Kamis, 06 Oktober 2011

MENGGUGAT ENTREPRENEUR, Sebuah Refleksi Kritis di Akhir Chabbat

Tulisan ini berusaha mengungkapkan sifat dasar dan arti penting kewirausahaan. Arus globalisasi dalam dunia bisnis banyak mendorong manusia untuk mulai berwirausaha dan masuk dalam dunia bisnis. Tidak heran jika muncul motivator-motivator (bahkan ada yang pekerjaannya hanya menjadi motivator) yang merepresentasikan kewirausahaan adalah sebuah jalan keluar dari berbagai krisis dan kesulitan perekonomian. Pendekatan yang dilakukan bukan saja secara ekonomis[1] dan teoritis namun juga melakukan pendekatan psikologis,[2] antropologis dan cara-cara humanistik lainnya. Pada dasarnya, para motivator  ini dapat disebut sebagai entrepreneur. Pencerita kisah-kisah sukses tersebut pun merupakan entrepreneur. Demikian pula dengan dosen-dosen di dunia akademik yang mendorong para mahasiswanya pun dapat dikategorikan sebagai entrepreneur. Namun pada kenyataannya, menjadi entrepreneur tidaklah selamanya seperti impian dan harapan. Fenomena yang ada tentang kegagalan berbisnis, tentang kehancuran usaha, serta berbagai sisi lain yang tidak dikisahkan oleh para entrepreneur tersebut seharusnya tidak diabaikan. Untuk itulah pemaknaan ulang dan gugatan terhadap para entrepreneur yang tidak mengungkapkan secara utuh tentang kewirausahaan wajar dilakukan. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis pada rentan waktu tertentu (yakni Chabbath). Terminologi Perancis tersebut dipilih karena makna khususnya serta karena terminologi “kewirausahaan” pun berasal dari Perancis yang artinya adalah “menuju-di antara” (go-between) atau “di antara-pengambil” (between taker)[3] dan Perancis merupakan tempat kelahiran epistemologi[4]—sebagaimana tulisan ini merupakan upaya pendekatan epistemologi.

MENDEFINISIKAN KEMBALI ENTREPRENEURSHIP
Kewirausahaan tidaklah sesuatu yang baru. Istilah ini telah dikenal setidaknya sejak abad pertengahan. Hampir di setiap abad memiliki definisi tersendiri tentang kewirausahaan. Pada periode awalnya, Marco Polo lah yang dikenal sebagai pengusaha yang mengembangkan rute perdagangan hingga ke Timur Jauh. Marco Polo meminjamkan kapal dan menjamin para pengusaha untuk dapat melakukan kegiatan perdagangannya dengan aman. Setelah pedagang-pedagang tersebut berlabuh, Marco Polo memberikan 25% dari hasil penjualan dan Marco Polo memperoleh 75% dari seluruh keuntungan. Pada abad pertengahan, pengusaha adalah orang-orang yang bekerja pada proyek-proyek pemerintah seperti klerek di bidang arsitektur. Pengertian tentang kewirausahaan ini kemudian berkembang pada abad ke-17 yang memaknai kewirausahaan sebagai tindakan yang siap mengambil risiko, sebab penjualan barang/ jasanya tidak pasti. Perkembangan pengertian tersebut tidak lepas dari semakin kompleksnya permasalahan dalam dunia bisnis, dan pada abad ke-18, banyak pemodal yang meminjamkan uangnya bagi para pengusaha dengan bunga tertentu. Jumlah pengusaha yang kian banyak kemudian menggiring definisi baru bagi istilah kewirausahaan menjadi inovasi. Dalam hal ini, pengusaha menjadi inovator.
Gambaran historis tersebut menunjukkan bahwa kewirausahaan sendiri bukanlah sebuah ilmu. Itu merupakan sebuah keahlian dan bersifat dinamis. Kesepakatan yang diambil untuk definisi kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.[5] Empat aspek inti yang diutarakan dalam definisi tersebut adalah: penciptaan (seorang pengusaha perlu menciptakan sesuatu yang baru), waktu dan upaya yang dibutuhkan (seorang pengusaha perlu mengorbankan waktu dan memerlukan kerja keras), kebebasan (seorang pengusaha bebas mengelola usahanya dan seharusnya saling menghormati), serta menanggung risiko (seorang pengusaha harus memiliki kesiapan untuk menerima risiko).  Dengan demikian, entrepreneur perlu memiliki kesiapan atas ketidakpastian peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Definisi tersebut juga sekaligus memisahkan pengertian entrepreneur dengan penemu. Penemu adalah seseorang yang menciptakan sesuatu yang baru. Seorang penemu adalah pencipta sesuatu untuk pertama kalinya, seorang yang digerakkan oleh gagasan pribadinya. Pada umumnya seorang penemu berpendidikan tinggi. Kombinasi pengalaman dan pendidikan melengkapi kemampuannya untuk menemukan sesuatu yang baru. Tidak jauh berbeda dengan entrepreneurship, kegiatan penemu juga memiliki risiko kegagalan yang besar serta ketidakpastian. Secara praktis, penemu tidak akan mengomersialkan penemuannya sebab dia sangat menikmati proses untuk menemukan, bukan mengimplementasikan. Sementara seorang entrepreneur berfokus pada komersialisasi.
Pendefinisian di atas menunjukkan adanya perbedaan fenomena dengan definisi yang sesungguhnya. Para entrepreneur pada kenyataannya seakan amnesia dengan kegagalan dan mungkin saja sudah trauma dengan kegagalan. Sehingga para entrepreneur yang kemudian memotivasi orang lain untuk turut menjadi entrepreneur merupakan sekumpulan orang-orang pelupa dan traumatik dengan kegagalan. Atas dasar itu pula, informasi yang diberikan tidak disampaikan secara utuh. Pembekalan seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur tidak dilakukan dengan optimal sebab persiapan tersebut masih hanya menyentuh dua aspek saja dari empat aspek dasar yakni kebebasan dan inovasi. Berdasarkan kedua aspek inilah kemudian dibangun sebuah mimpi masa depan yang lebih baik—hingga suatu saat, para entrepreneur amatir tersebut terbangun dari mimpi indahnya dan tersadar bahwa dia selama ini tertidur dalam buaian mimpi. Para entrepreneur kelas berat memang sepertinya sudah lupa dan sangat trauma dengan kegagalan sehingga tidak membekali orang-orang muda untuk mempersiapkan diri menghadapi kedua aspek lainnya: pengorbanan waktu, serta risiko. Kesiapan orang yang ingin menjadi entrepreneur untuk mengorbankan waktu dan pemikiran serta seluruh sumber daya yang dimiliki seharusnya diungkapkan dengan tegas. Tidak sedikit entrepreneur amatir kemudian gulung tikar karena kekurangkonsitenannya untuk mengelola usaha. Ini dapat menjadi mimpi buruk. Demikian pula kesiapan orang yang ingin menjadi entrepreneur dalam menghadapi risiko perlu dipertegas. Risiko yang diterima bisa saja merupakan risiko positif, atau bahkan risiko negatif. Risiko positif dalam arti, entrepreneur memperoleh keuntungan yang sangat besar, sementara risiko negatif artinya entrepreneur menerima kegagalan yang sangat besar. Tidak sedikit pula entrepreneur yang tidak siap menerima keuntungan yang sangat besar sehingga menghabiskan keuntungannya dengan begitu saja. Maka pembekalan terhadap kesiapan menghadapi risiko merupakan hal penting yang seharusnya tidak diabaikan—terlebih saat mempersiapkan orang lain menjadi entrepreneur. Persiapan tersebut mencakup kesiapan entrepreneur untuk menerima untung sebesar-besarnya, dan kesiapan entrepreneur untuk mengatasi kerugian yang sebesar-besarnya. Seorang calon entrepreneur pun perlu dibekali dengan baik tentang tahap memulai sebuah usaha yang meliputi: kemampuan mengidentifikasi peluang,[6] membuat rencana bisnis,[7] memetakan sumber daya,[8] serta keahlian mengatur bisnis.[9]
            Dari perbedaan karakteristik penemu dengan entrepreneur dapat ditemukan bahwa entrepreneur bukanlah satu-satunya jalan. Entrepreneur hanya merupakan sebuah alternatif usaha untuk bertahan hidup dan bahagia. Dalam membekali calon-calon entrepreneur hendaknya menghindari pendekatan komparatif[10] untuk mencapai pengertian bahwa entrepreneur adalah pilihan hidup yang baik. Sebab dari definisi di atas, seorang entrepreneur akan bersinergi dengan penemu. Jika saja semua menjadi entrepreneur, dengan siapakah mereka bersinergi? Pendefinisian kewirausahaan yang lebih komprehensif tentunya sangat diperlukan.
PERAN KEWIRAUSAHAAN DALAM PEREKONOMIAN & PUBLIK
Kewirausahaan berjasa dalam publik dalam perekonomian bukan hanya terkait dengan pendapatan perkapita. Lebih dari itu, kewirausahaan berjasa untuk mendukung teori ekonomi yang menyatakan bahwa inovasi sebagai kunci untuk menstimulasi ketertarikan investasi. Kewirausahaan yang mendorong para pengusaha berinovasi terhadap penemuan-penemuan baru oleh penemu memberikan perspektif peluang baru bagi perekonomian, yakni proses evolusi produk. Dalam perspektif lain, pemerintah pada umumnya diharapkan menjadi jembatan penghubung antara teknologi dan kebutuhan sosial. Dari harapan tersebut, pemerintah seharusnya mampu mengomersilkan penemuan-penemuan teknologi—dalam hal inilah entrepreneur dibutuhkan dan seharusnya mengambil peran sebagai inovator.
Berbeda dengan kenyataan yang ada, justru  para pengusaha dengan pemerintah seakan berkompetisi dan bahkan saling menyerang. Serangan kepada pemerintah adalah kurangnya keberpihakan aturan dan birokrasi terhadap kewirausahaan.  Serangan kepada para pengusaha adalah penetapan harga yang cenderung monopolis dan kurang memperhatikan sisi etis dalam dunia bisnis. Sikap yang saling menyerang ini menimbulkan saling tidak percaya yang berujung pada ketidaksinergisan dalam pengembangan perekonomian. Tidak heran jika kewirausahaan belum menjadi tema sentral dalam perkembangan ekonomi. Dalam hal inilah para entrepreneur digugat. Karena setelah sekian lama bergulat dengan permasalahan yang sama, namun tidak memberikan pendekatan solusi—bahkan cenderung mewariskan permasalahan yang sama kepada calon entrepreneur. Lebih parah lagi, yang diwariskan adalah dendam dan pemberontakan terhadap regulasi pemerintah—sehingga menciptakan entrepreneur-entrepreneur yang suka mengeluh, suka menyalahkan keadaan, dan tidak dapat hidup tenang karena selalu dibayang-bayangi ketakutan. Hal ini yang semestinya menjadi bagian dari masa depan kewirausahaan mengingat pendidikan kewirausahaan di dunia akademik terus menjamur.
            Dalam ruang lingkup publik, kewirausahaan pun dapat berperan. Terlepas dari niat mencapai keuntungan, sisi etis sebuah usaha perlu dikembangkan dan dibangun sedemikian rupa. Berkarya dalam memberikan pekerjaan, pengabdian masyarakat, serta aspek-aspek lainnya dapat disentuh dengan kemampuan mengatur bisnis dengan baik. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain tekanan pribadi, norma sosial yang berlaku, serta tekanan kompetisi. Atas dasar inilah para pengusaha perlu dibekali dengan nilai-nilai etis kemanusiaan sehingga dalam berperan di publik pun, tidak menunjukkan kebuasan dan ketakutan.

MEMAKNAI KEWIRAUSAHAAN DI PENGHUJUNG CHABBAT
Entrepreneurship ternyata tidak dimulai oleh Marco Polo yang membuka arus dagang ke Timur Tengah. Bukan pula dimulai dengan adanya model-model serta pengayaan-pengayaan oleh tokoh-tokoh praktisi dan akademisi bisnis. Pertanyaan mendasar yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: Apakah pendefinisian entrepreneurship di muka bumi ini sudah lengkap menjelaskan entrepreneurship itu sendiri? Bahkan kenyataannya, entrepreneurship sangat dinamis—maka tentunya definisinya pun dinamis. Dengan demikian, entrepreneurship masih merupakan sebuah istilah yang mencoba menceritakan setumpuk kebingungan manusia terhadap entrepreneurship itu sendiri.
Pada kitab yang diwahyukan, terdapat kisah Adam dan Hawa yang menurut kisahnya sebagai manusia pertama di dunia. Salah satu kisah ini dituliskan oleh Moses di Kejadian 1-2.[11] Manusia pertama ini ditempatkan di sebuah taman dan hidup hanya berdua (sebagai manusia), sementara lainnya adalah hewan-hewan. Kisah romantik dramatik ini ternyata menyisakan sedikit sinyal aktifitas yang mereka lakukan sesuai instruksi Sang Pencipta mereka. Aktifitas mereka adalah mengusahakan dan mengelola taman tempat mereka tinggal. Mereka memiliki kebebasan untuk mengerjakan apapun untuk menghasilkan hasil yang yang maksimal yang mereka inginkan. Mereka juga memiliki kebebasan waktu—kecuali pada masa istirahat sebaiknya bertenang diri (misalnya saat Chabbat). Mereka saling menghargai, karena mereka juga sesama inovator yang memiliki keahlian masing-masing dalam mengusahakan taman itu. Dan Pencipta mereka telah mempersiapkan mereka juga terhadap risiko yang dapat menimpa mereka. Dikisahkan, mereka pernah memperoleh risiko karena salah memilih langkah. Karena kesiapan untuk memperoleh risiko terburuk, maka mereka mampu berinovasi dalam membuat pakaian (yang mana mereka dalam sekejap menjadi telanjang) karena kegagalannya. Dari kisah di atas, bukankah mereka juga adalah entrepreneur?
Kewirausahaan ternyata tidak terbatas pada definisi yang ada. Kewirausahaan pun menjadi warisan dari Pencipta kepada manusia pertama (dan mungkin saja bagi manusia sekarang). Maka kewirausahaan bukanlah sekedar jalan mencari keuntungan, peluang hidup, kekayaan, kebahagiaan, seperti yang diceritakan oleh para dosen entrepreneurship atau para motivator-motivator besar. Kewirausahaan dari perspektif yang lebih mulia adalah “menggunakan dan mengelola warisan Pencipta.” Dalam definisi inilah segala konflik, ketidaketisan, persaingan, serta ketegangan dalam dunia bisnis akan luntur. Dalam definisi dan cara Pencipta dalam mempersiapkan manusia pertama itulah seharusnya penyesatan dan pengelabuan oleh para akademisi bisnis dan motivator-motivator diakhiri. Serta dalam pengertian itulah gugatan terhadap para entrepreneur diakhiri—karena kenyataannya, memang para entrepreneur tersebut adalah kaum traumatis dan kaum yang lupa diri, lupa Pencipta. Maka bergunakah hamba menggugat entrepreneur yang amnesia dan traumatis?


[1] Bahwa seseorang perlu menggabungkan sumber daya, tenaga kerja, bahan baku, serta aset lain untuk menghasilkan nilai yang lebih besar dari sebelumnya.
[2] Bahwa manusia digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu, bereksperimen, menyelesaikan atau mungkin melarikan diri dari otoritas orang lain.
[3] Hisrich, R., Peters, M., Shepherd, D. 2008. Kewirausahaan, Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hal. 6.
[4] Ilmu tentang pengetahuan.
[5] Hisrich, R., Peters, M., Shepherd, D. 2008. Kewirausahaan, Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hal. 10.
[6] Melihat pasar apa yang akan diisi? Bagaimana kondisi sosial yang mendasari kebutuhan pasar tersebut?
[7] Menyusun rencana yang komprehensif.
[8] Mencari tahu sumber daya apa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diharapkan, serta menyusun strategi apa yang akan dilakukan untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan.
[9] Mengembangkan gaya manajemen, mengidentifikasi dan mengendalikan masalah. Bahkan aspek ini mencakup kemampuan untuk memilih usaha apa yang dilakukan? Apakah gazzeles yang berpotensi pertumbuhan sangat besar? Apakah perusahaan keuangan yang dibentuk berdasarkan penelitian terhadap pasar saham? Apakah perusahaan gaya hidup yang memiliki keterbatasan pertumbuhan? Atau apakah perusahaan yang berpotensi tinggi untuk mendapatkan dana dari investor?
[10] Seperti membandingkan gaji pegawai dengan gaji pengusaha sukses, dan lain sebagainya.
[11] Untuk ini, terimakasih pada Dr (Kand.). Lidia Sandra, S.Psi., M.Comm.Eng.Sc., Direktur SDM Universitas Kristen Krida Wacana atas diskusi expert yang akhirnya menggiring pemikiran kepada tulisan-tulisan pewahyuan.

Minggu, 26 Juni 2011

Perbandingan Dua Bangsa Besar

Entah mengapa cukup sering aku mendengar kisah tentang orang Tiongkok (atau Tionghoa) yang jika dibandingkan dengan orang Indonesia berbanding terbalik dalam hal kerja keras, kegigihan, dan kemampuan berbisnis. Orang Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia dikenal lebih tekun dan lebih bersungguh-sungguh daalam bekerja. Dalam sejarah dunia, suku bangsa Tionghoa pun telah dikenal cukup lama sebagai pedagang dan hampir ada di setiap negara. Sebagai bukti, nama tempat di beberapa daerah dan negara mengabadikannya (misalnya: China Town, atau Pecinan, dan mungkin ada nama lain). Di Indonesia sendiri, nama tempat tersebut hampir ada di setiap provinsi.

Berbicara tentang bisnis dan ekonomi, orang Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa sangat berperan besar. Masih sangat jelas dalam ingatan betapa mengerikannya diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Namun keadaan sekarang jauh berbeda. Bahkan roda perekonomian Indonesia tidak akan dapat berputar cepat tanpa adanya peran keturunan Tionghoa yang menjadi pebisnis, konsumen, dan bahkan pengambil kebijakan strategis di pemerintah pusat. Kita patut berterimakasih pada mereka.

Pagi ini, di speed boat kecil bermuatan kurang lebih 35 orang penumpang, saya melihat sepasang orangtua yang sudah lanjut usia masuk bersama seorang putranya dan pembantunya (orang pribumi, kemungkinan besar dari Jawa). Tujuan mereka berempat sama dengan tujuan saya, Batam.

"Berapa untuk empat orang?" Tanya putranya kepada wanita muda penjual tiket yang berdiri di hadapan saya.

"Tigapuluh delapan ribu per-orang, Bang." Ujar si penjual tiket.

"Hah! Mahal! Bukan Tigapuluh ribu ya?"

"Tidak, Bang. Tigapuluh ribu itu ongkos ke Lobam. Bukan ke Batam..." Jawab si penjual tiket.

"Ah, beda dua ribu rupiah saja dengan ferry! Mending saya naik ferry!" Sahutnya lirih.

Langsung kedua lansia tadi menyampaikan keberatannya sahut menyahut kepada si penjual tiket. Sekitar lima menit kejadian itu berlangsung. Hingga akhirnya mereka pun membeli tiketnya dan meminta kembalian yang pas.

