Rabu, 02 Mei 2012

Fenomena Dunia Menjepit

Kemarin, di perjalan menuju kampus, seorang teman bercerita panjang lebar sepanjang perjalanan yang mengambil waktu lebih dari setengah jam. Ia seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sedang dipercaya untuk ngurusin SDM. Ceritanya mulai dari kompetensi pegawai, dosen, penggajian, assesment, hingga skill masing-masing pegawai yang akan diberikan jabatan. Singkatnya, ceritanya hari itu bisa dibilang seperti laporan lengkap diskusinya dengan pimpinan universitas.

Ya... Dari cerita itu saya simpulkan, sebenarnya persoalan yang dihadapi setiap organisasi hampir mirip satu sama lain, tak memandang apakah itu profit oriented atau bukan. Yang pasti, persoalan SDM memang nggak jauh-jauh dari kompetensi, gaji, jabatan, dan jam kerja. Persoalannya menjadi sedikit bervariasi karena ada stigma tertentu terhadap seseorang. Misalnya pimpinan berkata: "sebenarnya dia mampu... Tapi dulu dia pernah terlibat kasus A, B, C..." Persis, pelabelan. Bahkan label terhadap seseorang berperan sentral dalam bidang SDM, mau atau tidak; sadar atau tidak sadar.

Sejenak saya mengambil jarak dari cerita tersebut. Memandang dari jauh untuk menemukan angle yang menarik dari berbagai fenomena pengelolaan SDM itu.

Faktanya, sebuah organisasi dibentuk untuk dapat berkompetisi atau bekerjasama dengan organisasi lain. Organisasi terdiri dari banyak individu yang disatukan. Lantas bagaimana jika organisasi terdiri dari individu-individu yang saling mencurigai, saling bersaing, saling menerkam dan malah membentuk kelompok-kelompok kecil di dalam sebuah organisasi? Inilah yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini.

Mencurigai, bersaing, saling mendahului, saling menguasai--adalah sifat dasar manusia menurut Hobbes, Freud, dan berbagai filsuf maupun ahli psikologi lainnya. Manusia berbuat demikian untuk mencapai tujuan pribadinya. Namun seharusnya berbeda bila setiap individu membentuk organisasi yang merupakan kesatuan setiap individu yang memiliki tujuan yang sama, tujuan yang besar, yang hanya bisa dicapai jika bersama-sama. Setiap individu harus mengorbankan keinginan pribadinya untuk mencapai keinginan bersama. Idealnya, tujuan setiap individu seharusnya sama dengan tujuan organisasi.

Universitas bertujuan untuk mendidik. Maka sepatutnya seluruh karyawannya memiliki passion dan tujuan pribadi untuk mendidik. Perusahaan bertujuan meraih keuntungan. Maka seluruh karyawannya harus memiliki tujuan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka tidak ada tempat bagi orang yang bertujuan mencari jabatan dan kekuasaan di sana. Jika ingin mencari jabatan dan kekuasaan , carilah organisasi yang memang bertujuan mendapatkan jabatan dan kekuasaan dengan cara-cara tertentu misalnya partai politik. Hanya dengan kesesuaian tujuan hidup individu dengan tujuan organisasi, sebuah tujuan besar akan tercapai lebih mudah.

++++

Rekomendasi untuk setiap individu: TETAPKAN TUJUAN, DAN CARILAH ORGANISASI YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ANDA.

Rekomendasi bagi organisasi: HIRE-LAH ORANG-ORANG YANG BERTUJUAN SAMA DENGAN ORGANISASI.

++++


Salam secangkir kopi!
Sabar Aritonang (2 Mei 2012)

Selasa, 01 Mei 2012

Mahalnya Pengalaman

Tokoh yang akan saya bangkitkan dalam tulisan ini adalah Gabriel Marcel. Ia seorang filsuf eksistensial yang tersohor, juga menulis buku The Philosophy of Existensialism. Baginya, yang membuat seseorang dapat menghidupkan filsafat adalah PENGALAMAN. Belajar filsafat hanya akan melelahkan manusia. Konsep-konsepnya abstrak, dan tidak berada pada diri manusia itu sendiri. Filsafat akan menjadi lebih hidup jika filsafat itu didasarkan pada pengalaman.

Jika orang ingin mendekati filsafat, semua topik yang diamati harus dianggap sebagai misteri, bukan masalah. Misalnya: putus cinta. Putus cinta jangan dianggap sebagai masalah. Anggaplah itu sebagai misteri tentang cinta atau misteri tentang putus cinta. Jika ini dirumuskan dengan pemikiran filosofis, maka ini akan membuat filsafat itu hidup. Inilah yang disebut dengan eksistensial! Saat eksistensi kita terancam karena sebuah pengalaman, itulah sumber teori eksistensial yang sesungguhnya!

