Selasa, 29 Maret 2011

Mempertanyakan Komitmen Perusahaan


Tulisan ini merupakan sebuah analisa kasus manajemen & Etika bisnis dari buku
Joseph W. Weiss, Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management Approach, Ch, 4, Thomson, South-Western, Canada, 2003., p. 148.


===0===
 


Masalah perusahaan tempat Jim Howard bekerja bukan saja menjadi sebuah contoh yang perlu dipelajari, namun bisa saja menjadi kenyataan yang pun dialami oleh perusahaan tempat para manajer bekerja. Maka membaca teks di atas, dapat saja seakan bercermin (bagi yang memiliki kesamaan pengalaman) dan dapat juga menjadi sebuah gladi bersih bagi para manajer (yang belum memiliki pengalaman serupa, namun sedang mempersiapkan diri menghadapinya).  Tulisan ini akan memberikan sebuah cuplikan singkat pengalaman Jim Howard, kemudian akan mencoba menganalisa teksnya dan mencoba menjawab beberapa pertanyaan: Apa yang akan dilakukan jika saya adalah Jim? Apa masalah intinya, bagaimana dan mengapa? Siapa yang menjadi korban dari masalah ini, dan bagaimana value-based management memberikan penilaiannya terhadap masalah ini?

Jim adalah seorang manajer penjualan di sebuah perusahaan software  yang menyediakan database dengan indeks yang tentunya dibutuhkan banyak orang demi  kemudahan mengakses informasi yang ada. Dalam teks,[1] kemajuan, komitmen, dan pelayanan perusahaan terhadap para konsumen perusahaan itu tak perlu dipertanyakan lagi—dianggap bereputasi tinggi, terlebih dengan komitmen: “We will treat our customers with respect and dignity.” Kemajuan teknologi dan kemudahan setiap pengguna jaringan internet untuk mengakses informasi memberikan banyak dampak, baik pada pengguna layanan internet , demikian pula kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Tak terkecuali perusahaan tempat Jim Howard bekerja (baca: perusahaan), kemudahan para pengguna jaringan internet untuk mengakses informasi bahkan informasi yang sesungguhnya merupakan modal utama yang ingin disajikan oleh perusahaan kemudian menjadikan perusahaan sebagai mitra sekunder.  Masalahnya demikian luasnya, mulai dari pasar yang terus menyusut sementara daya beli meningkat, persaingan antar perusahaan yang meningkat, kemudian layanan gratis yang dengan mudah didapatkan dari jaringan internet. Hal ini sangat mempengaruhi pendapatan perusahaan. Perusahaan kemudian merespon masalah ini dengan mengurangi biaya produksi, membuat produk dalam bentuk paket, dan mulai memperkenalkan produk yang berbeda. Jim Howard kemudian dipercaya sebagai seorang yang menangani pembuatan  customer subscriptions  yang biasanya dikerjakan oleh sekretaris, karena selama ini dianggap sebagai bagian pekerjaan yang kurang penting. Saat Jim mulai mencek account para konsumen, ternyata ada pelayanan yang kurang adil dilakukan kepada para konsumen dalam hal biaya produk. Konsumen yang lama dikenakan biaya tiga kali lebih mahal, dan konsumen baru dikenakan biaya lebih murah. Saat mengkomunikasikannya dengan bosnya, Jim kemudian menawarkan agar konsumen lama diberitahu bahwa telah ada kebijakan harga baru, harga yang lebih murah; sementara untuk konsumen baru, diberikan sebuah penjelasan bahwa harga yang dikenakan untuk mereka bayar adalah harga yang sangat murah. Pimpinan Jim memberikan jawaban yang membuat Jim semakin bingung: “Mengapa tidak mencoba menawarkan harga tertinggi, kemudian dapat dinegoisasikan kalau konsumen menolak membayar?”  Masalahnya bukan hanya itu. Telah ada kesepakatan bahwa segala pembiayaan dan strateginya akan dipublikasikan kepada semua konsumen. Mungkinkah memberikan informasi yang sedemikian kepada para konsumen? Namun pimpinan Jim tetap pada keputusannya. Dengan ini Jim merasa telah mengkhianati perusahaan, konsumen, usaha penjualannya, dan nilai-nilai profesionalnya. Jim masih sama dengan pegawai lainnya, tidak ingin kehilangan pekerjaan dan di sisi lain tidak ingin kehilangan kepercayaan konsumen.