Sepasang orangtua tersebut duduk manis di bangku terdepan, berseberangan dengan saya yang juga duduk di bangku paling depan. Tinggal menunggu beberapa penumpang lagi agar kapal penuh, dan dapat berangkan menuju Batam. Satu persatu penumpang masuk ke kapal, dan kebanyakan membayar sejumlah Rp. 50.000, dan si penjual tiket selalu memberikan kembalian Rp. 10.000. Tentunya kurang Rp. 2.000 dari yang seharusnya. Melihat hal itu, sepasang orangtua tadi heran dan saling bicara, "kembaliannya kurang..." sesekali mereka berkata "lho, kok kembaliannya kurang Rp. 2.000 tidak diambil?" Lelah dengan berkali-kali melihat hal yang sama, sepasang orangtua tadi akhirnya diam saja dan si Bapak berkata pada istirnya: "Orang-orang bayar lebih Rp. 2000."

Pengakuan ini membuat saya bertanya dalam hati, inikah pembeda bangsa pribumi yang terkesan lamban dengan bangsa keturunan Tionghoa yang terkenal ulet itu?

+++++++++++

Secangkir kopi menemani brainstorming kiranya memberikan inspirasi.

Apa yang paling cocok sebagai atribut bangsa Tionghoa: Pelit? Adil? Tidak ingin mengambil yang bukan haknya?

Lantas apa atribut keturunan pribumi: Kurang perhitungan? Dermawan, luhur? Suka mengambil yang bukan haknya?

Apapun itu, cuplikan di Pelabuhan Sri Bintan Pura ini sangat berharga bagi para penggemar kopi:-)



Salam secangkir kopi,
Pulau Bintan, 15 Juni 2011 (06.35 WIB)

Kamis, 09 Juni 2011

Secangkir Kopi Bagi Bangsa yang Kuat

Asap mengepul di Plaza Semanggi pada Rabu (8/6-2011) itu mengingatkanku pada kata kunci: "bencana." Di halaman depan pada pagi itu, para petugas pemadam kebakaran berjaga dan bertugas cepat, lincah dan tepat, dan para petugas mal itu berdiri memandangi asap itu dari bawah.

Bencana, merupakan bahasa yang sudah mulai berafiliasi dengan istilah "NGO", "bantuan", dan mungkin kata yang lainnya. Pada kenyataannya, bencana kerap terjadi di Indonesia. Yang paling melekat pada ingatan orang Indonesia tentang bencana adalah bencana alam atau mungkin krisis ekonomi pada tahun 1998. Entah apa yang membuat bangsa ini cukup sering mendapatkan bencana. Gempa dan tsunami di Aceh, Mentawai, gunung meletus, hama ulat bulu yang tak terkendali penyebarannya, banjir, dan banyak lagi. Hal ini menjadi kajian yang dianggap penting oleh negara, sehingga tak heran jika Universitas Pertahanan Indonesia menjadikan Prodi Manajemen Bencana sebagai salah satu jurusan pilihan dalam program beasiswanya yang bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Melihat begitu seringnya bangsa mendapatkan bencana, negara pantas menjadi sebuah negara yang experienced dan  benar-benar expert dalam penanggulangan bencana. Dengan demikian, bencana telah menjadi kopi resiliensi bangsa ini!:-)

Amat miris memperhatikan kenyataan berbeda dengan yang seharusnya. Masalah sekarang bukan lagi tentang ketidakpedulian terhadap lingkungan. Lebih dari itu, kesiapan menghadapi bencana pun hampir tak tampak. Hampir pasti bahwa tidak semua rumah memiliki senter, lampu minyak, dan lain sebagainya untuk kesiapan menghadapi bencana. Lahirlah bangsa yang banyak menuntut PLN untuk berkinerja melebihi kapasitasnya, bangsa yang menuntut pembangunan mal di mana-mana, bangsa yang hampir tidak puas dengan jaringan sinyal telepon, dan bangsa yang hampir lupa dengan masa lalunya.


Negara Dilemahkan?

Lantas apakah negara ini telah menjadi negara yang tak terlawan? Masihkah gemuruh proklamasi dan semangat kemerdekaan tahun 1945 itu masih bergaung di gaya hidup setiap masyarakatnya?

Sedikit meleset dari yang seharusnya. Tawaran modernisme dan postmodernisme terlalu menggiurkan. Boro-boro memikirkan negara dan impian proklamasi, kesempatan yang ada digunakan untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan diri. Sejenak melupakan bangsa, sejenak mengingat bangsa dan berlagak pahlawan, demikianlah fenomena yang ada. Jika saja dulu penjajah telah melemahkan bangsa, maka sekarang orang Indonesia sendiri yang melemahkan bangsa ini.

Pendidikan yang dulu diteriakkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Budi Utomo dan lain-lain sudah seharusnya membatin dalam setiap generasi. Kenyataannya adalah biaya pendidikan mahal, fasilitas pendidikan apa adanya, bahkan lulusannya pun kurang dihargai sebagaimana mestinya. Dosen-dosen yang telah bergulat dengan sungguh-sungguh belajar di luar negeri untuk membangun bangsanya seakan diabaikan, dan tak sebagaimana mestinya diperlakukan.

Kesiagaan bencana menjadi hal yang hampir saya pertanyakan. Apakah rakyat benar-benar sudah siap menghadapi bencana karena seringnya bencana, sehingga persiapan menghadapi bencana pun tak tampak? Atau apakah rakyat sudah semakin kuat sekarang ini sehingga tak perlu lagi menggunakan alat bantu? Pada kenyataannya, masih saja tidak sedikit yang menjadi korban dalam bencana yang terjadi. Sungguh bangsa dilemahkan oleh rakyatnya sendiri.


Bencana Susulan

Bencana, bukan saja terpasung pada istilah bencana alam. Korupsi yang terungkap di berbagai departemen dan kementerian, korupsi diperusahaan-perusahaan swasta, praktik suap dan pencucian uang bukan lagi masalah baru. Bahkan seakan susul menyusul, informasi tentang hal itu silih berganti muncul di televisi. Sulit menemukan orang yang tidak materialistis di kota besar seperti Jakarta. Tidak mudah mencari nasionalis sejati yang bercita-cita mulia dan tulus untuk bangsanya. Bahkan yang ada justru bom diledakkan oleh rakyatnya sendiri yang sampai sekarang entah apa motifnya. Semuanya pun menelan korban.

Semua peristiwa di atas hanyalah cuplikan kecil keadaan yang terjadi. Bencana, kini perlu diakui telah terjadi setiap hari di negeri ini. Bencana ekonomi, bencana moral, bencana politik, dan berbagai bencana lainnya datang silih berganti. Hasilnya, rakyat miskin tetap miskin, bahkan menjadi buas dan garang. Yang kaya semakin kaya, bahkan menjadi lupa bahwa dia adalah orang Indonesia yang bersahaja. Inilah cerminan masa kini sebuah bangsa yang dulu pernah kuat dan mengklaim diri sebagai bangsa yang merdeka dan terhitung berani, terlebih pada masa Bung Karno sebagai presidennya.
Sungguhkah bangsa ini negara tak terlawan?





Salam secangkir kopi...
Toast dari semanggi!
 9 Juni 2011



Rabu, 01 Juni 2011

Rapuh Menanti Bangkit

Dia seorang janda, guru di sebuah sekolah negeri di daerah Sumatera. Rumahnya adalah sekolah dan gubuk kecilnya yang berjarak sedikitnya 20 kilometer dari sekolah tempat dia mengajar.
Seakan terhempas saat dia mendengar anak tunggalnya menjadi pembawa bencana dan menjadi korban bencana, atau apapun yang terkait dengan bencana itu, dia tak tahu pasti. Yang pasti, dia seakan tersambar petir dengan kekuatan media dan informasi tentang putranya itu. Sontak saja dia menangis, meraung, menjerit, marah, geram, gemas, serta menggertakkan giginya.
 Lama dia merasakan kesusahan itu. Lama sekali. Hingga suatu saat putranya melewati tempahan waktu dan menunjukkan pada Ibunya bahwa dia kuat! Sampai saat itu, terbersitlah senyum di bibir Ibu itu, terucaplah syukur pada Yang Maha Kuasa. Sekarang tertinggallah sisa keluhan masa lalunya: kerutan di dahinya, keriput pada tubuhnya yang kian kurus, serta langkahnya yang gontai.


Kisah di atas bisa saja menjadi pengalaman banyak orang. Lazimnya, rasa syukur, kemauan untuk bangkit dan kemampuan untuk tersenyum hanya muncul saat ada kebahagiaan atau pengalaman indah yang dirasakan. Namun tidak selamanya kebahagiaan harus dilalui dengan senyuman dan ucapan syukur. Sebagaimana tidak seharusnya pula kesusahan dilalui dengan air mata dan kata-kata yang kurang baik.

Jika saja si Ibu berdiri saat badai itu datang, tentulah dia lebih kuat dari sekarang dan bisa saja masa lalu tak berbekas sama sekali.




Salam secangkir kopi...
Semanggi (1/6-2011)

Jumat, 29 April 2011

Mencari Kekayaan yang Membahagiakan


Tujuan hidup bisa beragam, dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan, motivasi diri, latarbelakang budaya dan pendidikan, pengalaman masa lalu, harapan di masa mendatang, dan banyak lagi. Bukan saja dipengaruhi  banyak faktor, tujuan hidup juga mempengaruhi banyak faktor seperti cara bersikap, cara mempresentasikan diri, dan lain sebagainya. Mendasarkan pada pandangan bahwa tujuan hidup adalah "bahagia', kiranya tulisan ini dapat menjadi penyegar para pencari kebahagiaan dan para pemberi kebahagiaan.

Socrates suatu kali dimintai datang ke rumah seorang yang sangat kaya. Orang kaya tersebut menunjukkan kekayaannya pada Socrates. Rumah yang indah, para pegawai yang penurut, ruangan-ruangan bersih dan mengkilap, serta taman yang indah, seperti sebuah istana. Dengan senyum lebar, orang kaya tersebut berkata kepada Socrates: "Akuilah Socrates, tentu engkau iri melihat kekayaan ini." Socrates menjawab: "Aku bangga padamu dengan keyaaan seperti ini, aku kagum. Namun tentunya engkau lebih kagum padaku karena aku tidak memerlukan kekayaan sebanyak ini untuk mendapatkan kebahagiaan."

Lazimnya, menilai kekayaan adalah dari sisi ekonomi. Teringat dengan cerita sang dosen, Prof. Wegie, kekayaan itu ada batasnya. Jangan coba melewati batasnya. Saat engkau melewati batasnya, maka yang ada adalah petaka. Beliau memberikan contoh, Gayus Tambunan (pegawai golongan III yang korup di kantor Pajak). Demikian pula dengan Khadafy, Melinda Dee, serta tentunya banyak nama lain. Mantan Presiden bangsa ini, Soeharto, patutlah diperhitungkan sebagai orang yang berbahagia. Berkuasa selama puluhan tahun sebagai presiden, berkarya demi bangsa, memiliki kecukupan bahkan berkelimpahan. Sebagai seorang presiden/ mantan presiden, beliau pantas dianggap memperoleh kebahagiaan yang besar. Namun sebagai seorang Ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi istrinya, dapatkah kebahagiaan didapatkan saat harus melihat istri sendiri meninggal tertembak pistol anak sendiri?

Robin Sharma menuliskan dalam bukunya ada 8 jenis kekayaan.
  1. Kekayaan pribadi (inner wealth)
    • Ketenangan, kedamaian hati. Banyak orang kaya yang tidak memiliki ketenangan ini. Hatinya selalu gelisah, tidak pernah puas, dan selalu merasa terancam. Saya teringat dengan sinetron yang menceritakan percakapan seorang anak majikan dengan anak pembantunya yang kebetulan tinggal bersamanya, "Kamu beruntung. Sekalipun kamu miskin, tetapi kamu punya orangtua yang selalu bisa bermain bersamamu. Saya memang dikasih banyak uang tetapi orangtuaku tak pernah ada waktu untukku."
  2. Kekayaan fisik
    •  Tidak sedikit yang mengumpulkan kekayaan, prestasi dan prestis, ambisi dan lain sebagainya dengan mengorbankan fisiknya. Setelah itu, semua kekayaan, prestis, prestasi dan ambisinya pupus dan harus dikorbankan untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Maka kekayaan secara ekonomi belum ada artinya jika fisik kita sakit-sakitan. Pusing, tidak bisa tidur lelap, terbangun di tengah malam, sakit maag, kemudian berkembang menjadi insomnia, diabetes, stroke dan jantung akut, tidak terbatas hanya untuk orang yang tak punya uang.
  3. Kekayaan keluarga dan sosial
    • Tidak ada artinya menjadi kaya tatkala keluarga berantakan. Apalah artinya menjadi kaya jika hubungan keluarga penuh intrik, pertengkaran dan rusak. Anak-anak masuk penjara, serta perasaan terancam karena banyaknya musuh.
  4. Kekayaan karier
    • Banyak yang bekerja menghasilkan banyak uang, namun sesungguhnya dia tidak menyukai pekerjaan yang digelutinya. Pekerjaan itu baginya tidak memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Saat ditanya secara jujur, sebenarnya mereka bosan dan benci dengan pekerjaannya.
  5. Kekayaan ekonomi
    • Kekayaan ini yang paling banyak dipahami. Uang sering menjadi ukurannya. Walau uang bukanlah segalanya, setiap manusia juga membutuhhkan uang untuk memenuhi banyak hal yang dibutuhkan. Sayangnya, banyak orang yang melihat kekayaan inilah satu-satunya ukuran kekayaan dan ini yang menyesatkan.
  6. Kekayaan hubungan dan pergaulan
    • Facebook, twitter, BBM group, YM, dan berbagai media sosial lainnya di dunia maya atau bahkan di dunia nyata merupakan sebuah pertanda bahwa manusia butuh interaksi. Persahabatan dan hubungan adalah kekayaan yang penting. Selama kita memiliki jaringan yang bisa mendukung kita, maka kita akan sulit terpuruk. Dalam hal inilah bidang praktis marketing menemukan permata-permata baru.
  7. Kekayaan pengalaman
    • Banyak yang kaya secara ekonomi namun miskin dalam pengalaman. Mereka tidak pernah ke mana-mana karena takut, banyak dibatasi untuk mendapatkan pengalaman karena berbagai ketakutan dan kekhawatiran.
  8. Kekayaan pengaruh sekitarnya
    • Tidak sedikit orang kaya yang menikmati kekayaan untuk diri sendiri dan keluarganya saja. Orang-orang sekitarnya tidak merasakan dampak positif dari kekayaan yang mereka miliki. Saat orang kaya ini meninggal, tidak banyak orang di sekitarnya yang merasa kehilangan. Tidak terlalu ditangisi, sebab tidak pula menjadi berkat bagi orang lain.
Kekayaan adalah sesuatu yang tidak datang begitu saja. Itu adalah hasil kerja keras, semangat pantang mundur, dan ketekunan dalam bertindak. Yang merasa belum kaya melihat bahwa setelah kaya, pasti akan bahagia. Kaya selalu diidentikkan dengan kebahagiaan, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Bahkan acap kali, kekayaan justru tidak mendatangkan kebahagiaan. Sudahkah Anda memiliki kekayaan yang membahagiakan?



Salam secangkir kopi!

Jumat, 01 April 2011

Semiotika & Psikoanalisa


 
 Langue & Parole
Dalam upaya memahami paparan Roland Barthes, mengenal langue dan parole merupakan sebuah hal yang penting—dalam tujuan mengerti tentang semiologi yang disajikannya. Langue dan parole, merupakan sebuah jalan bagi kita untuk dapat memahami bagaimana “bahasa” ada dan digunakan oleh banyak orang. Dalam pengertian lebih lanjut, langue (katakanlah “bahasa”) merupakan objek sosial, sistematis dan terlembaga; dan ini berbeda dengan parole, yang merupakan bagian dari individu.[1]  Jadi, langue merupakan bentukan sosial yang memiliki aturan tersendiri dan disepakati oleh sekelompok orang, dan dengan demikian, pendapat Barthes bahwa langue dapat dikategorikan sebagai sistem sosial, dapat dipertanggungjawabkan, sebab memang langue adalah bentukan sebuah kelompok (bukan individu, dan bentukan individu cukup jelas dinamakan sebagai parole), harus diterima atau ditolak seluruhnya, dan memiliki aturan main sendiri yang disepakati oleh masyarakat.[2] Demikian pula halnya, selain menempatkan langue sebagai sistem sosial, Barthes memang dalam waktu yang sama menepatkannya sebagai sistem nilai.[3]  Sebagai sistem nilai, memang, langue memiliki unsur-unsur yang dapat dibandingkan dan ditukarkan.

Berbeda pula dengan langue, parole adalah bagian dari individu untuk dapat melakukan kreasi (meskipun tidak dapat dikatakan hanya sebagai kreasi—sebab parole lebih luas dari itu).  Dalam kapasitas yang lebih besar, parole dapat disebut sebagai “wacana” kiranya dapat dimengerti.  Hal ini dapat dijelaskan begini:  parole itu terdiri dari “kombinasi”[4] yang membuat si pembicara (individu) dengan bahasa tertentu mampu mengungkapkan pendapatnya. Lebih luas darii tu, Barthes mengemukakan bahwa parole adalah mekanisme psiko-fisik yang mempengaruhi terbentuknya sebuah kombinasi tertentu. Sebagai contoh, Barthes memberikan pengertian bahwa cara pengucapan tidak dapat dirusak oleh langue, karena baik secara institusi maupun sistem nilai, tidak akan berubah bila individu yang menggunakannya berbicara dengan nada bicara apa saja (keras, lembut atau dengan cara apa pun). Maka, penjelasan Barthes sudah sangat memadai, bahwa parole, dengan pengulangan tanda-tanda yang sama dalam sebuah wacana ke wacana lainnya sangat penting, dan tanda-tanda itu merupakan unsur bahasa. 

Langue dan parole merupakan sesuatu yang dapat diaplikasikan dalam sebuah tatanan masyarakat, katakanlah sebagai contoh: kelompok musik Reggae. Setiap orang yang menyukai dan ingin masuk dalam komunitas Reggae setidaknya memang (mau atau tidak mau) perlu mengikuti gaya yang sudah diakui sebagai bagian dari Reggae (bahwa Reggae juga memiliki langue), meskipun dalam hal itu, keberadaan Mbah Surip pun bisa menampilkan parole nya dengan mengungkapkan pikiran pribadinya.

Namun dalam sudut pandang yang lain, Barthes pula memberikan eksplanasi bahwa langue dan parole pada hakikatnya dihubungkan dengan hubungan dialektis. Maksudnya, langue dan parole tidak dapat memiliki pengertian sepenuhnya tanpa melalui proses dialektikal yang menghubungkannya satu sama lain.[5]  Dan sesungguhnya, dalam proses inilah aktivitas linguistik benar-benar nyata.  Dengan pemahaman ini, maka penjelasan Barthes tentang langue dan parole dapat membuat pengertian yang baik dan membuka jalan untuk dapat melihat dua poros bahasa yang disampaikan oleh Barthes.

Hubungan Paradigmatik dan Sintagmatik
Barthes memberikan pula sebuah penjelasan tentang hubungan paradigmatic dan sintagmatik dalam tulisannya.[6] Hubungan paradigmatik dan sintagmatik itu sendiri dapat dilihat dengan lebih jelas lewat contoh nyata: memilih  pakaian ke gereja (lihat dalam tabel):

Hubungan Paradigmatik
Sintagmatik
Harus pilih pakai jaket atau pakai jas
Pakai kemeja dan jas boleh saja dipakai bersamaan

Dengan tabel itu, maka jelas bahwa hubungan sintagmatik adalah memilih salah satu dari beberapa pilihan, karena tidak mungkin kita menyampaikan dua kata bersamaan, karena harus linear. Hal berbeda dengan hubungan paradigmatic, bahwa kita menghadirkan dua kata sekaligus meskipun salah satunya in absentia.[7] Lebih lanjut, kalau berbicara tentang Nasi, maka orang langsung berpikir tentang makan, lauk, sayur dan kenyang atau lapar (sementara yang lain itu tidak ada tertulis)—ini salah satu contoh hubungan paradigmatic.

Psikoanalisa Sigmund Freud
Seperti dalam beberapa penjelasan tentang biografi Sigmund Freud, kehadiran idenya memang mengejutkan dunia ilmu kedokteran pada zamannya dengan berbagai penemuan dan penjelasan ilmiahnya, salah satu yang paling tersohor adalah teori tentang mimpi.  Pada awalnya, Freud memang tertarik dan didorong oleh rasa ingin tahu saat bersama dengan Joseph Breuer, yang kemudian bersama-sama menulis buku Studies on Hysteria. Freud menemukan pengalaman berharga bersama Breuer dalam penanganan kasus pertama, Anna O., dengan metode penyembuhan talking cure.[8] Freud sendiri, meskipun bagi orang sezamannya telah menemukan sesuatu yang baru, menganggap bahwa psikoanalisa adalah mitologi[9], meskipun lebih dari sekadar terai (karena ia menganggapnya sebagai ilmu pengetahuan)[10], dan memang memberikan kontribusi yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan.

Cukup lama Freud menggunakan penyembuhan dengan talking cure dan hypnosis sebagai cara terapi untuk pasiennya, sampai dia menemukan metode asosiasi bebas.[11] Baginya, hypnosis berbau mistis dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Freud mensejajarkan hypnosis dengan pervia di pore (ibarat pelukis yang menuangkan lukisannya—sebab metode ini membebaskan si pasien berbicara apa saja, yang penting si pasien di hypnosis), karena memang baginya, metode ini seperti melukis: sang dokter sedang menuangkan cat untuk mendapatkan symptom.. Metode yang kemudian digunakan Freud adalah asosisasi bebas. Metode asosisasi bebas ini menuntut pasien mengatakan segala sesuatu yang muncul dalam kesadarannya (tanpa malu karena tidak pantas kedengarannya). Ini berbeda dengan katarsis, karena metode ini tidak berhenti pada asal usul simtom-simtom, dan pasien bisa menceritakan segala sesuatu tanpa urutan yang logis, teratur dan penuh arti. Biasanya si pasien ditempatkan pada tempat yang nyaman sehingga dapat menceritakan semuanya dengan lengkap.[12] Dalam sisi lain, Freud mengakui bahwa asosisasi bebas sebetulnya tidak benar-benar bebas,[13] dan Freud melukiskannya sebagai  per via di levare (mengibaratkannya seperi seorang pemahat yang memahat patung, boleh dengan pukulan lembut atau keras). Alasannya adalah karena teknik ini mengeluarkan semua ketidaksadaran boleh dengan cara keras atau lembut demi mendapatkan symptom.

Lebih menarik dan lebih mengejutkan lagi sebab Freud pun memperkenalkan teori seksualitas pada anak-anak. Bagi Freud, anak-anak pun sudah mengalami pengalaman seksual, yang lebih dikenal dengan Oedipus Kompleks. Hal ini tampak jelas dalam penjelasannya tentang tahap-tahap perkembangan manusia: tahap infantile, tahap laten, tahap genital dan tahap kematangan. Namun tulisan ini akan berorientasi pada tahapan psiko seksual yang sesungguhnya membuktikan bahwa pendapat Freud tentang seksualitas anak-anak (tahapan infantil) sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Tabel berikut ini akan mengemukakan tahapan seksual menurut Freud dan sedikit informasi tentang tahapan laten dan genital.


Tahap-tahap Psikoseksual

Tahapan Psikoseksual
Daerah Libido
Hasil perkembangan utama
Objek Libido
Oral (dari lahir sampai 1 tahun)
Mulut, kulit, ibu jari
Memasukkan secara pasif segala benda melalui mulut; sensualitas autoerotik
Susu ibu, tubuh sendiri
Anal (2-3 tahun)
Anus, buang air besar
Mencari secara aktif reduksi tegangan; menguasai diri sendiri; tunduk secara pasif.
Tubuh sendiri
Falik (3-5 tahun)
Alat kelamin, kulit
Konflik Oedipus dan Electra; ingin memiliki ibu; identifikasi dengan orang tua sejenis; ambivalensi hubungan cinta
Ibu untuk anak laki-laki; Ayah untuk anak perempuan
Laten (6-8 tahun)
Tidak ada
Represi bentuk-bentuk libido pragenital; mempelajari rasa malu dan jijik yang tepat menurut kebudayaan terhadap objek-objek cinta yang tidak tepat.
Objek-objek yang sebelumnya direpresikan
Genital (masa remaja dan seterusnya)
Mengutamakan hal genital
Reproduksi, keintiman seksual
Mitra heteroseksual

Walaupun Freud tidak memiliki pengalaman khusus dengan anak-anak bahkan anaknya sendiri,[14] ternyata dia mampu memberikan teori tersebut sebagai bagian dari pengamatan psikoanalisa dan memandang manusia secara utuh adalah salah satu alasan dalam mengamati perkembangan psikoseksual bahkan mulai sejak kelahiran manusia—dan pengalaman masa kecil ternyata (dalam pengalamannya) memberikan banyak pengaruh kepada masa sekarang. Teori seksual pada anak-anak ini akhirnya berhasil menjelaskan bahwa ketidaksadaran itu ternyata adalah karena dorongan seksual. Baginya, dorongan seksual memberikan banyak hal.

Pengalaman seksual dan pengalaman lainnya disebabkan oleh norma-norma yang ada[15] akhirnya direpresi. Dalam teorinya tentang represi, Freud memberikan penjelasan yang sangat baik tentang represi sekunder dan represi primer, karena pembagian itulah yang dibuatnya untuk menjelaskan tentang represi. Represi primer terjadi pada masa-masa awal perkembangan kemanusiaan kita saat dorongan-dorongan yang ada tidak bisa diterima dalam kesadaran (ego).  Dorongan yang ada itu tidak hilang begitu saja, tapi disimpan dalam-dalam, berubah bentuk dan akhirnya menghasilkan fiksasi (dalam bentuk ingatan—dan hanya energinya yang bisa dirasakan). Ini disebut Vorstellungs-repräsentanz.

Represi sekunder terjadi waktu ketidaksadaran yang terbentuk lewat represi primer tersebut muncul kembali untuk dipuaskan. Yang muncul dalam tahap ini hanya dorongan-dorongan derivatif (dorongan yang memiliki kesamaan) saja. Dorongan-dorongan pun dapat disebut sebagai ketidaksadaran karena tidak bisa masuk ke dalam kesadaran (maka yang direpresi  adalah sebagian dari ketidaksadaran).[16] Jadi, semua yang direpresikan itu kemudian muncul tanpa disadari, padahal itu pun adalah ketidaksadaran (yang dikenal dengan istilah ketidaksadaran laten).

Hal ini pula mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang mimpi, yang bagi Freud adalah jalan untuk menjadi seorang psikoanalis.[17]  Baginya, proses ketidaksadaran hanya bisa dikenali dengan mimpi dan neurosis yang merupakan wish-fulfillments (berbagai hal yang tidak dapat dicapai dalam keadaan bangun), dan yang paling penting adalah apa yang direpresikan muncul dalam mimpi. Di dalam hal inilah kemudian Freud mempelajari cara kerja dan bahasa mimpi,[18] yang baginya merupakan via regia  menuju ketidaksadaran.[19]

Memahami Psikoanalisa Lacan
Meskipun berasal dari aliran yang sama dengan Freud, eksplanasi Lacan tentang manusia pun menarik dipelajari. Diperkenalkan dengan sebuah skema L, bahwa Ego itu lahir berdasarkan specular images. Atau dapat dikatakan bahwa Es (si anak) terbentuk berdasarkan a’ (si Ibu), dan di sanalah dia menemukan dirinya (menemukan “aku”), sebab dia masih terfragmentasi waktu itu, dan image yang ada di depannya dianggapnya sebagai “itulah aku.” Dalam waktu yang sama mengalami sense of other dan sense of self. Dapat dikatakan, si Ibu adalah ibarat cermin bagi si anak, kemudian membentuk egonya (a)—sebab disana dia berkesimpulan bahwa cermin itu adalah dirinya sendiri.[20] Menurut Lacan, ini terjadi pada enam bulan pertama usia anak.s




Dalam mengidentifikasi dirinya, si anak terus memperhatikan cermin dan untuk waktu lama, si anak mengakui bahwa itulah dirinya.[21] Hal ini terjadi sampai sosok Ayah (autre) tampil untuk membentuk egonya (a) dengan memperkenalkan hukum, norma, dan membuat si anak tunduk pada aturan-aturannya.[22]

Ada fase di mana si anak memasuki fase pasca cermin, dan semua image yang ada kemudian hancur lebur, saat dia mengakui AKU BUKAN AKU; saat dia menyadari ternyata image yang ada selama ini bukanlah dirinya. Inilah masa alienasi yang dialami oleh subjek tersebut. Ini terjadi saat si anak sudah mulai mengenal bahasa dan tidak lagi memakai cermin sebagai image untuk menceritakan pengalaman kediriannya.[23]


[1] Roland Barthes. 1967 (1964). Elements of Semiology. “Language (Langue) and Speech”. Tr.Annette Lavers and Colin Smith, N.Y.: Hill & Wang. 13.
[2] Ibid., 14. “As a social institution, it is by no means an act, and it is not subject to any premeditation.  It is the social part of language, the individual cannot by himself either create or modify it; it is essentially a collective contract which one must accept in its entirely if one wishes to communicate.”
[3] Ibid., 14. “A language is therefore, so to speak, language minus speech; it is at the same time a social institution and a system of values.”
[4] Lihat Ibid., 14-15. Kombinasi yang dimaksud adalah gabungan dari tanda-tanda yang dipakai dalam wacana yang disampaikan. “it is because signs are repeated in successive discourses and within one and the same discourse (although they are combined in accordance with the infinite diversity of various people’s speech) that each sign becomes an element of the language…”
[5] Ibid., 15-17. ‘No language without speech; and no speech outside language.”
[6] Lihat di Roland Barthes, op cit., 58-71.
[7] Lihat dalam Roland Barthes, op cit., 58.
[8] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hal. 179.
[9] Ibid., 179.
[10] Ibid., 183.
[11] Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hal. 129-130.
[12] Ibid., 130.
[13] Peter Beilharz, op cit., 182.
[14] Lihat Yustinus Semiun, op cit., 102-114.
[15] Lihat Ibid., 60-68. Penjelasan tentang Id, Ego dan Super Ego sangat jelas memaknainya. Id adalah dorongan-dorongan dasariah manusia yang tidak dapat dengan begitu saja dimunculkan dalam kesadaran, sebab ada sensor menuju kepada Ego (yang dalam istilah lain disebut sebagai pendamai antara Id dengan Superego). Sebab Superego adalah tuntutan-tuntutan moral, nilai-nilai yang harus dituruti agar dapat diterima oleh orang lain, sehingga dorongan Id harus dipendam sejauh mungkin. Proses itu disebut represi, dan represi itu dapat saja kemudian muncul pada waktu yang lain dengan ledakan yang lebih besar karena represi yang berkepanjanangan. Jadi yang merepresi adalah Ego dan Superego, walaupun dalam perjuangan keras, id akan selalu meminta dipuaskan.  Dalam Lima Ceramah Freud, dia menawarkan cara mengatasinya: sublimasi, represi, atau membiarkannya dilampiaskan.
[16] Sigmund Freud, “The Unconscious”, 166.
[17] Wenn ich gefragt werde, wie man Psychoanalytiker werden kann, so antworte ich, durch das Studium seiner eigenen Träume. (Sigmund Freud, 1910)
[18] Yustinus Semaun, op cit., 132.
[19] Karena dalam mimpi, sistem tak sadar (di mana hasrat muncul) melewati sensor dengan cara yang sangat halus (distorsi) sehingga tak terlihat menentang norma-norma etis sadar dari kepribadian.
[20] J. Lacan, Ecrit, 18.
[21] Lacan membagi tiga fase untuk teorinya: Fase Cermin (usia 0-6 bulan), fase cermin (usia 6-18 bulan), dan fase pasca cermin.
[22] Peter Beillharz, op cit., 253.
[23] Lihat Peter Beilharz, op cit., 247-256.