertanyaan tersebut kurang tepat. Seharusnya adalah mempertanyakan mengapa sebuah benda bergerak dan mengapa berubah arah saat bergerak. Berdasarkan pengenalan Hobbes terhadap Galileo melalui buku dan pengenalan langsungnya, Hobbes menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya bergerak. Tidak akan terhenti kecuali jika ada yang menghentikannya (apakah kematian, atau manusia lain yang melarangnya).

Gerak manusia bagi Hobbes diisi oleh sebuah naluri, sensasi, hasrat, nafsu, imajinasi, pikiran, bahasa, dan lain sebagainya. Maka benar jika Hobbes yang dikenal sebagai filsuf politik ini sebenarnya mengawali pengertiannya tentang politik dari filsafat manusia. Hobbes menyimpulkan manusia akan bergerak terus menerus untuk mencapai hasratnya, yakni keberhasilan, kesuksesan, dan lain sebagainya. Sayangnya, objek-objek hasrat itu langka, sehingga pencapaian hasrat sangat kompetitif dan tidak jarang menimbulkan konflik karena setiap manusia selalu kuatir kalau hasratnya direbut. Manusia penuh ketakutan. Penuh hasrat. Siapapun yang menghalangi hasratnya akan disingkirkan, sebab jika tidak demikian maka hasratnya tidak terpenuhi. Bahkan kematian pun menjadi hal yang paling ditakutkan. Itulah sebabnya Hobbes mengeluarkan pernyataannya yang amat dikenal: HOMO HOMINI LUPUS EST.

Perlu diingat, Hobbes sedang menceritakan keadaan asali. Keadaan yang tidak ada hukum, tidak ada kekuasaan, dan tidak ada moralitas (karena moralitas hanya ada jika ada baik dan benar, ada hukum).  Namun bagi Hobbes, manusia dalam keadaan asali memiliki hukum alami (daya nalar). Daya nalar tersebut kemudian mendorong manusia untuk mencari cara memenuhi hasratnya tanpa merasa ketakutan (ketakutan diperangi dan ketakutan dibunuh manusia lainnya). Dengan itu, maka dibentuklah sebuah perjanjian bersama: 1) Tidak akan memerangi, jika tidak diperangi. 2) Setiap orang menyerahkan haknya untuk membunuh, selama orang lain pun melakukan hal yang sama. 3) Saling menepati janji. Tampaknya keadaan menjadi lebih baik, karena manusia akan hidup dengan lebih tenang. Namun siapa yang akan menjamin agar perjanjian tersebut tidak dilanggar? Hobbes memberikan jawaban: LEVIATHAN. Leviathan adalah metafora dalam kitab suci Kristiani dan Yahudi melukiskan buaya laut yang perkasa dan ditakuti (sekaligus Hobbes menjadikan itu menjadi judul bukunya yang amat mahsyur: LEVIATHAN). Manusia yang sama-sama ketakutan dan terancam membentuk sebuah Leviathan, kekuatan berdaulat--dan inilah yang disebut negara--fungsinya adalah untuk melindungi manusia. Jika negara adalah bentukan bersama, maka absurd jika manusia secara logis menolak dirinya sendiri.


JOHN LOCKE (1632-1704)
Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa keadaan asali itu ada. Kondisi asali bagi Locke adalah kondisi kebebasan, kesetaraan, dan setiap orang terikat oleh "hukum alami." Raja/ Ratu bukanlah utusan Tuhan, karena semuanya bebas dan setara. Namun apakah kebebasan tersebut tidak akan menimbulkan maslaah baru semisal bebas membunuh, bebas menyakiti dan bebas melakukan penyiksaan demi mencapai kebebasannya? Locke menegaskan bahwa kebebasan hanya akan menjadi teduh jika ada hukum alami. Hukum alamilah yang melarang seseorang untuk membunuh, menyakiti, dan melukai orang lain yang juga mencari kebebasan.

Kondisi asali menurut Locke tampaknya lebih adem, serta lebih menawarkan kondisi yang jauh lebih baik. Tidak ada pertentangan, seluruhnya damai. Jika demikian mengapa harus ada sebuah negara? Locke menyatakan bahwa negara berguna sebagai penjamin pelaksanaan "hukum alami." Selain itu, sejak manusia mengenal UANG, setiap manusia kemudian berebut lahan, hasil bumi, dan lain sebagainya karena semua memiliki nilai tukar. Di sinilah letak kekacauan kondisi asali menurut Locke. Maka diperlukan sebuah kekuasaan yang lebih kuat untuk menjaga dan melindungi hak milik pribadi. Sehingga bagi Locke, "tugas pokok negara adalah melincungi hak milik pribadi" (Second Treatise of Government, hlm. 63).

JEAN JACQUES ROUSSEAU (1712-1778)
Berbeda dengan Hobbes dan Locke, Rousseau justru tidak menganggap bahwa kondisi asali adalah seperti apa yang disampaikan Hobbes dan Locke. Sebab bagaimana mungkin membandingkan keadaan modern dengan keadaan di hutan belantara?  Namun demikian, Rousseau meyakini bahwa tidak ada "keadilan" dalam kondisi asali. Manusia dalam kondisi asali tidak melukai orang lain adalah karena manusia memiliki naluri alami untuk tidak melukai. Manusia sesungguhnya hidup soliter. Tidak ada yang perlu diperebutkan dan dipertentangkan, sebab manusia hanya membutuhkan TIDUR, MAKAN, dan PEMUASAN SEKS. Mungkin manusia membutuhkan orang lain untuk menolong saat sakit, namun alam dalam kondisi asali justru sebenarnya membuat manusia tidak mudah sakit.

Manusia dalam kondisi asali menurut Rousseau tidak menghasrati kekuasaan. Manusia yang dilengkapi free-will dan kemampuan untuk peningkatan kapasitas diri (inovasi, namun bukan seperti Hobbes yang menganggap inovasi adalah lewat kompetisi) kemudian membawa manusia kepada pengertian tentang kerjasama. Bekerjasama untuk berburu membuat manusia lebih cepat mendapatkan hewan buruannya, sehingga manusia bisa memiliki waktu luang, lebih cepat tidur, lebih cepat makan, dan dapat memuaskan seks. Dari situlah muncul barang-barang luxury untuk mengisi waktu luang manusia. Dari titik inilah manusia yang satu kemudian melirik manusia lainnya, muncullah rasa iri, rasa terhormat dan terhina, sehingga kondisi asali berubah menjadi pertengkaran. Orang-orang kayalah yang kemudian membuat aturan tentang keadilan untuk menjamin keadaan tetap aman. Dengan demikian, negara bagi Rousseau adalah bentukan orang-orang yang "berada di atas angin" yang berguna untuk menjamin tidak terjadinya perang dan pertengkaran.


Pendekatan logika negatif dari ketiga filsuf tersebut nyatanya telah memberikan sebuah pemahaman bagaimana sebuah negara menjadi penting. Indonesia menjadi penting untuk melindungi warganya, membuat warganya tidak diserang, melindungi harta milik warga, dan menjamin tidak adanya perang antar manusia. Pemberitaan media tentang penderitaan rakyat marginal, harta milik warga yang dikorupsi, dijarah, perang suku, perang agama, dan perang ide dalam panggung politik nasional--jika semuanya ini tetap ada di Indonesia, maka Indonesia yang bagaimanakah seharusnya ada?


Salam secangkir kopi.
Toast dari Semanggi!