Pembaca yang budiman, bukankah Anda punya pengalaman yang juga menggetirkan eksistensi Anda? Misalnya divonis, dilabel, diancam, kadang kala menggetirkan, bukan? Daripada menganggapnya sebagai masalah, cobalah untuk menganggapnya sebagai sebuah misteri yang akan diungkapkan. Cobalah mengungkap misterinya! Tulislah! Itu akan membuat filsafat dan segala ilmu menjadi hidup.


Catatan Kuliah di STF Driyarkara,
Filsafat Kontemporer (1 Mei 2012)
Pengampu: Dr. Thomas H. Djaja, SJ.

EKSISTENSIALISME

"Dasar manusia jahanam! Memang koruptor tak tau diuntung!"

Kalimat di atas bukan saja mampu memprovokasi, tapi mampu menghadirkan wacana filosofis tentang diri manusia. "Manusia itu jahanam, koruptor tak tau diuntung" tentu saja kalimat yang menceritakan tentang seseorang, yang berkorupsi dan kemudian dikutuk oleh orang lain. Namun apakah koruptor memang akan selamanya jahanam? Apakah seorang jahanam juga akan selamanya buruk? Nyatanya, manusia mampu berubah-ubah.

Mari kita ingat para pejuang reformasi. Para mahasiswa yang dulunya berada pada barisan menurunkan Pak Harto, setelah jadi anggota DPR, tidak pasti bahwa dia seideal apa yang dulunya digagasinya. Tokh setelah jadi anggota DPR juga masih ada yang korup. Maka, ini membuktikan bahwa manusia dapat berubah. Dia hanya tidak dapat berubah jika dia sudah meninggal dunia. Melabel seseorang (manusia) pada masa hidupnya sangatlah tidak masuk akal dan tidak jujur.

Inilah yang dicuplik J.P. Sartre, filsuf eksistensialisme yang termahsyur. Konsep eksistensialisme adalah bahwa manusia dapat berubah. Selama hidupnya, manusia akan menjadi PENGADA UNTUK DIRINYA (being for itself) dan PENGADA PADA DIRINYA (being in itself). Dia bisa menciptakan dirinya yang berbeda-beda. Dia bisa menghargai dirinya, membangun dirinya, dan membuat dirinya eksis atau tidak. Tujuan umum manusia adalah membuat dirinya selaras dengan being for itself dan being in itself. Manusia sangat bebas. Ya, sangat bebas menciptakan dirinya maupun membangun dirinya. Bagi Sartre, tidak ada Tuhan. Sebab jika ada Tuhan, kebebasan manusia tidak ada.

Konsep eksistensialisme yang diberikan oleh Sartre dapat dinyatakan sebagai gerakan humanisme. Gagasan Sartre merupakan doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Manusia tidak lain daripada apa yang dipilih dan diciptakannya dalam hidup, tetapi bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk semua manusia. Memang harus diakui bahwa pandangan "esksistensi mendahului esensi" sebagai konsekuensi dari ketiadaan Tuhan, tapi setidaknya gagasan Sartre secara filosofis dapat diterima.

Mari mencuplik kembali kisah manusia. Seorang buronan dan mantan penjahat bisa saja menjadi orang suci. Orang suci sekelas Pastur pun bisa menjadi bejat dan jauh dari kebenaran. Setiap manusia dapat berubah. Esensinya, apakah dia baik atau buruk, hanya dapat disimpulkan saat manusia itu meninggal dunia. Sebab selama dia hidup, dia masih dapat menciptakan dirinya yang baru.

Teori eksistensialisme bukan saja menjadi teori. Ini memberi implikasi bagi masyarakat, bahwa tak ada jalan terbuka. Hidup tidak hanya sekali dalam eksistensialisme. Hidup bisa berkali-kali. Bisa berubah-ubah. Pada keadaan inilah manusia eksis.


Catatan kuliah STF Driyarkara,
1 Mei 2012 (MK: Filsafat Kontemporer)
Pengampu: Dr. Thomas H. Tjaja, SJ.

MANUSIA DAN TUHAN (Bagian I)


Setelah menyadari bahwa menalar Tuhan adalah hal yang dapat dilakukan, dan setelah dapat dirumuskan jalan-jalan yang dapat ditempuh menuju Tuhan, perlu dilakukan sebuah pengenalan terhadap konsep-konsep filsafat yang menguraikan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, dalam hal ini dunia. Konsep-konsep filsafat yang dimaksud bukanlah konsep dalam pengertian kaku, melainkan lebih tepat disebut sebagai pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan bagaimana manusia dapat berbicara tentang Tuhan dalam keterbatasan manusia. Lantas dengan keterbatasan manusia untuk memahami Tuhan, bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia, dan bagaimana Tuhan yang tidak terbatas itu dapat berhubungan baik dengan manusia yang sangat terbatas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting, karena pada kenyataannya, yang superior akan menguasai yang inferior; ciptaan akan dikuasai Pencipta; dan yang inferior tidak mungkin bisa memahami yang superior secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini secara sistematis pada setiap anak judul.


I. MEMBICARAKAN TUHAN DENGAN BAHASA MANUSIA
Bagaimana mungkin manusia yang sangat terbatas menggunakan bahasa yang juga sangat terbatas untuk berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas? Pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab, sebab dituntut sebuah argumen ketat berdasarkan bukti kemampuan berbahasa manusia. Wittgenstein dalam Suseno (2006, hlm. 185) menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat diperkatakan, orang harus diam.” Namun secara logis, tidak berarti bahwa manusia tidak mampu memperkatakannya. Apalagi wacana tentang Tuhan yang sudah melekat dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan orang beragama, dalam tatanan sosial dan masyarakat. Manusia beriman dan beragama seharusnya terpanggil untuk mencoba memperkatakannya, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya atas iman yang dianutnya.
Harus diakui, keterbatasan bahasa manusia hanyalah salah satu dari berbagai keterbatasan yang ada untuk berbicara tentang Tuhan. Misalnya pengalaman. Tidak ada manusia yang memiliki pengalaman dalam mengamati Tuhan. Pengalaman Tuhan adalah pengalaman transendental, sementara bahasa manusia sangat terbatas pada objek-objek inderawi, yang dibatasi ruang dan waktu. Padahal, Tuhan secara nyata tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak juga dapat dikategorikan sebagai objek inderawi. Dengan demikian, bahasa manusia hampir tidak mungkin digunakan untuk berbicara tentang Tuhan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk berbicara tentang Tuhan adalah bahasa dialektis (Suseno, 2006, hlm.187). Bahasa dialektis artinya bahwa dalam berbicara tentang Tuhan, manusia dituntut untuk memberikan pernyataan, kemudian dapat menyangkal pernyataannya, dan akhirnya membetulkan pernyataannya. Memberikan pernyataan artinya, manusia tidak lagi perlu ragu dalam memberitahukan apa yang diketahuinya tentang nilai-nilai Ketuhanan. Misalnya Tuhan itu Baik, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Ada. Semua itu dapat dinyatakan oleh manusia karena manusia menyadari bahwa Tuhan itu adalah realitas mutlak personal. Sehingga pastilah tidak ada nilai negatif dalam diri-Nya (Suseno, 2006, hlm. 187). Dengan demikian, manusia dituntut untuk menyangkal segala atribut negatif yang diberikan kepada Tuhan. Setelahnya, manusia dapat memahami Tuhan dengan jalan transendensi. Transendensi karena melamapui pemahaman yang terbatas. Manusia tidak terkotak lagi dengan pemahaman yang keliru dan terbatas. Ini adalah proses yang dapat berkelanjutan dan untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Tuhan, manusia diharapkan mampu melakukannya.
Berbicara tentang Tuhan dengan bahasa dialektis mengantarkan manusia untuk melampaui segala keterbatasannya untuk memahami Tuhan yang tidak terbatas. Kiranya jelas bahwa manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan dengan bahasa yang bermakna ganda (ekuivok) maupun bahasa yang bermakna tunggal (univok). Sebab dengan menggunakan kedua bahasa itu, manusia sangat mereduksi Tuhan itu sendiri. Jalan yang paling mungkin digunakan manusia adalah bahasa analog. Dengan menggunakan bahasa analog, manusia dapat berbicara tentang Tuhan dengan tidak membatasi Tuhan berdasarkan definisi manusia itu sendiri. Bisa saja sama dengan apa yang dibicarakan, namun bisa saja berbeda. Dasar analoginya adalah bahwa segala pengada bersatu dalam kemengadaan (Suseno, 2009, hlm. 190). Sampai disinilah batas manusia untuk dapat berbicara tentang Tuhan.


II. TUHAN SEBAGAI PENCIPTA: TRANSENDEN DAN IMANEN
Kiranya telah jelas bahwa manusia terbatas untuk berbicara tentang Tuhan, tapi dapat berbicara tentang Tuhan secara analog. Pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana hubungan Tuhan dengan alam semesta yang diciptakannya?
Tuhan adalah Pencipta. Jika dia adalah Pencipta, maka Ia independen, tidak bergantung pada ciptaan-Nya, karena tokh Ia bisa menolak untuk menciptakan dan merusak ciptaan-Nya. Tuhan itu menciptakan dalam arti creation ex nihilo. Ia menciptakan alam semesta dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Maka Ia adalah transenden. Hubungannya dengan manusia adalah hubungan transendensi. Pencipta memiliki kesatuan transendensi dengan ciptaan-Nya (Suseno, 2009, hlm. 192-193).
Hal ini disorot oleh deisme. Tuhan adalah pencipta, dan akhirnya Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya sendirian, tanpa pemeliharaan Tuhan. Deisme menolak adanya campur tangan Tuhan pada alam semesta. Namun paham ini sama sekali tidak kuat karena jika alam raya dapat eksis tanpa campur tangan Tuhan, bahkan tanpa diciptakan oleh Tuhan pun, alam raya seharusnya ada. Maka tidak mungkin Tuhan menciptakan, lantas meninggalkannya. Sebab alam semesta nyata-nyata bukan mutlak, tetapi diciptakan.
Tapi pada kenyataannya tidak dapat ditolak bahwa sebenarnya Tuhan tidak terpisah jauh sekali dari ciptaan-Nya. Karena salah satu sifatnya adalah sebagai penyayang, Pencipta itu memelihara ciptaan-Nya terus menerus. Itu artinya, Tuhan juga terlibat banyak dengan ciptaan-Nya. Ia memiliki kesatuan imanen dengan ciptaan-Nya, karena dengan campur tangannya untuk memelihara ciptaan-Nya, Tuhan juga ada di dalam ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia transenden sekaligus imanen? Karena Ia adalah realitas mutlak. Ia dapat di mana-mana ada (imanen), sekaligus di mana-mana tidak ada (transenden) (Suseno, 2009, hlm. 193-194).


III. KEMAHAKUASAAN TUHAN DAN KEBEBASAN MANUSIA
Intinya begini. Manusia jelas adalah ciptaan. Manusia lebih lemah daripada Tuhan yang Maha Kuasa dan superior. Lantas bagaimana manusia yang dipelihara oleh Tuhan bisa menjadi manusia yang bebas jika Tuhan itu sendiri Maha Kuasa, superior dan sangat hebat. Bagaimana mungkin ada hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan jika terdapat perbedaan kekuasaan yang sangat besar di antara keduanya?
Untuk menjawabnya, dapat dilakukan beberapa pendekatan dengan argumentasi. Keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa justru membuat manusia semakin hebat, atau dengan kata lain, Tuhan sebenarnya memberdayakan manusia, bukan memperdaya manusia. Tuhan menjadikan manusia memiliki daya untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Tuhan tidak memperdaya manusia, karena Tuhan tidak bersaing dengan manusia. Manusia dan Tuhan memiliki “area” perjuangan yang berbeda, sehingga tidak mungkin bersaing kemudian saling memperdaya. Yang ada hanyalah bahwa Tuhan memberdayakan manusia. Hal ini menjadi mungkin karena Tuhan itu Maha Kuasa. Ia mampu membuat manusia memiliki daya yang penuh. Dengan daya yang dimilikinya, manusia kemudian mampu menentukan pilihan secara bebas dan sangat bebas. Peran Tuhan dalam kebebasan manusia adalah memberikan nilai atau bobot terhadap pilihan manusia. Bobot itu menjadi acuan yang baik. Sehingga dengan adanya Tuhan yang Maha Kuasa, kebebasan manusia menjadi lebih bermakna, penuh arti. Kuasa manusia semakin bernilai dan makin berbobot.
Refleksi filosofis tentang Kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia di atas bukan tanpa cacat. Kerja sama antara Pencipta dan ciptaan, antara Kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia tidak mudah dianalisis (Leahy, 1994, hlm. 229; Suseno, 2006, hlm. 215). Sebab bagaimana manusia yang mandiri dan punya daya harus bergantung pada Tuhan? Mengapa harus bekerja sama jika mandiri. Namun justru di sinilah letak Kemahakuasaan Tuhan. Manusia tidak mengerti bagaimana cara-Nya bekerjasama dengan manusia. Terlebih lagi, jika pengertian tentang “kebebasan manusia” sama sekali dalam pengertian yang terbatas. Sebab sebenarnya, kebebasan manusia itu bukan kebebasan yang tak beraturan tanpa nilai dan norma. Di sinilah letak keterbatasan manusia berbicara tentang kaitan Tuhan yang Maha Kuasa dengan kebebasan manusia.

Sumber:Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta/ Jakarta: Penerbit Kanisius/ BPK Gunung Mulia.