Jumat, 01 April 2011

Semiotika & Psikoanalisa


 
 Langue & Parole
Dalam upaya memahami paparan Roland Barthes, mengenal langue dan parole merupakan sebuah hal yang penting—dalam tujuan mengerti tentang semiologi yang disajikannya. Langue dan parole, merupakan sebuah jalan bagi kita untuk dapat memahami bagaimana “bahasa” ada dan digunakan oleh banyak orang. Dalam pengertian lebih lanjut, langue (katakanlah “bahasa”) merupakan objek sosial, sistematis dan terlembaga; dan ini berbeda dengan parole, yang merupakan bagian dari individu.[1]  Jadi, langue merupakan bentukan sosial yang memiliki aturan tersendiri dan disepakati oleh sekelompok orang, dan dengan demikian, pendapat Barthes bahwa langue dapat dikategorikan sebagai sistem sosial, dapat dipertanggungjawabkan, sebab memang langue adalah bentukan sebuah kelompok (bukan individu, dan bentukan individu cukup jelas dinamakan sebagai parole), harus diterima atau ditolak seluruhnya, dan memiliki aturan main sendiri yang disepakati oleh masyarakat.[2] Demikian pula halnya, selain menempatkan langue sebagai sistem sosial, Barthes memang dalam waktu yang sama menepatkannya sebagai sistem nilai.[3]  Sebagai sistem nilai, memang, langue memiliki unsur-unsur yang dapat dibandingkan dan ditukarkan.

Berbeda pula dengan langue, parole adalah bagian dari individu untuk dapat melakukan kreasi (meskipun tidak dapat dikatakan hanya sebagai kreasi—sebab parole lebih luas dari itu).  Dalam kapasitas yang lebih besar, parole dapat disebut sebagai “wacana” kiranya dapat dimengerti.  Hal ini dapat dijelaskan begini:  parole itu terdiri dari “kombinasi”[4] yang membuat si pembicara (individu) dengan bahasa tertentu mampu mengungkapkan pendapatnya. Lebih luas darii tu, Barthes mengemukakan bahwa parole adalah mekanisme psiko-fisik yang mempengaruhi terbentuknya sebuah kombinasi tertentu. Sebagai contoh, Barthes memberikan pengertian bahwa cara pengucapan tidak dapat dirusak oleh langue, karena baik secara institusi maupun sistem nilai, tidak akan berubah bila individu yang menggunakannya berbicara dengan nada bicara apa saja (keras, lembut atau dengan cara apa pun). Maka, penjelasan Barthes sudah sangat memadai, bahwa parole, dengan pengulangan tanda-tanda yang sama dalam sebuah wacana ke wacana lainnya sangat penting, dan tanda-tanda itu merupakan unsur bahasa. 

Langue dan parole merupakan sesuatu yang dapat diaplikasikan dalam sebuah tatanan masyarakat, katakanlah sebagai contoh: kelompok musik Reggae. Setiap orang yang menyukai dan ingin masuk dalam komunitas Reggae setidaknya memang (mau atau tidak mau) perlu mengikuti gaya yang sudah diakui sebagai bagian dari Reggae (bahwa Reggae juga memiliki langue), meskipun dalam hal itu, keberadaan Mbah Surip pun bisa menampilkan parole nya dengan mengungkapkan pikiran pribadinya.

Namun dalam sudut pandang yang lain, Barthes pula memberikan eksplanasi bahwa langue dan parole pada hakikatnya dihubungkan dengan hubungan dialektis. Maksudnya, langue dan parole tidak dapat memiliki pengertian sepenuhnya tanpa melalui proses dialektikal yang menghubungkannya satu sama lain.[5]  Dan sesungguhnya, dalam proses inilah aktivitas linguistik benar-benar nyata.  Dengan pemahaman ini, maka penjelasan Barthes tentang langue dan parole dapat membuat pengertian yang baik dan membuka jalan untuk dapat melihat dua poros bahasa yang disampaikan oleh Barthes.

