Sabtu, 24 Maret 2012

HAK MILIK?

Masalah kepemilikan memang selalu hangat. Di kota besar seperti Jakarta, masalah kepemilikan tanah dan gedung tidak sedikit memicu konflik. Masih membekas di mata, bayangan liputan beberapa siaran televisi yang memberitakan “aksi jahit mulut” atas rencana pembangunan apartemen di daerah Pramuka; aksi “parang memarang” antar kelompok di beberapa wilayah; dan adanya pemaksaan yang intens terhadap masyarakat miskin untuk minggat dari areal yang akan dibangun dengan gedung-gedung pencakar langit. Terciptalah gedung-gedung megah, perumahan-perumahan elit, dan taman-taman indah yang sesungguhnya, dibalik lahan tersebut tercurah keringat ratusan rakyat miskin dan darah para pahlawan.
Isu kepemilikan tanah bukan hanya terjadi di kota besar sekelas Jakarta. Bintan misalnya, sebuah pulau kecil yang berbatasan dengan Singapura. Area wisata “Bintan Resort” yang mahsyur itu justru masih memiliki dilema dengan beberapa warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada pengelola Bintan Resort. Alhasil, mereka tinggal di tengah kawasan wisata, menikmati fasilitas yang ada meskipun manajemen Bintan Resort harus rela tak rela melihatnya. Hal seperti ini pun tidak mudah ketika masalah ini terjadi di Papua. “Ini bukan tanah Indonesia, ini tanah kami!” Ya, ujaran demikian tidak langka disampaikan oleh warga Papua.
Pertanyaan filosofis yang muncul adalah mengapa sebagian besar orang rela menjual harta miliknya dan digusur keberadaannya dari tanah miliknya, sementara yang lain sama sekali tidak mau bergeser? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan mencoba memberikan tawaran solusi atas keadaan runyam tentang kepemilikan.
Kepemilikan tanah bukan isu baru dalam alam pemikiran. John Locke (1632-1704) misalnya, menguraikan idenya tentang kondisi asali bahwa pada awalnya, semua manusia tidak “memiliki” tanah, namun hanya mengolahnya sesuai dengan kemampuannya. Jika seseorang berbadan kuat, maka lahan yang diolahnya pun besar. Tanah menjadi persoalan ketika tanah memiliki nilai uang tertentu. Akibatnya, setiap orang berebut lahan yang lebih luas, dan saling bersaing. Dalam persaingan, amat wajar jika ada yang kalah dan menang. Yang menang menjadi tuan tanah, yang kalah menjadi kuli kebun.
Karl Marx memberikan sebuah langkah resolutif untuk persoalan rumit yang digambarkan Locke. Konsep Marx adalah agar tata kepemilikan pribadi harus didasarkan atas prinsip kesamaan dan kesetaraan. Sementara itu, John Stuart Mill memiliki argumen bahwa kepemilikan tanah hanya dapat diperoleh jika seseorang telah memberikan manfaat terhadap tanah tersebut.
Luasnya pemikiran tentang kepemilikan tanah inilah yang membentuk berbagai aliran pemikiran misalnya “libertarianianisme” (Robert Nozick) yang menganjurkan peran minimal negara, dan “liberalisme kesejahteraan” (John Rawls) yang menganjurkan peran intervensi negara dan sistem kesejahteraan sosial. Lantas, bagaimana sih yang seharusnya terjadi? Apa yang faktual terjadi adalah: 1% warga kaya menguasai 40% kekayaan dunia; 5% menguasai 71% harta dunia; 10% menguasai 85% kekayaan dunia.
Mari membedah gagasan Locke lebih dalam. Bagi Locke, pada awalnya seluruh benda di dunia tidak dimiliki siapa-siapa. Contohnya, buku. Buku ini milik Tuan A, terbuat dari pohon yang dimiliki Ibu B. Pohon itu bersumber dari biji pohon, dan biji pohon itu bersumber dari pohon yang lain, demikian seterusnya hingga tiba pada benda yang tak dimiliki siapapun. Menurut Locke, sebuah benda dapat dimiliki seseorang jika dia menambahkan “nilai kerja, nilai tambah, dan nilai kelayakan.” Artinya, seseorang yang mengerjakan sebidang tanah hingga memberikan hasil, dan membuat tanah itu lebih bernilai dari sebelumnya berhak memiliki tanah tersebut. Namun, argumen Locke tidak kuat untuk menguraikan kepemilikan tanah. Sebab, semua argumen itu hanya berlaku selama “masa pengolahan” dan tidak lebih. Pemilikan menjadi tetap irasional. Robert Nozick pun mengkritik argumen Locke atas kepemilikan berdasarkan nilai kerja. “Jika saya memiliki cairan, lalu saya menuangkannya ke laut, apakah laut menjadi milik saya?” Tentu saja pemikiran Locke tidak menjawab pertanyaan seperti ini.

Pagi ini, saat saya mengaduk kopi luwak, saya terpancing informasi menarik dari inspirator saya yang menceritakan apa yang dibacanya dari buku “Membina Pendidikan Sejati” karya Ellen G. White. Terlepas dari penulisnya yang diklaim mendapat wahyu dari Yang Adikodrati, saya tertarik dengan gagasannya yang kiranya dapat menjadi salah satu alternatif solusi. Gagasannya bersumber dari pemaparannya tentang sejarah. Ya, tulisann.ya lebih condong kepada sejarah bangsa-bangsa, khususnya bangsa Israel yang dituliskan dalam kitab taurat. Hak milik adalah istilah yang sudah dikenal sejak dulu, sejak zaman bangsa Israel menerima langsung wahyu dari Allah. Tanah dibagi rata kepada 1 suku bangsa Israel kecuali suku Lewi yang ditugaskan untuk mengatur tata ibadah di bait suci. Seseorang boleh menjual tanah miliknya kepada orang lain, asal bukan menjual milik anaknya. Tanah yang dijualnya dapat dibelinya kembali sewaktu-waktu dan orang yang membeli tanahnya wajib membrikan tanahnya jika orang tersebut sudah membayarnya kembali. Demikian pula jika seseorang berutang, dia dapat membayarnya dengan memberikan tanah miliknya kepada si pemberi utang. Namun pada tahun ketujuh , si pemberi utang harus mengembalikan tanahnya kepada pemilik aslinya kembali. Pada tahun ketujuh, sebagaimana tradisi Israel, adalah tahun cuti. Tahun itu hanya digunakan untuk pergaulan sosial dan waktu utnuk kedermawanan. Tidak ada yang bekerja di kebun, dan hasil kebun pada tahun ketujuh dinikmati bersama, khususnya diberikan untuk orang miskin. Kondisi historis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perebutan kekuasaan, tidak ada kemelaratan permanen setelah menjual atau memberikan tanah, tidak pula ada kemiskinan yang amat parah, karena setiap warga menikmati hasil bersama. Tidak pula ada pembodohan yang membuat seseorang hanya menjadi kuli kebun terus menerus, tidak ada konflik kepemilikan, dan cara seperti ini secara historis mampu mencegah kemiskinan.
Deskripsi historis ini bukan saja logis, namun amat mungkin menjadi argumen kuat tentang kepemilikan. Jika saja manajemen PT. Freeport, serta berbagai perusahaan lainnya menyempatkan diri berefleksi tentang hak milik, kiranya kesimpulan yang sama akan ditemukan.

Salam secangkir kopi!
Toast dari Semanggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar