Selasa, 06 Maret 2012

FILSAFAT POLITIK & ILMU POLITIK

TUGAS TERSTRUKTUR 1

1.      Mengapa Filsafat Politik akan kerdil tanpa didukung Ilmu Politik? Dan sebaliknya, mengapa Ilmu Politik akan kerdil tanpa didukung Filsafat Politik?
Dua pertanyaan di atas memberikan penegasan bahwa filsafat politik dan ilmu politik merupakan dua hal yang berbeda namun sama-sama membahas politik. Perbedaan kajian filsafat dan ilmu-ilmu dalam mengamati realitas bukanlah sesuatu yang baru. Pada ilmu-ilmu, untuk memahami realitas yang ada dilakukan pendekatan deskriptif. Sedangkan pada filsafat, sebuah realitas dikaitkan dengan disiplin normatif. Disiplin normatif maksudnya adalah disiplin yang merumuskan sesuatu secara ideal. Pertanyaan-pertanyaan pada ilmu-ilmu cenderung mudah diketahui dimana mencari jawabannya, sementara pertanyaan-pertanyaan filosofis atau normatif cenderung sulit menentukan di mana dan bagaimana mencari jawabannya (Wolff 2006, “introduction,” 1-5).
Perbedaan tersebut juga dapat dilihat pada cara ilmu-ilmu (dalam hal ini ilmu politik) dan filsafat (politik) memandang politik sebagai objek kajian. Misalnya dalam mengkaji permasalahan Papua sebagai tata hidup bersama, filsafat politik mempertanyakan apakah negara Indonesia mutlak diperlukan untuk terbentuknya tata hidup bersama di Papua; ilmu-ilmu mempertanyakan dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua. Saat filsafat politik menalar urgensi negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua, jelaslah bahwa filsafat politik berupaya memberikan pernyataan nilai (value statement). Sementara temuan ilmu politik terhadap dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua memberikan pernyataan faktual atau factual statement (Herry-Priyono 2010, 6-7).
Filsafat politik yang memberikan dasar normatif tentunya berisi argumen yang disusun dengan nalar. Argumen tersebut tidak mustahil menggunakan data-data deskriptif yang bersumber dari hasil kajian ilmu politik (Herry-Priyono 2010, 7), karena dengan jalan itu, argumen yang disusun semakin kaya. Maka filsafat politik akan sulit menentukan apakah Papua lebih baik terpisah dari Indonesia atau tetap bersatu dengan Indonesia jika tidak didukung data deskriptif faktual tentang dampak pemerintahan negara Indonesia bagi tata hidup bersama di Papua. Senada dengan itu, ilmu politik tidak mudah menentukan apakah pemerintahan negara Indonesia membawa kebaikan bagi tata hidup bersama di Papua, sebab menalar baik atau buruknya pengaruh pemerintahan Indonesia bagi tata hidup bersama merupakan ranah normatif (yang ada pada kajian filsafat politik).
Mencuplik perbedaan filsafat politik dan ilmu politik, apakah filsafat politik yang sarat nilai tidak perlu dihubungkan dengan ilmu politik yang sarat fakta? Bagaimana mungkin sesuatu dapat dinyatakan “baik” secara normatif jika “secara faktual tidak dibuktikan baik?” Demikian pula, bagaimana mungkin sesuatu dapat “disimpulkan baik secara faktual” jika berdasarkan nalar sesungguhnya tidak “baik”? Di sinilah ilmu politik dan filsafat politik saling melengkapi. Maka tidak naïf jika menyebutkan bahwa filsafat politik akan kerdil tanpa ilmu politik, dan sebaliknya, ilmu politik akan kerdil tanpa filsafat politik.

2.      Metode Resolutif-Kompositif Filsafat Politik Thomas Hobbes dan gagasan filsafat politiknya.
Metode filsafat Thomas Hobbes berhubungan dengan pemaknaannya terhadap filsafat. Bagi Hobbes, filsafat adalah kajian sebab-akibat, dan metode yang paling tepat adalah cara untuk menemukan akibat dari sebab (dan sebaliknya). Terkait dengan itu, metode Hobbes dalam berfilsafat adalah dengan melakukan langkah “resolusi” (resolution) dan “komposisi” (composition). Resolusi adalah mengurai, mencopot satu persatu setiap partikel dari sesuatu kemudian dianalisis; Komposisi adalah menata ulang seluruh bagian yang sebelumnya telah dicopot untuk dianalisis, dilakukan pendekatan sintetik (Herry-Priyono 2010, 45). Tentu metode yang digunakannya bukanlah satu-satunya penyebab kemahsyuran temuan filosofisnya. Namun dengan metode itu, Hobbes telah mampu menguraikan seluruh unsur dalam suatu tata negara (melalui filsafatnya tentang manusia), kemudian merumuskannya kembali sebuah tata negara yang lebih baik daripada kondisi tata negara sebelumnyan (melalui filsafatnya tentang politik, atau tata negara).
Langkah resolusi (atau resolutif) yang dilakukan Hobbes adalah dengan melihat unsur-unsur terkecil sebuah tata negara yaitu manusia tanpa negara dan hukum (Herry-Priyono 2010, 45-46). Inilah yang dikenal dengan “kondisi asali.” Beberapa tesis Hobbes tentang manusia adalah: 1) manusia selalu bergerak tiada henti karena memiliki “isi” yaitu nafsu mencapai keberhasilan, kepuasan, reputasi, dan kekuasaan, dan ia hanya akan berhenti jika dihalangi kematian atau dihambat orang lain; 2) manusia bersaing ketat (menyerang atau bertahan) dan penuh ketegangan untuk mendapatkan “keberhasilan” dan “kekuasaan” karena keberhasilan dan kekuasaan langka; 3) manusia berhak membunuh orang lain atau melakukan apapun untuk bertahan hidup, meraih keberhasilan, dan memperkuat “kekuasaannya”; 4) manusia selalu siap untuk berperang (homo homini lupus); 5) manusia takut mati dan takut kepada orang lain; dan 6) manusia memiliki hukum alami; 7) manusia tidak diatur oleh moralitas. Karena di sana tidak ada “baik” dan “tidak baik.” (Wolff 2006, 10-11; Herry-Priyono 2010, 10-11). Namun manusia memiliki hukum alami. Hukum alaminya adalah tidak memerangi asalkan orang lain pun tidak memerangi; tidak menggunakan hak membunuh sejauh orang lain pun tidak melakukannya; dan tidak melanggar perjanjian sejauh orang lain pun tidak melanggarnya (Wolff 2006, 14; Herry-Priyono 2010, 11). Tentu keadaan menjadi lebih baik dengan hukum alami. Namun siapa yang dapat menjamin hukum alami tersebut ditegakkan? Dengan pertanyaan seperti inilah  Hobbes memulai filsafatnya tentang tata negara dengan langkah kompositif.
Dalam langkah kompositif, Hobbes menggagas diperlukannya kekuatan pemaksa untuk menjamin hukum alami ditegakkan—agar setiap manusia tidak dihantui ketakutan terus menerus (Wolff 2006, 14). Meskipun secara individual, “perang” adalah keputusan rasional pada kondisi asali, namun secara kolektif, pembentukan sebuah tata negara adalah rasional karena menawarkan damai (Wolff 2006, 14-15). Dasar kekuatan negara adalah perjanjian setiap orang yang mengadakan kesepakatan, dan penjamin penegakan hukum alami itu adalah negara, dapat personal atau instansi. Negara tersebut berdaulat, karena tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi darinya (Herry-Priyono 2010, 11). Dari pemikiran inilah Hobbes memunculkan istilah Leviathan sebagai metafora “negara.”. Negara adalah bentukan rakyat, pilihan rakyat dan merupakan hasil perjanjian setiap rakyat.


Sumber:
Wolff, J, An Introduction to Political Philosophy. New York: Oxford University Press, 2006.
Herry-Priyono, B. “Filsafat Politik, Bahan Kuliah Program Matrikulasi Program Pascasarjana
Filsafat STFD.” Jakarta, Mei 2010.

1 komentar:

  1. Yggdrasil Casino - Goyang County, Georgia
    Yggdrasil Casino is 승인전화없는 사이트 an old-school online gaming establishment that is part of the Yggdrasil 윌리엄힐 Group, owned and operated 카운팅 by the company of a number of 더킹 바카라 other hitbet

    BalasHapus