Hubungan Paradigmatik dan Sintagmatik
Barthes memberikan pula sebuah penjelasan tentang hubungan paradigmatic dan sintagmatik dalam tulisannya.[6] Hubungan paradigmatik dan sintagmatik itu sendiri dapat dilihat dengan lebih jelas lewat contoh nyata: memilih  pakaian ke gereja (lihat dalam tabel):

Hubungan Paradigmatik
Sintagmatik
Harus pilih pakai jaket atau pakai jas
Pakai kemeja dan jas boleh saja dipakai bersamaan

Dengan tabel itu, maka jelas bahwa hubungan sintagmatik adalah memilih salah satu dari beberapa pilihan, karena tidak mungkin kita menyampaikan dua kata bersamaan, karena harus linear. Hal berbeda dengan hubungan paradigmatic, bahwa kita menghadirkan dua kata sekaligus meskipun salah satunya in absentia.[7] Lebih lanjut, kalau berbicara tentang Nasi, maka orang langsung berpikir tentang makan, lauk, sayur dan kenyang atau lapar (sementara yang lain itu tidak ada tertulis)—ini salah satu contoh hubungan paradigmatic.

Psikoanalisa Sigmund Freud
Seperti dalam beberapa penjelasan tentang biografi Sigmund Freud, kehadiran idenya memang mengejutkan dunia ilmu kedokteran pada zamannya dengan berbagai penemuan dan penjelasan ilmiahnya, salah satu yang paling tersohor adalah teori tentang mimpi.  Pada awalnya, Freud memang tertarik dan didorong oleh rasa ingin tahu saat bersama dengan Joseph Breuer, yang kemudian bersama-sama menulis buku Studies on Hysteria. Freud menemukan pengalaman berharga bersama Breuer dalam penanganan kasus pertama, Anna O., dengan metode penyembuhan talking cure.[8] Freud sendiri, meskipun bagi orang sezamannya telah menemukan sesuatu yang baru, menganggap bahwa psikoanalisa adalah mitologi[9], meskipun lebih dari sekadar terai (karena ia menganggapnya sebagai ilmu pengetahuan)[10], dan memang memberikan kontribusi yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan.

Cukup lama Freud menggunakan penyembuhan dengan talking cure dan hypnosis sebagai cara terapi untuk pasiennya, sampai dia menemukan metode asosiasi bebas.[11] Baginya, hypnosis berbau mistis dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Freud mensejajarkan hypnosis dengan pervia di pore (ibarat pelukis yang menuangkan lukisannya—sebab metode ini membebaskan si pasien berbicara apa saja, yang penting si pasien di hypnosis), karena memang baginya, metode ini seperti melukis: sang dokter sedang menuangkan cat untuk mendapatkan symptom.. Metode yang kemudian digunakan Freud adalah asosisasi bebas. Metode asosisasi bebas ini menuntut pasien mengatakan segala sesuatu yang muncul dalam kesadarannya (tanpa malu karena tidak pantas kedengarannya). Ini berbeda dengan katarsis, karena metode ini tidak berhenti pada asal usul simtom-simtom, dan pasien bisa menceritakan segala sesuatu tanpa urutan yang logis, teratur dan penuh arti. Biasanya si pasien ditempatkan pada tempat yang nyaman sehingga dapat menceritakan semuanya dengan lengkap.[12] Dalam sisi lain, Freud mengakui bahwa asosisasi bebas sebetulnya tidak benar-benar bebas,[13] dan Freud melukiskannya sebagai  per via di levare (mengibaratkannya seperi seorang pemahat yang memahat patung, boleh dengan pukulan lembut atau keras). Alasannya adalah karena teknik ini mengeluarkan semua ketidaksadaran boleh dengan cara keras atau lembut demi mendapatkan symptom.

Lebih menarik dan lebih mengejutkan lagi sebab Freud pun memperkenalkan teori seksualitas pada anak-anak. Bagi Freud, anak-anak pun sudah mengalami pengalaman seksual, yang lebih dikenal dengan Oedipus Kompleks. Hal ini tampak jelas dalam penjelasannya tentang tahap-tahap perkembangan manusia: tahap infantile, tahap laten, tahap genital dan tahap kematangan. Namun tulisan ini akan berorientasi pada tahapan psiko seksual yang sesungguhnya membuktikan bahwa pendapat Freud tentang seksualitas anak-anak (tahapan infantil) sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Tabel berikut ini akan mengemukakan tahapan seksual menurut Freud dan sedikit informasi tentang tahapan laten dan genital.