Dalam cuplikan singkat  pengalaman Jim di atas, berbagai aspek telah berbaur dan menghadirkan berbagai penafsiran teks.  Jim dan bosnya adalah penjabat di barisan internal stakeholder perusahaan. Apakah visi dan misi tidak digagas bersama dan belum disepakati oleh semua pihak? Jika Jim, menjadi orang yang dipercaya perusahaan untuk bisa membantu perusahaan bertahan di era teknologi informasi yang kian cepat, berapa banyak pegawai yang memiliki pengalaman yang sama dengan Jim? Masih banyak hal lain yang dapat dilihat dari pengalaman Jim yang dihadirkan teks di atas. Namun kita tidak akan membahas semua aspeknya, kita hanya akan mencoba memasuki keadaan Jim dan perusahaan, lalu mengambil maknanya serta bergegas membawa semangat Jim keluar dalam dunia bisnis.
Jenis perusahaan apakah ini saat menghadapi revolusi teknologi informasi? Jika saja penulis menjadi Jim, apa yang akan penulis lakukan? Apa masalah yang ada dalam perusahaan ini? Sambil bermimpi menjadi seorang Jim dan masuk dalam semangat situasi yang sama, ketiga pertanyaan ini akan dibahas dalam anak judul BUILT-TO-LAST, CREATIVE DESTRUCTION, dan CREATIVE RECONSTRUCTION. Sementara anak judul VALUE-BASED STAKEHOLDER MANAGEMENT: MIMPI ATAU PELUANG? akan mencoba memberikan deskripsi pendekatan value-based stakeholder management untuk masalah etis dalam perusahaan.

BUILT-TO-LAST, CREATIVE DESTRUCTION, dan CREATIVE RECONSTRUCTION
Kemudahan yang telah disediakan oleh layanan jaringan internet telah memberikan sebuah warna baru dalam dunia usaha dan berbagai aspek kehidupan.  Sudarminta (2004) pun mendukung bahwa sesungguhnya teknologi pun memberikan dampak yang cukup kaya terhadap kehidupan manusia. Bagi dunia bisnis, teknologi bisa saja dianggap sebagai pembebas karena telah memberikan banyak waktu senggang bagi para pekerja sementara mesin bekerja, komunikasi yang lancar, dan peluang yang lebih besar dimiliki perusahaan untuk memilih. Namun bisa saja hadir sebagai ancaman. Teknologi modern telah menjadi suatu sistem yang saling terjalin dan bersifat menyeluruh; suatu jaringan yang saling memperkuat sehingga semacam menjadi kekuatan yang autonom. Perkembangan teknologi secara global telah menjadi sebuah kekuatan yang tak terkendalikan. Manusia dan perusahaan individual Nampak semakin tak berdaya berhadapan dengan kekuatan teknologi sebagai suatu sistem yang berjalan dengan dinamika dan logikanya sendiri. 
Jacques Ellul (1980), filsuf Perancis dan kritikus sosial, menuliskan bahwa teknologi telah tak terkendali lagi oleh manusia.  Demikian pula dengan David Kipnis (1990), seorang psikolog, dalam bukunya Technology and Power telah memberikan pemaparan bahwa siapa yang menguasai teknologi mempunyai kekuasaan atas orang lain dan hal ini mempengaruhi sikap-sikap pribadi dan struktur sosialnya. Bahkan para pemegang kekuasaan menganggap bahwa keunggulan teknologis adalah keunggulan moral.
Kebijakan perusahaan (dalam hal ini, perusahaan Jim) dalam menghadapi dampak teknologi bagi produk mereka adalah respon yang wajar. Adanya komitmen perusahaan: To treat the customers with respect and dignity memberikan sebuah gambaran bahwa memang perusahaan ini adalah perusahaan yang built-to-last. Hal ini tak dapat dipungkiri, karena hanya perusahaan yang built-to-last lah yang mampu bertahan sekian lama dan menjadi perusahaan nomor wahid di bidangnya. Namun pandangan David Kipnis(1990) telah nyata dalam pengalaman perusahaan ini. Dalam kacamata etika bisnis, keputusan perusahaan untuk  mengurangi biaya produksi secara drastis dan memperkenalkan produk baru dalam bentuk paket, menunjukkan adanya pergeseran nilai ke arah creative destruction. Hal ini tertuang dalam teks pada salah satu alineanya:

The company reaction was to drastically decrease the cost of its products, bundle databases into packages, and start to alter product introductions by including several value-added services that were new to the market.”

Selain keputusan perusahaan untuk mengurangi  biaya produksi secara drastis, perusahaan juga menawarkan produk baru yang dianggap lebih kreatif. Dalam teks, kalimat …start to alter product introductions by including several value-added services that were new to the market memberikan kesan seakan-akan nilai-nilai yang sudah dimiliki perusahaan pada awalnya belumlah sempurna dan tampat bahwa perusahaan kurang berkomitmen terhadap nilai yang sudah dibakukan terlebih dulu. Di sisi lain, perusahaan tampak kreatif karena menciptakan nilai-nilai service kepada konsumen yang ternyata masih baru dalam dunia pasar. Namun analisa tak berhenti sampai di situ, karena sebuah pertanyaan kritis dapat diajukan. Hal ini akan dibahas pada anak judul berikutnya: Membawa Komitmen dan Nilai Perusahaan ke Meja Hijau.
Teknologi informasi itu ternyata tidak hanya memberikan pergeseran nilai perusahaan ke arah creative destruction,namun juga telah menggeser ke arah creative destruction. Hal ini tampak saat Jim sebagai manajer penjualan dipaksa untuk kreatif membuat sebuah customer subscriptions yang selama ini kurang dipedulikan. Dengan keadaan ini, perusahaan menunjukkan kemampuannya untuk bisa bertahan bahkan memiliki daya juang yang tinggi di tengah persaiangan yang bertambah ketat baik di dunia maya dan dunia nyata. Ternyata, hal tersebut tak lama berlangsung disebabkan oleh masalah yang ada adalah budaya pemimpin Jim. Pimpinan Jim sama sekali belum memiliki nilai perusahaan untuk treat the customers with respect and dignity.  Hal ini terlihat dalam teks:

“Why don’t we try to get this price? In the customer refuses to pay it, then we’ll negotiate.”


Teks ini menghadirkan budaya pemimpin yang sangat visioner mencapai target usaha dan profit semaksimal mungkin, namun di lain sisi telah mengabaikan si konsumen—sementara konsumen merupakan hal yang perlu ditingkatkan kepercayaannya dalam masalah ini. Merunut masalah, maka sangat jelas bahwa kehadiran teknologi telah memudahkan masyarakat mengakses lebih banyak data, dan jumlah konsumen menjadi berkurang.  Ternyata pimpinan Jim belum menyadari bahwa kepercayaan konsumen adalah yang utama untuk dapat bersaing dalam masalah perusahaan—terlebih konsumen lebih memprioritaskan harga barang dan customer service setelah pembelian produk. Dalam hal ini, Jim yang telah menemukan ketidakadilan dalam pembebanan biaya kepada para konsumen, namun tidak berhasil menyampaikan nilai etis yang seharusnya dilakukan perusahaan karena budaya pimpinannya, menjadi korban yang paling tersakiti dalam masalah ini. Nilai-nilai profesionalitas dalam dirinya nyaris tak berdaya. Jika saja konsumen mengetahui hal ini, maka konsumen akan menjadi korban utama. Perusahaan pun dapat menjadi korban jika ternyata konsumen kehilangan kepercayaan mereka dan beralih kepada opsi lain.
                Mari keluar dari kisah Jim, dan mencoba bermimpi. Jika saja aku menjadi Jim… Komunikasi dengan pimpinan merupakan sebuah nilai yang tidak boleh dianggap gampangan. Sebagai seorang sales manager, keberpihakan kepada konsumen merupakan hal yang wajar demi mendapatkan kepercayaan konsumen. Selain mengkomunikasikan kepada pimpinan, kemampuan untuk membangun hubungan dengan departemen lainnya pun sangat penting. Jika masalah yang dihadapi adalah masalah ketidakadilan pembebanan biaya, maka hubungan dengan bidang financial setidaknya perlu dibangun dan diarahkan kepada visi, misi, dan nilai perusahaan, terlebih dalam perusahaan tentunya ada rapat berkala. Deskripsi dan pemaparan kuantitatif terhadap masalah yang dihadapi adalah hal yang berarti untuk dilakukan.

VALUE-BASED STAKEHOLDER MANAGEMENT: MIMPI ATAU PELUANG?
Pendekatan yang disumbangkan oleh ilmu etika dalam dunia bisnis tidak dapat dikesampingkan, terlebih dalam kisah Jim dan perusahaan tempatnya bekerja. Ada sepuluh pendekatan yang dapat dilakukan dalam value-based management, antara lain:
1.       Mengidentifikasi masalah, peluang, dan dukungan dari top leader: Apakah respon perusahaan sudah menjawab masalah perusahaan?
2.       Mengkaji ulang visi, misi, kode etik dan tujuan: Sudahkah semua mengetahui visi, misi, kode etik dan tujuan perusahaan?
3.       Menentukan langkah-langkah dan realisasinya: Sudahkahkah semua tim bersinergi mencapai tujuan?
4.       Mengembangkan ukuran kinerja, untuk mendapatkan feedback dari konsumen: Sudahkah konsumen merasa dipuaskan dengan pelayanan? Jika ternyata tidak ada keluhan konsumen, mengapa harus mengurangi biaya produksi?
5.       Menengidentifikasi respon perusahaan terhadap masalah: Apakah kebijakan membuat produk baru dan secara drastic mengurangi biaya produksi sudah bijaksana?
6.       Menentukan kesejajaran sistem organisasi: Mengapa selama ini sekretaris saja yang membuat customer subscriptions?
7.       Menentukan garis dasar dan analisis GAP antara sekarang dan masa mendatang.
8.       Menciptakan benchmarks: Mau jadi apa ini untuk lebih baik?
9.       Mengembangkan ringkasan laporan dan rekomendasi: Apa saja yang sudah dilakukan dan apa hasilnya?
10.   Melihat hasil dan rekomendasi dari stakeholder.

Sepuluh langkah ini tampak ideal. Mimpikah atau sebuah peluang? Jim, sebagai seorang manager penjualan, tentunya tidak dapat berperan aktif dalam semua hal ini, namun dalam departemen yang dipimpinnya, hal ini sangat memungkinan dilakukan. Sedapat mungkin, jika aku menjadi Jim, maka sebuah deskripsi lengkap dan pendekatan ini akan menjadi jalan untuk dapat mempertahankan kemampuan perusahaan bersaing di keadaan sulit. Dalam menghadapi pimpinan, maka sepuluh pendekatan ini akan sangat membantu., terlebih dengan adanya rekomendasi dari stakeholder lainnya. Namun semua itu terjadi “jika saya adalah Jim.” Mimpikah sebuah value-based management approach?  Ternyata value-based management memberikan jalan keluar untuk dapat mempertahankan reputasi perusahaan dalam keadaan sulit sekalipun, maka ini pantas dianggap sebagai peluang. Kasdin (2009) memberikan sebuah refleksi bahwa moralitas tercakup dalam bisnis dan menjadi sebuah pembangkit gairah berbisnis. Bahkan semakin banyak tekanan dalam perusahaan, akan semakin banyak peluang dengan adanya value-based management. Bahkan dengan adanya pemimpin seperti bos Jim, ada peluang dari poin kesepuluh!

MEMBAWA KOMITMEN DAN NILAI PERUSAHAAN KE MEJA HIJAU—INDONESIAKU?
We will treat our customers with respect and dignity! Demikian perusahaan memberikan yel-yel dan seruannya terpampang dalam setiap label perusahaan, dan pintu perusahaan. Dalam kenyataannya, ada ketidakadilan pembebanan biaya produk kepada para konsumen (baca: konsumen lama dan baru). Lantas di mana nilai respect yang ingin diberikan perusahaan kepada konsumen saat dalam situasi ini? Budaya pemimpin seperti apa yang telah direpresentasikan oleh visi perusahaan? Mau dibawa kemana sebuah perusahaan yang memiliki nilai moral seperti ini? Ternyata visi dan komitmen perusahaan masih perlu diragukan.
                Century? MLM? Perdagangan indeks? Akankah Indonesia menutup mata dan membui semua pekerja yang memiliki nilai-nilai etis dalam batinnya? Di mana para pelajar etika bisnis saat bisnis sedang dalam gejolak Jim…


DAFTAR RUJUKAN:
Sudarminta, J., “Dampak Teknologi Bagi Kehidupan Manusia”, Jurnal Diskursus, Vol.3., No. 1. Jakarta: STF
Driyarkara, 2004.
Ellul, Jaques. The Technological System. New York: Continuum, 1980.
David Kipnis, Technology and Power. Berlin: Springer-Verlaag, 1980.
Joseph W. Weiss, Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management Approach, Ch, 4,
Thomson, South-Western, Canada, 2003., p. 148.
Sihotang, Kasdin. ‘Moralitas Dalam Bisnis, Mungkinkah?” Suara Pembaharuan 25 Juli 2009.

Rangkuman jawaban pertanyaan:

1.      Jika saya menjadi Jim…:
a.      Komunikasikan dengan pimpinan.
b.      Buat sebuah laporan deskriptif, analisis kuantitatif dan minta masukan dari para stakeholder.
c.       Mengajukan masalah dalam rapat.
d.      Tetap menjalankan tugas, dan mencapai target yang diharapkan.
e.      Komunikatif dengan konsumen.
2.      Masalahnya?
a.      Eksternal
                                                              i.      Pasar yang meningkat, kehadiran fasilitas gratis di internet
                                                            ii.      Konsumen beralih ke fasilitas gratis di internet
b.       Internal
                                                              i.      Budaya pimpinan yang birokratis
                                                            ii.      Kebijakan perusahaan yang bersifat creative destructive
                                                          iii.      Belum semua pegawai mengetahui dan memaknai nilai perusahaan
3.      Yang menjadi korban?
a.      Jim: karena tak dapat berbuat apa-apa, sementara nilai-nilai dalam dirinya menuntutnya melakukan sesuatu demi konsumen.
b.      Konsumen: Jika mereka mengetahui, mereka dapat menuntut dan tak percaya pada perusahaan lagi.
c.       Perusahaan: karena kehilangan kepercayaan konsumen.
4.      Ada 10 langkah yang akan dilakukan. Sebagai bawahan, saya akan lebih agresif melakukan langkah nomor 10: Melihat ulang hasil dan rekomendasi dari para stakeholder.
5.      Tidak ada perbedaan, justru bersinergi.


[1] Alinea pertama: The company has established vendor and has a good reputation in the market for its high quality of products, fast and personal customer support, and strong loyalty to its customers.








=====
Tulisan ini merupakan tugas untuk Ujian Tengah Semester mata kuliah Etika Bisnis dalam program studi MM UNIKA Atmajaya, Jakarta. Terimakasih untuk Drs. Kasdin Naibaho, M.Hum., atas kebersamaan dan diskusi hangat di kelas seksi-A.