Rabu, 06 Juni 2012

Budaya Bangsa VS Budaya Gaga

Saya memang peragu menuliskan pemikiran saya di blog. Meski saya menyadari bahwa acap kali gagasan kritis saya berguna. Namun persoalan waktu adalah persoalan yang ternyata tidak terlalu besar:-) LAMBAT karena ada yang ditunggu, CEPAT karena ada yang hendak dikejar.

Lady GAGAL memang tidak jadi konser di Indonesia. Pihak manajemennya membatalkan rencana konsernya. FPI mengadakan pesta syukuran karena konser tersebut batal, dan ratusan penggemar seni Gaga sedih, namun tak sedikit pula dari mereka akhirnya menyaksikan konser sang Gaga di Singapura. Kepolisian pun lebih lega karena potensi kericuhan berkurang di Indonesia.

Terdapat berbagai situasi yang menarik untuk disorot dari kacamata kritis.

Pertama, BUDAYA. Ternyata, budaya sebuah negara yang berdaulat bisa dengan mudahnya akan dirubah oleh budaya seorang gadis berusia 26 tahun, bukan nasionalis, bukan pemikir, maupun politikus--melainkan hanya seorang penyanyi. Hal-hal seperti ini tampaknya semakin sering terjadi. Penyanyi rumahan mengorbit seketika menjadi penyanyi papan atas; pelantun lagu Korea yang liriknya pun tak kita pahami dengan mudahnya mengubah gaya hidup remaja bahkan dewasa kini. Memang bukan mustahil jika budaya sebuah bangsa dapat dipengaruhi dengan kuat oleh seorang penyanyi. Namun itu hanya sekarang terjadi. Dulu, perubahan-perubahan besar seperti ini dilakukan oleh Karl Marx, Marcuse, Horkheimer, Adam Smith, Nelson Mandela, dan Soekarno. Hal lain yang patut dipikirkan adalah, setelah seminggu Lady Gaga gagal konser di Indonesia, apakah budaya bangsa ini masih baik? Apakah budaya bangsa itu? Sudah lama budaya bangsa ini tak dirumuskan.

Kedua, DUNIA TANPA BATAS. Tampaknya mudah bagi Gaga mengorbitkan namanya ke seluruh dunia. Saya teringat dengan Alexander the Great yang namanya pun meroket saat berusia semuda Lady Gaga. Tentu banyak juga yang sekelas Lady Gaga, seperti Justin Bieber, Connie Talbot, dan Michael Jackson. Begitu konsernya gagal diadakan di Senayan, dengan mudahnya para penggemarnya segera nongkrong di Singapura untuk menyaksikan konser akbar tersebut. Singapura memang negara yang sangat terbuka. Sejarah bangsanya menunjukkan bahwa jika mereka menjadi negara yang tertutup, maka tidak akan ada kemajuan. Namun di sisi lain, perbatasan negara, misalnya perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan dan Kepri, serta perbatasan Indonesia dengan Singapura di Kepri masih terus dalam situasi panas. Caplok mencaplok lahan, hingga penyeludupan-penyeludupan. Indonesia mengklaim bahwa batas bagian dalam wilayahnya adalah MILIK negara. Kenyataannya, rakyat perbatasan tak selamanya punya tanah sendiri. Tidak pun memiliki laut maupun harta lainnya. Kepemilikan tanah dan air di perbatasan sudah jelas-jelas dimiliki oleh segelintir orang kaya, para investor. Lantas, masih relevankah batas-batas antar negara jika pada kenyataannya dunia sedang menuju pada kondisi tanpa batas? Apakah makna sebuah batas? What is border?

Ketiga, TATA HIDUP BERSAMA. John Locke justru menegaskan bahwa tata hidup bersama itu penting. Setiap orang harus meletakkan haknya untuk menjamin langgengnya kehidupan bersama. Sebagian rakyat berpesta, sebagian rakyat menangis. Kaum mayoritas menekan kaum minoritas. Kaum minoritas menolak kaum mayoritas. Di manakah sang Leviathan yang berjanji menjaga perjanjian rakyatnya? Maka masihkah relevan sebuah tata hidup bersama dalam kondisi seperti ini?



Salam secangkir kopi!
Toast dari STF Driyarkara

Rabu, 02 Mei 2012

Fenomena Dunia Menjepit

Kemarin, di perjalan menuju kampus, seorang teman bercerita panjang lebar sepanjang perjalanan yang mengambil waktu lebih dari setengah jam. Ia seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sedang dipercaya untuk ngurusin SDM. Ceritanya mulai dari kompetensi pegawai, dosen, penggajian, assesment, hingga skill masing-masing pegawai yang akan diberikan jabatan. Singkatnya, ceritanya hari itu bisa dibilang seperti laporan lengkap diskusinya dengan pimpinan universitas.

Ya... Dari cerita itu saya simpulkan, sebenarnya persoalan yang dihadapi setiap organisasi hampir mirip satu sama lain, tak memandang apakah itu profit oriented atau bukan. Yang pasti, persoalan SDM memang nggak jauh-jauh dari kompetensi, gaji, jabatan, dan jam kerja. Persoalannya menjadi sedikit bervariasi karena ada stigma tertentu terhadap seseorang. Misalnya pimpinan berkata: "sebenarnya dia mampu... Tapi dulu dia pernah terlibat kasus A, B, C..." Persis, pelabelan. Bahkan label terhadap seseorang berperan sentral dalam bidang SDM, mau atau tidak; sadar atau tidak sadar.

Sejenak saya mengambil jarak dari cerita tersebut. Memandang dari jauh untuk menemukan angle yang menarik dari berbagai fenomena pengelolaan SDM itu.

Faktanya, sebuah organisasi dibentuk untuk dapat berkompetisi atau bekerjasama dengan organisasi lain. Organisasi terdiri dari banyak individu yang disatukan. Lantas bagaimana jika organisasi terdiri dari individu-individu yang saling mencurigai, saling bersaing, saling menerkam dan malah membentuk kelompok-kelompok kecil di dalam sebuah organisasi? Inilah yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini.

Mencurigai, bersaing, saling mendahului, saling menguasai--adalah sifat dasar manusia menurut Hobbes, Freud, dan berbagai filsuf maupun ahli psikologi lainnya. Manusia berbuat demikian untuk mencapai tujuan pribadinya. Namun seharusnya berbeda bila setiap individu membentuk organisasi yang merupakan kesatuan setiap individu yang memiliki tujuan yang sama, tujuan yang besar, yang hanya bisa dicapai jika bersama-sama. Setiap individu harus mengorbankan keinginan pribadinya untuk mencapai keinginan bersama. Idealnya, tujuan setiap individu seharusnya sama dengan tujuan organisasi.

Universitas bertujuan untuk mendidik. Maka sepatutnya seluruh karyawannya memiliki passion dan tujuan pribadi untuk mendidik. Perusahaan bertujuan meraih keuntungan. Maka seluruh karyawannya harus memiliki tujuan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka tidak ada tempat bagi orang yang bertujuan mencari jabatan dan kekuasaan di sana. Jika ingin mencari jabatan dan kekuasaan , carilah organisasi yang memang bertujuan mendapatkan jabatan dan kekuasaan dengan cara-cara tertentu misalnya partai politik. Hanya dengan kesesuaian tujuan hidup individu dengan tujuan organisasi, sebuah tujuan besar akan tercapai lebih mudah.

++++

Rekomendasi untuk setiap individu: TETAPKAN TUJUAN, DAN CARILAH ORGANISASI YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ANDA.

Rekomendasi bagi organisasi: HIRE-LAH ORANG-ORANG YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ORGANISASI.

++++


Salam secangkir kopi!
Sabar Aritonang (2 Mei 2012)

Selasa, 01 Mei 2012

Mahalnya Pengalaman

Tokoh yang akan saya bangkitkan dalam tulisan ini adalah Gabriel Marcel. Ia seorang filsuf eksistensial yang tersohor, juga menulis buku The Philosophy of Existensialism. Baginya, yang membuat seseorang dapat menghidupkan filsafat adalah PENGALAMAN. Belajar filsafat hanya akan melelahkan manusia. Konsep-konsepnya abstrak, dan tidak berada pada diri manusia itu sendiri. Filsafat akan menjadi lebih hidup jika filsafat itu didasarkan pada pengalaman.

Jika orang ingin mendekati filsafat, semua topik yang diamati harus dianggap sebagai misteri, bukan masalah. Misalnya: putus cinta. Putus cinta jangan dianggap sebagai masalah. Anggaplah itu sebagai misteri tentang cinta atau misteri tentang putus cinta. Jika ini dirumuskan dengan pemikiran filosofis, maka ini akan membuat filsafat itu hidup. Inilah yang disebut dengan eksistensial! Saat eksistensi kita terancam karena sebuah pengalaman, itulah sumber teori eksistensial yang sesungguhnya!

Pembaca yang budiman, bukankah Anda punya pengalaman yang juga menggetirkan eksistensi Anda? Misalnya divonis, dilabel, diancam, kadang kala menggetirkan, bukan? Daripada menganggapnya sebagai masalah, cobalah untuk menganggapnya sebagai sebuah misteri yang akan diungkapkan. Cobalah mengungkap misterinya! Tulislah! Itu akan membuat filsafat dan segala ilmu menjadi hidup.


Catatan Kuliah di STF Driyarkara,
Filsafat Kontemporer (1 Mei 2012)
Pengampu: Dr. Thomas H. Djaja, SJ.

EKSISTENSIALISME

"Dasar manusia jahanam! Memang koruptor tak tau diuntung!"

Kalimat di atas bukan saja mampu memprovokasi, tapi mampu menghadirkan wacana filosofis tentang diri manusia. "Manusia itu jahanam, koruptor tak tau diuntung" tentu saja kalimat yang menceritakan tentang seseorang, yang berkorupsi dan kemudian dikutuk oleh orang lain. Namun apakah koruptor memang akan selamanya jahanam? Apakah seorang jahanam juga akan selamanya buruk? Nyatanya, manusia mampu berubah-ubah.

Mari kita ingat para pejuang reformasi. Para mahasiswa yang dulunya berada pada barisan menurunkan Pak Harto, setelah jadi anggota DPR, tidak pasti bahwa dia seideal apa yang dulunya digagasinya. Tokh setelah jadi anggota DPR juga masih ada yang korup. Maka, ini membuktikan bahwa manusia dapat berubah. Dia hanya tidak dapat berubah jika dia sudah meninggal dunia. Melabel seseorang (manusia) pada masa hidupnya sangatlah tidak masuk akal dan tidak jujur.

Inilah yang dicuplik J.P. Sartre, filsuf eksistensialisme yang termahsyur. Konsep eksistensialisme adalah bahwa manusia dapat berubah. Selama hidupnya, manusia akan menjadi PENGADA UNTUK DIRINYA (being for itself) dan PENGADA PADA DIRINYA (being in itself). Dia bisa menciptakan dirinya yang berbeda-beda. Dia bisa menghargai dirinya, membangun dirinya, dan membuat dirinya eksis atau tidak. Tujuan umum manusia adalah membuat dirinya selaras dengan being for itself dan being in itself. Manusia sangat bebas. Ya, sangat bebas menciptakan dirinya maupun membangun dirinya. Bagi Sartre, tidak ada Tuhan. Sebab jika ada Tuhan, kebebasan manusia tidak ada.

Konsep eksistensialisme yang diberikan oleh Sartre dapat dinyatakan sebagai gerakan humanisme. Gagasan Sartre merupakan doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Manusia tidak lain daripada apa yang dipilih dan diciptakannya dalam hidup, tetapi bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk semua manusia. Memang harus diakui bahwa pandangan "esksistensi mendahului esensi" sebagai konsekuensi dari ketiadaan Tuhan, tapi setidaknya gagasan Sartre secara filosofis dapat diterima.

Mari mencuplik kembali kisah manusia. Seorang buronan dan mantan penjahat bisa saja menjadi orang suci. Orang suci sekelas Pastur pun bisa menjadi bejat dan jauh dari kebenaran. Setiap manusia dapat berubah. Esensinya, apakah dia baik atau buruk, hanya dapat disimpulkan saat manusia itu meninggal dunia. Sebab selama dia hidup, dia masih dapat menciptakan dirinya yang baru.

Teori eksistensialisme bukan saja menjadi teori. Ini memberi implikasi bagi masyarakat, bahwa tak ada jalan terbuka. Hidup tidak hanya sekali dalam eksistensialisme. Hidup bisa berkali-kali. Bisa berubah-ubah. Pada keadaan inilah manusia eksis.


Catatan kuliah STF Driyarkara,
1 Mei 2012 (MK: Filsafat Kontemporer)
Pengampu: Dr. Thomas H. Tjaja, SJ.

MANUSIA DAN TUHAN (Bagian I)


Setelah menyadari bahwa menalar Tuhan adalah hal yang dapat dilakukan, dan setelah dapat dirumuskan jalan-jalan yang dapat ditempuh menuju Tuhan, perlu dilakukan sebuah pengenalan terhadap konsep-konsep filsafat yang menguraikan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, dalam hal ini dunia. Konsep-konsep filsafat yang dimaksud bukanlah konsep dalam pengertian kaku, melainkan lebih tepat disebut sebagai pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan bagaimana manusia dapat berbicara tentang Tuhan dalam keterbatasan manusia. Lantas dengan keterbatasan manusia untuk memahami Tuhan, bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia, dan bagaimana Tuhan yang tidak terbatas itu dapat berhubungan baik dengan manusia yang sangat terbatas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting, karena pada kenyataannya, yang superior akan menguasai yang inferior; ciptaan akan dikuasai Pencipta; dan yang inferior tidak mungkin bisa memahami yang superior secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini secara sistematis pada setiap anak judul.


I. MEMBICARAKAN TUHAN DENGAN BAHASA MANUSIA
Bagaimana mungkin manusia yang sangat terbatas menggunakan bahasa yang juga sangat terbatas untuk berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas? Pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab, sebab dituntut sebuah argumen ketat berdasarkan bukti kemampuan berbahasa manusia. Wittgenstein dalam Suseno (2006, hlm. 185) menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat diperkatakan, orang harus diam.” Namun secara logis, tidak berarti bahwa manusia tidak mampu memperkatakannya. Apalagi wacana tentang Tuhan yang sudah melekat dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan orang beragama, dalam tatanan sosial dan masyarakat. Manusia beriman dan beragama seharusnya terpanggil untuk mencoba memperkatakannya, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya atas iman yang dianutnya.
Harus diakui, keterbatasan bahasa manusia hanyalah salah satu dari berbagai keterbatasan yang ada untuk berbicara tentang Tuhan. Misalnya pengalaman. Tidak ada manusia yang memiliki pengalaman dalam mengamati Tuhan. Pengalaman Tuhan adalah pengalaman transendental, sementara bahasa manusia sangat terbatas pada objek-objek inderawi, yang dibatasi ruang dan waktu. Padahal, Tuhan secara nyata tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak juga dapat dikategorikan sebagai objek inderawi. Dengan demikian, bahasa manusia hampir tidak mungkin digunakan untuk berbicara tentang Tuhan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk berbicara tentang Tuhan adalah bahasa dialektis (Suseno, 2006, hlm.187). Bahasa dialektis artinya bahwa dalam berbicara tentang Tuhan, manusia dituntut untuk memberikan pernyataan, kemudian dapat menyangkal pernyataannya, dan akhirnya membetulkan pernyataannya. Memberikan pernyataan artinya, manusia tidak lagi perlu ragu dalam memberitahukan apa yang diketahuinya tentang nilai-nilai Ketuhanan. Misalnya Tuhan itu Baik, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Ada. Semua itu dapat dinyatakan oleh manusia karena manusia menyadari bahwa Tuhan itu adalah realitas mutlak personal. Sehingga pastilah tidak ada nilai negatif dalam diri-Nya (Suseno, 2006, hlm. 187). Dengan demikian, manusia dituntut untuk menyangkal segala atribut negatif yang diberikan kepada Tuhan. Setelahnya, manusia dapat memahami Tuhan dengan jalan transendensi. Transendensi karena melamapui pemahaman yang terbatas. Manusia tidak terkotak lagi dengan pemahaman yang keliru dan terbatas. Ini adalah proses yang dapat berkelanjutan dan untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Tuhan, manusia diharapkan mampu melakukannya.
Berbicara tentang Tuhan dengan bahasa dialektis mengantarkan manusia untuk melampaui segala keterbatasannya untuk memahami Tuhan yang tidak terbatas. Kiranya jelas bahwa manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan dengan bahasa yang bermakna ganda (ekuivok) maupun bahasa yang bermakna tunggal (univok). Sebab dengan menggunakan kedua bahasa itu, manusia sangat mereduksi Tuhan itu sendiri. Jalan yang paling mungkin digunakan manusia adalah bahasa analog. Dengan menggunakan bahasa analog, manusia dapat berbicara tentang Tuhan dengan tidak membatasi Tuhan berdasarkan definisi manusia itu sendiri. Bisa saja sama dengan apa yang dibicarakan, namun bisa saja berbeda. Dasar analoginya adalah bahwa segala pengada bersatu dalam kemengadaan (Suseno, 2009, hlm. 190). Sampai disinilah batas manusia untuk dapat berbicara tentang Tuhan.


II. TUHAN SEBAGAI PENCIPTA: TRANSENDEN DAN IMANEN
Kiranya telah jelas bahwa manusia terbatas untuk berbicara tentang Tuhan, tapi dapat berbicara tentang Tuhan secara analog. Pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana hubungan Tuhan dengan alam semesta yang diciptakannya?
Tuhan adalah Pencipta. Jika dia adalah Pencipta, maka Ia independen, tidak bergantung pada ciptaan-Nya, karena tokh Ia bisa menolak untuk menciptakan dan merusak ciptaan-Nya. Tuhan itu menciptakan dalam arti creation ex nihilo. Ia menciptakan alam semesta dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Maka Ia adalah transenden. Hubungannya dengan manusia adalah hubungan transendensi. Pencipta memiliki kesatuan transendensi dengan ciptaan-Nya (Suseno, 2009, hlm. 192-193).
Hal ini disorot oleh deisme. Tuhan adalah pencipta, dan akhirnya Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya sendirian, tanpa pemeliharaan Tuhan. Deisme menolak adanya campur tangan Tuhan pada alam semesta. Namun paham ini sama sekali tidak kuat karena jika alam raya dapat eksis tanpa campur tangan Tuhan, bahkan tanpa diciptakan oleh Tuhan pun, alam raya seharusnya ada. Maka tidak mungkin Tuhan menciptakan, lantas meninggalkannya. Sebab alam semesta nyata-nyata bukan mutlak, tetapi diciptakan.
Tapi pada kenyataannya tidak dapat ditolak bahwa sebenarnya Tuhan tidak terpisah jauh sekali dari ciptaan-Nya. Karena salah satu sifatnya adalah sebagai penyayang, Pencipta itu memelihara ciptaan-Nya terus menerus. Itu artinya, Tuhan juga terlibat banyak dengan ciptaan-Nya. Ia memiliki kesatuan imanen dengan ciptaan-Nya, karena dengan campur tangannya untuk memelihara ciptaan-Nya, Tuhan juga ada di dalam ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia transenden sekaligus imanen? Karena Ia adalah realitas mutlak. Ia dapat di mana-mana ada (imanen), sekaligus di mana-mana tidak ada (transenden) (Suseno, 2009, hlm. 193-194).


III. KEMAHAKUASAAN TUHAN DAN KEBEBASAN MANUSIA
Intinya begini. Manusia jelas adalah ciptaan. Manusia lebih lemah daripada Tuhan yang Maha Kuasa dan superior. Lantas bagaimana manusia yang dipelihara oleh Tuhan bisa menjadi manusia yang bebas jika Tuhan itu sendiri Maha Kuasa, superior dan sangat hebat. Bagaimana mungkin ada hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan jika terdapat perbedaan kekuasaan yang sangat besar di antara keduanya?
Untuk menjawabnya, dapat dilakukan beberapa pendekatan dengan argumentasi. Keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa justru membuat manusia semakin hebat, atau dengan kata lain, Tuhan sebenarnya memberdayakan manusia, bukan memperdaya manusia. Tuhan menjadikan manusia memiliki daya untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Tuhan tidak memperdaya manusia, karena Tuhan tidak bersaing dengan manusia. Manusia dan Tuhan memiliki “area” perjuangan yang berbeda, sehingga tidak mungkin bersaing kemudian saling memperdaya. Yang ada hanyalah bahwa Tuhan memberdayakan manusia. Hal ini menjadi mungkin karena Tuhan itu Maha Kuasa. Ia mampu membuat manusia memiliki daya yang penuh. Dengan daya yang dimilikinya, manusia kemudian mampu menentukan pilihan secara bebas dan sangat bebas. Peran Tuhan dalam kebebasan manusia adalah memberikan nilai atau bobot terhadap pilihan manusia. Bobot itu menjadi acuan yang baik. Sehingga dengan adanya Tuhan yang Maha Kuasa, kebebasan manusia menjadi lebih bermakna, penuh arti. Kuasa manusia semakin bernilai dan makin berbobot.
Refleksi filosofis tentang Kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia di atas bukan tanpa cacat. Kerja sama antara Pencipta dan ciptaan, antara Kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia tidak mudah dianalisis (Leahy, 1994, hlm. 229; Suseno, 2006, hlm. 215). Sebab bagaimana manusia yang mandiri dan punya daya harus bergantung pada Tuhan? Mengapa harus bekerja sama jika mandiri. Namun justru di sinilah letak Kemahakuasaan Tuhan. Manusia tidak mengerti bagaimana cara-Nya bekerjasama dengan manusia. Terlebih lagi, jika pengertian tentang “kebebasan manusia” sama sekali dalam pengertian yang terbatas. Sebab sebenarnya, kebebasan manusia itu bukan kebebasan yang tak beraturan tanpa nilai dan norma. Di sinilah letak keterbatasan manusia berbicara tentang kaitan Tuhan yang Maha Kuasa dengan kebebasan manusia.

Sumber:Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta/ Jakarta: Penerbit Kanisius/ BPK Gunung Mulia.

Jumat, 06 April 2012

FILSAFAT KETUHANAN dan TEOLOGI

1.      Apa perbedaan antara filsafat ketuhanan dan teologi?
Perbedaan filsafat ketuhanan dan teologi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Filsafat Ketuhanan
Teologi
1.      Mempertanggungjawabkan iman berdasarkan rasionalitas, dengan memakai nalar.
2.      Nalar adalah sumber kebenaran.
1.      Mempertanggungjawabkan iman berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan.
2.      Wahyu adalah sumber kebenaran.

2.      Apa yang dimaksud dengan perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris?

Perubahan paradigma teosentris ke paradigma antroposentris adalah sebuah perubahan cara pandang manusia dalam sejarah, berlangsung pada abad 13-17 di Eropa. Paradigma teosentris artinya, manusia memandang sesuatu dari sudut Allah; terjadi pada abad ke-10 sampai abad ke-15. Sementara paradigma antroposentris adalah memandang segala sesuatu dari sudut manusia, bukan dari sudut Allah. Perubahan paradigma ini mendorong manusia dan para filsuf seperti Thomas Aquinas untuk mencari jawaban atas segala pertanyaan kitab suci dengan menggunakan nalar. Perubahan paradigma ini pula yang mendorong lahirnya humanisme, renaisans, dan rasionalisme.
3.      Apa yang dimaksud dengan deisme?
Deisme adalah paham tentang Allah. Butir-butir pahamnya antara lain: (a) Allah tidak diperlukan, sebab Allah tidak campur tangan terhadap dunia; (b) Allah adalah dasar dari segala penyebaban, bukan salah satu penyebab di antara penyebab lain di dunia. Deisme adalah paham yang berkembang pesat dan membuka pintu bagi ateisme.
4.      Apa tiga tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte?
Tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tahap
Cara Menjelaskan Gejala-Gejala Alam
1.      Teologis
Menguraikan bahwa gejala-gejala alam adalah hasil tindakan dewa.
2.      Metafisik
Dengan konsep spekulasi filsafat.
3.      Pengamatan ilmiah
Melakukan pengamatan ilmiah tentang bagaimana gejala alam saling mempengaruhi.


Sabtu, 24 Maret 2012

HAK MILIK?

Masalah kepemilikan memang selalu hangat. Di kota besar seperti Jakarta, masalah kepemilikan tanah dan gedung tidak sedikit memicu konflik. Masih membekas di mata, bayangan liputan beberapa siaran televisi yang memberitakan “aksi jahit mulut” atas rencana pembangunan apartemen di daerah Pramuka; aksi “parang memarang” antar kelompok di beberapa wilayah; dan adanya pemaksaan yang intens terhadap masyarakat miskin untuk minggat dari areal yang akan dibangun dengan gedung-gedung pencakar langit. Terciptalah gedung-gedung megah, perumahan-perumahan elit, dan taman-taman indah yang sesungguhnya, dibalik lahan tersebut tercurah keringat ratusan rakyat miskin dan darah para pahlawan.
Isu kepemilikan tanah bukan hanya terjadi di kota besar sekelas Jakarta. Bintan misalnya, sebuah pulau kecil yang berbatasan dengan Singapura. Area wisata “Bintan Resort” yang mahsyur itu justru masih memiliki dilema dengan beberapa warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada pengelola Bintan Resort. Alhasil, mereka tinggal di tengah kawasan wisata, menikmati fasilitas yang ada meskipun manajemen Bintan Resort harus rela tak rela melihatnya. Hal seperti ini pun tidak mudah ketika masalah ini terjadi di Papua. “Ini bukan tanah Indonesia, ini tanah kami!” Ya, ujaran demikian tidak langka disampaikan oleh warga Papua.
Pertanyaan filosofis yang muncul adalah mengapa sebagian besar orang rela menjual harta miliknya dan digusur keberadaannya dari tanah miliknya, sementara yang lain sama sekali tidak mau bergeser? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan mencoba memberikan tawaran solusi atas keadaan runyam tentang kepemilikan.
Kepemilikan tanah bukan isu baru dalam alam pemikiran. John Locke (1632-1704) misalnya, menguraikan idenya tentang kondisi asali bahwa pada awalnya, semua manusia tidak “memiliki” tanah, namun hanya mengolahnya sesuai dengan kemampuannya. Jika seseorang berbadan kuat, maka lahan yang diolahnya pun besar. Tanah menjadi persoalan ketika tanah memiliki nilai uang tertentu. Akibatnya, setiap orang berebut lahan yang lebih luas, dan saling bersaing. Dalam persaingan, amat wajar jika ada yang kalah dan menang. Yang menang menjadi tuan tanah, yang kalah menjadi kuli kebun.
Karl Marx memberikan sebuah langkah resolutif untuk persoalan rumit yang digambarkan Locke. Konsep Marx adalah agar tata kepemilikan pribadi harus didasarkan atas prinsip kesamaan dan kesetaraan. Sementara itu, John Stuart Mill memiliki argumen bahwa kepemilikan tanah hanya dapat diperoleh jika seseorang telah memberikan manfaat terhadap tanah tersebut.
Luasnya pemikiran tentang kepemilikan tanah inilah yang membentuk berbagai aliran pemikiran misalnya “libertarianianisme” (Robert Nozick) yang menganjurkan peran minimal negara, dan “liberalisme kesejahteraan” (John Rawls) yang menganjurkan peran intervensi negara dan sistem kesejahteraan sosial. Lantas, bagaimana sih yang seharusnya terjadi? Apa yang faktual terjadi adalah: 1% warga kaya menguasai 40% kekayaan dunia; 5% menguasai 71% harta dunia; 10% menguasai 85% kekayaan dunia.
Mari membedah gagasan Locke lebih dalam. Bagi Locke, pada awalnya seluruh benda di dunia tidak dimiliki siapa-siapa. Contohnya, buku. Buku ini milik Tuan A, terbuat dari pohon yang dimiliki Ibu B. Pohon itu bersumber dari biji pohon, dan biji pohon itu bersumber dari pohon yang lain, demikian seterusnya hingga tiba pada benda yang tak dimiliki siapapun. Menurut Locke, sebuah benda dapat dimiliki seseorang jika dia menambahkan “nilai kerja, nilai tambah, dan nilai kelayakan.” Artinya, seseorang yang mengerjakan sebidang tanah hingga memberikan hasil, dan membuat tanah itu lebih bernilai dari sebelumnya berhak memiliki tanah tersebut. Namun, argumen Locke tidak kuat untuk menguraikan kepemilikan tanah. Sebab, semua argumen itu hanya berlaku selama “masa pengolahan” dan tidak lebih. Pemilikan menjadi tetap irasional. Robert Nozick pun mengkritik argumen Locke atas kepemilikan berdasarkan nilai kerja. “Jika saya memiliki cairan, lalu saya menuangkannya ke laut, apakah laut menjadi milik saya?” Tentu saja pemikiran Locke tidak menjawab pertanyaan seperti ini.

Pagi ini, saat saya mengaduk kopi luwak, saya terpancing informasi menarik dari inspirator saya yang menceritakan apa yang dibacanya dari buku “Membina Pendidikan Sejati” karya Ellen G. White. Terlepas dari penulisnya yang diklaim mendapat wahyu dari Yang Adikodrati, saya tertarik dengan gagasannya yang kiranya dapat menjadi salah satu alternatif solusi. Gagasannya bersumber dari pemaparannya tentang sejarah. Ya, tulisann.ya lebih condong kepada sejarah bangsa-bangsa, khususnya bangsa Israel yang dituliskan dalam kitab taurat. Hak milik adalah istilah yang sudah dikenal sejak dulu, sejak zaman bangsa Israel menerima langsung wahyu dari Allah. Tanah dibagi rata kepada 1 suku bangsa Israel kecuali suku Lewi yang ditugaskan untuk mengatur tata ibadah di bait suci. Seseorang boleh menjual tanah miliknya kepada orang lain, asal bukan menjual milik anaknya. Tanah yang dijualnya dapat dibelinya kembali sewaktu-waktu dan orang yang membeli tanahnya wajib membrikan tanahnya jika orang tersebut sudah membayarnya kembali. Demikian pula jika seseorang berutang, dia dapat membayarnya dengan memberikan tanah miliknya kepada si pemberi utang. Namun pada tahun ketujuh , si pemberi utang harus mengembalikan tanahnya kepada pemilik aslinya kembali. Pada tahun ketujuh, sebagaimana tradisi Israel, adalah tahun cuti. Tahun itu hanya digunakan untuk pergaulan sosial dan waktu utnuk kedermawanan. Tidak ada yang bekerja di kebun, dan hasil kebun pada tahun ketujuh dinikmati bersama, khususnya diberikan untuk orang miskin. Kondisi historis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perebutan kekuasaan, tidak ada kemelaratan permanen setelah menjual atau memberikan tanah, tidak pula ada kemiskinan yang amat parah, karena setiap warga menikmati hasil bersama. Tidak pula ada pembodohan yang membuat seseorang hanya menjadi kuli kebun terus menerus, tidak ada konflik kepemilikan, dan cara seperti ini secara historis mampu mencegah kemiskinan.
Deskripsi historis ini bukan saja logis, namun amat mungkin menjadi argumen kuat tentang kepemilikan. Jika saja manajemen PT. Freeport, serta berbagai perusahaan lainnya menyempatkan diri berefleksi tentang hak milik, kiranya kesimpulan yang sama akan ditemukan.

Salam secangkir kopi!
Toast dari Semanggi