Tahap-tahap Psikoseksual

Tahapan Psikoseksual
Daerah Libido
Hasil perkembangan utama
Objek Libido
Oral (dari lahir sampai 1 tahun)
Mulut, kulit, ibu jari
Memasukkan secara pasif segala benda melalui mulut; sensualitas autoerotik
Susu ibu, tubuh sendiri
Anal (2-3 tahun)
Anus, buang air besar
Mencari secara aktif reduksi tegangan; menguasai diri sendiri; tunduk secara pasif.
Tubuh sendiri
Falik (3-5 tahun)
Alat kelamin, kulit
Konflik Oedipus dan Electra; ingin memiliki ibu; identifikasi dengan orang tua sejenis; ambivalensi hubungan cinta
Ibu untuk anak laki-laki; Ayah untuk anak perempuan
Laten (6-8 tahun)
Tidak ada
Represi bentuk-bentuk libido pragenital; mempelajari rasa malu dan jijik yang tepat menurut kebudayaan terhadap objek-objek cinta yang tidak tepat.
Objek-objek yang sebelumnya direpresikan
Genital (masa remaja dan seterusnya)
Mengutamakan hal genital
Reproduksi, keintiman seksual
Mitra heteroseksual

Walaupun Freud tidak memiliki pengalaman khusus dengan anak-anak bahkan anaknya sendiri,[14] ternyata dia mampu memberikan teori tersebut sebagai bagian dari pengamatan psikoanalisa dan memandang manusia secara utuh adalah salah satu alasan dalam mengamati perkembangan psikoseksual bahkan mulai sejak kelahiran manusia—dan pengalaman masa kecil ternyata (dalam pengalamannya) memberikan banyak pengaruh kepada masa sekarang. Teori seksual pada anak-anak ini akhirnya berhasil menjelaskan bahwa ketidaksadaran itu ternyata adalah karena dorongan seksual. Baginya, dorongan seksual memberikan banyak hal.

Pengalaman seksual dan pengalaman lainnya disebabkan oleh norma-norma yang ada[15] akhirnya direpresi. Dalam teorinya tentang represi, Freud memberikan penjelasan yang sangat baik tentang represi sekunder dan represi primer, karena pembagian itulah yang dibuatnya untuk menjelaskan tentang represi. Represi primer terjadi pada masa-masa awal perkembangan kemanusiaan kita saat dorongan-dorongan yang ada tidak bisa diterima dalam kesadaran (ego).  Dorongan yang ada itu tidak hilang begitu saja, tapi disimpan dalam-dalam, berubah bentuk dan akhirnya menghasilkan fiksasi (dalam bentuk ingatan—dan hanya energinya yang bisa dirasakan). Ini disebut Vorstellungs-repräsentanz.

Represi sekunder terjadi waktu ketidaksadaran yang terbentuk lewat represi primer tersebut muncul kembali untuk dipuaskan. Yang muncul dalam tahap ini hanya dorongan-dorongan derivatif (dorongan yang memiliki kesamaan) saja. Dorongan-dorongan pun dapat disebut sebagai ketidaksadaran karena tidak bisa masuk ke dalam kesadaran (maka yang direpresi  adalah sebagian dari ketidaksadaran).[16] Jadi, semua yang direpresikan itu kemudian muncul tanpa disadari, padahal itu pun adalah ketidaksadaran (yang dikenal dengan istilah ketidaksadaran laten).

Hal ini pula mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang mimpi, yang bagi Freud adalah jalan untuk menjadi seorang psikoanalis.[17]  Baginya, proses ketidaksadaran hanya bisa dikenali dengan mimpi dan neurosis yang merupakan wish-fulfillments (berbagai hal yang tidak dapat dicapai dalam keadaan bangun), dan yang paling penting adalah apa yang direpresikan muncul dalam mimpi. Di dalam hal inilah kemudian Freud mempelajari cara kerja dan bahasa mimpi,[18] yang baginya merupakan via regia  menuju ketidaksadaran.[19]

Memahami Psikoanalisa Lacan
Meskipun berasal dari aliran yang sama dengan Freud, eksplanasi Lacan tentang manusia pun menarik dipelajari. Diperkenalkan dengan sebuah skema L, bahwa Ego itu lahir berdasarkan specular images. Atau dapat dikatakan bahwa Es (si anak) terbentuk berdasarkan a’ (si Ibu), dan di sanalah dia menemukan dirinya (menemukan “aku”), sebab dia masih terfragmentasi waktu itu, dan image yang ada di depannya dianggapnya sebagai “itulah aku.” Dalam waktu yang sama mengalami sense of other dan sense of self. Dapat dikatakan, si Ibu adalah ibarat cermin bagi si anak, kemudian membentuk egonya (a)—sebab disana dia berkesimpulan bahwa cermin itu adalah dirinya sendiri.[20] Menurut Lacan, ini terjadi pada enam bulan pertama usia anak.s




Dalam mengidentifikasi dirinya, si anak terus memperhatikan cermin dan untuk waktu lama, si anak mengakui bahwa itulah dirinya.[21] Hal ini terjadi sampai sosok Ayah (autre) tampil untuk membentuk egonya (a) dengan memperkenalkan hukum, norma, dan membuat si anak tunduk pada aturan-aturannya.[22]

Ada fase di mana si anak memasuki fase pasca cermin, dan semua image yang ada kemudian hancur lebur, saat dia mengakui AKU BUKAN AKU; saat dia menyadari ternyata image yang ada selama ini bukanlah dirinya. Inilah masa alienasi yang dialami oleh subjek tersebut. Ini terjadi saat si anak sudah mulai mengenal bahasa dan tidak lagi memakai cermin sebagai image untuk menceritakan pengalaman kediriannya.[23]


[1] Roland Barthes. 1967 (1964). Elements of Semiology. “Language (Langue) and Speech”. Tr.Annette Lavers and Colin Smith, N.Y.: Hill & Wang. 13.
[2] Ibid., 14. “As a social institution, it is by no means an act, and it is not subject to any premeditation.  It is the social part of language, the individual cannot by himself either create or modify it; it is essentially a collective contract which one must accept in its entirely if one wishes to communicate.”
[3] Ibid., 14. “A language is therefore, so to speak, language minus speech; it is at the same time a social institution and a system of values.”
[4] Lihat Ibid., 14-15. Kombinasi yang dimaksud adalah gabungan dari tanda-tanda yang dipakai dalam wacana yang disampaikan. “it is because signs are repeated in successive discourses and within one and the same discourse (although they are combined in accordance with the infinite diversity of various people’s speech) that each sign becomes an element of the language…”
[5] Ibid., 15-17. ‘No language without speech; and no speech outside language.”
[6] Lihat di Roland Barthes, op cit., 58-71.
[7] Lihat dalam Roland Barthes, op cit., 58.
[8] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hal. 179.
[9] Ibid., 179.
[10] Ibid., 183.
[11] Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hal. 129-130.
[12] Ibid., 130.
[13] Peter Beilharz, op cit., 182.
[14] Lihat Yustinus Semiun, op cit., 102-114.
[15] Lihat Ibid., 60-68. Penjelasan tentang Id, Ego dan Super Ego sangat jelas memaknainya. Id adalah dorongan-dorongan dasariah manusia yang tidak dapat dengan begitu saja dimunculkan dalam kesadaran, sebab ada sensor menuju kepada Ego (yang dalam istilah lain disebut sebagai pendamai antara Id dengan Superego). Sebab Superego adalah tuntutan-tuntutan moral, nilai-nilai yang harus dituruti agar dapat diterima oleh orang lain, sehingga dorongan Id harus dipendam sejauh mungkin. Proses itu disebut represi, dan represi itu dapat saja kemudian muncul pada waktu yang lain dengan ledakan yang lebih besar karena represi yang berkepanjanangan. Jadi yang merepresi adalah Ego dan Superego, walaupun dalam perjuangan keras, id akan selalu meminta dipuaskan.  Dalam Lima Ceramah Freud, dia menawarkan cara mengatasinya: sublimasi, represi, atau membiarkannya dilampiaskan.
[16] Sigmund Freud, “The Unconscious”, 166.
[17] Wenn ich gefragt werde, wie man Psychoanalytiker werden kann, so antworte ich, durch das Studium seiner eigenen Träume. (Sigmund Freud, 1910)
[18] Yustinus Semaun, op cit., 132.
[19] Karena dalam mimpi, sistem tak sadar (di mana hasrat muncul) melewati sensor dengan cara yang sangat halus (distorsi) sehingga tak terlihat menentang norma-norma etis sadar dari kepribadian.
[20] J. Lacan, Ecrit, 18.
[21] Lacan membagi tiga fase untuk teorinya: Fase Cermin (usia 0-6 bulan), fase cermin (usia 6-18 bulan), dan fase pasca cermin.
[22] Peter Beillharz, op cit., 253.
[23] Lihat Peter Beilharz, op cit., 247-256.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar