Kamis, 06 Oktober 2011

MENGGUGAT ENTREPRENEUR, Sebuah Refleksi Kritis di Akhir Chabbat

Tulisan ini berusaha mengungkapkan sifat dasar dan arti penting kewirausahaan. Arus globalisasi dalam dunia bisnis banyak mendorong manusia untuk mulai berwirausaha dan masuk dalam dunia bisnis. Tidak heran jika muncul motivator-motivator (bahkan ada yang pekerjaannya hanya menjadi motivator) yang merepresentasikan kewirausahaan adalah sebuah jalan keluar dari berbagai krisis dan kesulitan perekonomian. Pendekatan yang dilakukan bukan saja secara ekonomis[1] dan teoritis namun juga melakukan pendekatan psikologis,[2] antropologis dan cara-cara humanistik lainnya. Pada dasarnya, para motivator  ini dapat disebut sebagai entrepreneur. Pencerita kisah-kisah sukses tersebut pun merupakan entrepreneur. Demikian pula dengan dosen-dosen di dunia akademik yang mendorong para mahasiswanya pun dapat dikategorikan sebagai entrepreneur. Namun pada kenyataannya, menjadi entrepreneur tidaklah selamanya seperti impian dan harapan. Fenomena yang ada tentang kegagalan berbisnis, tentang kehancuran usaha, serta berbagai sisi lain yang tidak dikisahkan oleh para entrepreneur tersebut seharusnya tidak diabaikan. Untuk itulah pemaknaan ulang dan gugatan terhadap para entrepreneur yang tidak mengungkapkan secara utuh tentang kewirausahaan wajar dilakukan. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis pada rentan waktu tertentu (yakni Chabbath). Terminologi Perancis tersebut dipilih karena makna khususnya serta karena terminologi “kewirausahaan” pun berasal dari Perancis yang artinya adalah “menuju-di antara” (go-between) atau “di antara-pengambil” (between taker)[3] dan Perancis merupakan tempat kelahiran epistemologi[4]—sebagaimana tulisan ini merupakan upaya pendekatan epistemologi.

MENDEFINISIKAN KEMBALI ENTREPRENEURSHIP
Kewirausahaan tidaklah sesuatu yang baru. Istilah ini telah dikenal setidaknya sejak abad pertengahan. Hampir di setiap abad memiliki definisi tersendiri tentang kewirausahaan. Pada periode awalnya, Marco Polo lah yang dikenal sebagai pengusaha yang mengembangkan rute perdagangan hingga ke Timur Jauh. Marco Polo meminjamkan kapal dan menjamin para pengusaha untuk dapat melakukan kegiatan perdagangannya dengan aman. Setelah pedagang-pedagang tersebut berlabuh, Marco Polo memberikan 25% dari hasil penjualan dan Marco Polo memperoleh 75% dari seluruh keuntungan. Pada abad pertengahan, pengusaha adalah orang-orang yang bekerja pada proyek-proyek pemerintah seperti klerek di bidang arsitektur. Pengertian tentang kewirausahaan ini kemudian berkembang pada abad ke-17 yang memaknai kewirausahaan sebagai tindakan yang siap mengambil risiko, sebab penjualan barang/ jasanya tidak pasti. Perkembangan pengertian tersebut tidak lepas dari semakin kompleksnya permasalahan dalam dunia bisnis, dan pada abad ke-18, banyak pemodal yang meminjamkan uangnya bagi para pengusaha dengan bunga tertentu. Jumlah pengusaha yang kian banyak kemudian menggiring definisi baru bagi istilah kewirausahaan menjadi inovasi. Dalam hal ini, pengusaha menjadi inovator.
Gambaran historis tersebut menunjukkan bahwa kewirausahaan sendiri bukanlah sebuah ilmu. Itu merupakan sebuah keahlian dan bersifat dinamis. Kesepakatan yang diambil untuk definisi kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.[5] Empat aspek inti yang diutarakan dalam definisi tersebut adalah: penciptaan (seorang pengusaha perlu menciptakan sesuatu yang baru), waktu dan upaya yang dibutuhkan (seorang pengusaha perlu mengorbankan waktu dan memerlukan kerja keras), kebebasan (seorang pengusaha bebas mengelola usahanya dan seharusnya saling menghormati), serta menanggung risiko (seorang pengusaha harus memiliki kesiapan untuk menerima risiko).  Dengan demikian, entrepreneur perlu memiliki kesiapan atas ketidakpastian peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Definisi tersebut juga sekaligus memisahkan pengertian entrepreneur dengan penemu. Penemu adalah seseorang yang menciptakan sesuatu yang baru. Seorang penemu adalah pencipta sesuatu untuk pertama kalinya, seorang yang digerakkan oleh gagasan pribadinya. Pada umumnya seorang penemu berpendidikan tinggi. Kombinasi pengalaman dan pendidikan melengkapi kemampuannya untuk menemukan sesuatu yang baru. Tidak jauh berbeda dengan entrepreneurship, kegiatan penemu juga memiliki risiko kegagalan yang besar serta ketidakpastian. Secara praktis, penemu tidak akan mengomersialkan penemuannya sebab dia sangat menikmati proses untuk menemukan, bukan mengimplementasikan. Sementara seorang entrepreneur berfokus pada komersialisasi.
Pendefinisian di atas menunjukkan adanya perbedaan fenomena dengan definisi yang sesungguhnya. Para entrepreneur pada kenyataannya seakan amnesia dengan kegagalan dan mungkin saja sudah trauma dengan kegagalan. Sehingga para entrepreneur yang kemudian memotivasi orang lain untuk turut menjadi entrepreneur merupakan sekumpulan orang-orang pelupa dan traumatik dengan kegagalan. Atas dasar itu pula, informasi yang diberikan tidak disampaikan secara utuh. Pembekalan seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur tidak dilakukan dengan optimal sebab persiapan tersebut masih hanya menyentuh dua aspek saja dari empat aspek dasar yakni kebebasan dan inovasi. Berdasarkan kedua aspek inilah kemudian dibangun sebuah mimpi masa depan yang lebih baik—hingga suatu saat, para entrepreneur amatir tersebut terbangun dari mimpi indahnya dan tersadar bahwa dia selama ini tertidur dalam buaian mimpi. Para entrepreneur kelas berat memang sepertinya sudah lupa dan sangat trauma dengan kegagalan sehingga tidak membekali orang-orang muda untuk mempersiapkan diri menghadapi kedua aspek lainnya: pengorbanan waktu, serta risiko. Kesiapan orang yang ingin menjadi entrepreneur untuk mengorbankan waktu dan pemikiran serta seluruh sumber daya yang dimiliki seharusnya diungkapkan dengan tegas. Tidak sedikit entrepreneur amatir kemudian gulung tikar karena kekurangkonsitenannya untuk mengelola usaha. Ini dapat menjadi mimpi buruk. Demikian pula kesiapan orang yang ingin menjadi entrepreneur dalam menghadapi risiko perlu dipertegas. Risiko yang diterima bisa saja merupakan risiko positif, atau bahkan risiko negatif. Risiko positif dalam arti, entrepreneur memperoleh keuntungan yang sangat besar, sementara risiko negatif artinya entrepreneur menerima kegagalan yang sangat besar. Tidak sedikit pula entrepreneur yang tidak siap menerima keuntungan yang sangat besar sehingga menghabiskan keuntungannya dengan begitu saja. Maka pembekalan terhadap kesiapan menghadapi risiko merupakan hal penting yang seharusnya tidak diabaikan—terlebih saat mempersiapkan orang lain menjadi entrepreneur. Persiapan tersebut mencakup kesiapan entrepreneur untuk menerima untung sebesar-besarnya, dan kesiapan entrepreneur untuk mengatasi kerugian yang sebesar-besarnya. Seorang calon entrepreneur pun perlu dibekali dengan baik tentang tahap memulai sebuah usaha yang meliputi: kemampuan mengidentifikasi peluang,[6] membuat rencana bisnis,[7] memetakan sumber daya,[8] serta keahlian mengatur bisnis.[9]
            Dari perbedaan karakteristik penemu dengan entrepreneur dapat ditemukan bahwa entrepreneur bukanlah satu-satunya jalan. Entrepreneur hanya merupakan sebuah alternatif usaha untuk bertahan hidup dan bahagia. Dalam membekali calon-calon entrepreneur hendaknya menghindari pendekatan komparatif[10] untuk mencapai pengertian bahwa entrepreneur adalah pilihan hidup yang baik. Sebab dari definisi di atas, seorang entrepreneur akan bersinergi dengan penemu. Jika saja semua menjadi entrepreneur, dengan siapakah mereka bersinergi? Pendefinisian kewirausahaan yang lebih komprehensif tentunya sangat diperlukan.
PERAN KEWIRAUSAHAAN DALAM PEREKONOMIAN & PUBLIK
Kewirausahaan berjasa dalam publik dalam perekonomian bukan hanya terkait dengan pendapatan perkapita. Lebih dari itu, kewirausahaan berjasa untuk mendukung teori ekonomi yang menyatakan bahwa inovasi sebagai kunci untuk menstimulasi ketertarikan investasi. Kewirausahaan yang mendorong para pengusaha berinovasi terhadap penemuan-penemuan baru oleh penemu memberikan perspektif peluang baru bagi perekonomian, yakni proses evolusi produk. Dalam perspektif lain, pemerintah pada umumnya diharapkan menjadi jembatan penghubung antara teknologi dan kebutuhan sosial. Dari harapan tersebut, pemerintah seharusnya mampu mengomersilkan penemuan-penemuan teknologi—dalam hal inilah entrepreneur dibutuhkan dan seharusnya mengambil peran sebagai inovator.
Berbeda dengan kenyataan yang ada, justru  para pengusaha dengan pemerintah seakan berkompetisi dan bahkan saling menyerang. Serangan kepada pemerintah adalah kurangnya keberpihakan aturan dan birokrasi terhadap kewirausahaan.  Serangan kepada para pengusaha adalah penetapan harga yang cenderung monopolis dan kurang memperhatikan sisi etis dalam dunia bisnis. Sikap yang saling menyerang ini menimbulkan saling tidak percaya yang berujung pada ketidaksinergisan dalam pengembangan perekonomian. Tidak heran jika kewirausahaan belum menjadi tema sentral dalam perkembangan ekonomi. Dalam hal inilah para entrepreneur digugat. Karena setelah sekian lama bergulat dengan permasalahan yang sama, namun tidak memberikan pendekatan solusi—bahkan cenderung mewariskan permasalahan yang sama kepada calon entrepreneur. Lebih parah lagi, yang diwariskan adalah dendam dan pemberontakan terhadap regulasi pemerintah—sehingga menciptakan entrepreneur-entrepreneur yang suka mengeluh, suka menyalahkan keadaan, dan tidak dapat hidup tenang karena selalu dibayang-bayangi ketakutan. Hal ini yang semestinya menjadi bagian dari masa depan kewirausahaan mengingat pendidikan kewirausahaan di dunia akademik terus menjamur.
            Dalam ruang lingkup publik, kewirausahaan pun dapat berperan. Terlepas dari niat mencapai keuntungan, sisi etis sebuah usaha perlu dikembangkan dan dibangun sedemikian rupa. Berkarya dalam memberikan pekerjaan, pengabdian masyarakat, serta aspek-aspek lainnya dapat disentuh dengan kemampuan mengatur bisnis dengan baik. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain tekanan pribadi, norma sosial yang berlaku, serta tekanan kompetisi. Atas dasar inilah para pengusaha perlu dibekali dengan nilai-nilai etis kemanusiaan sehingga dalam berperan di publik pun, tidak menunjukkan kebuasan dan ketakutan.

MEMAKNAI KEWIRAUSAHAAN DI PENGHUJUNG CHABBAT
Entrepreneurship ternyata tidak dimulai oleh Marco Polo yang membuka arus dagang ke Timur Tengah. Bukan pula dimulai dengan adanya model-model serta pengayaan-pengayaan oleh tokoh-tokoh praktisi dan akademisi bisnis. Pertanyaan mendasar yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: Apakah pendefinisian entrepreneurship di muka bumi ini sudah lengkap menjelaskan entrepreneurship itu sendiri? Bahkan kenyataannya, entrepreneurship sangat dinamis—maka tentunya definisinya pun dinamis. Dengan demikian, entrepreneurship masih merupakan sebuah istilah yang mencoba menceritakan setumpuk kebingungan manusia terhadap entrepreneurship itu sendiri.
Pada kitab yang diwahyukan, terdapat kisah Adam dan Hawa yang menurut kisahnya sebagai manusia pertama di dunia. Salah satu kisah ini dituliskan oleh Moses di Kejadian 1-2.[11] Manusia pertama ini ditempatkan di sebuah taman dan hidup hanya berdua (sebagai manusia), sementara lainnya adalah hewan-hewan. Kisah romantik dramatik ini ternyata menyisakan sedikit sinyal aktifitas yang mereka lakukan sesuai instruksi Sang Pencipta mereka. Aktifitas mereka adalah mengusahakan dan mengelola taman tempat mereka tinggal. Mereka memiliki kebebasan untuk mengerjakan apapun untuk menghasilkan hasil yang yang maksimal yang mereka inginkan. Mereka juga memiliki kebebasan waktu—kecuali pada masa istirahat sebaiknya bertenang diri (misalnya saat Chabbat). Mereka saling menghargai, karena mereka juga sesama inovator yang memiliki keahlian masing-masing dalam mengusahakan taman itu. Dan Pencipta mereka telah mempersiapkan mereka juga terhadap risiko yang dapat menimpa mereka. Dikisahkan, mereka pernah memperoleh risiko karena salah memilih langkah. Karena kesiapan untuk memperoleh risiko terburuk, maka mereka mampu berinovasi dalam membuat pakaian (yang mana mereka dalam sekejap menjadi telanjang) karena kegagalannya. Dari kisah di atas, bukankah mereka juga adalah entrepreneur?
Kewirausahaan ternyata tidak terbatas pada definisi yang ada. Kewirausahaan pun menjadi warisan dari Pencipta kepada manusia pertama (dan mungkin saja bagi manusia sekarang). Maka kewirausahaan bukanlah sekedar jalan mencari keuntungan, peluang hidup, kekayaan, kebahagiaan, seperti yang diceritakan oleh para dosen entrepreneurship atau para motivator-motivator besar. Kewirausahaan dari perspektif yang lebih mulia adalah “menggunakan dan mengelola warisan Pencipta.” Dalam definisi inilah segala konflik, ketidaketisan, persaingan, serta ketegangan dalam dunia bisnis akan luntur. Dalam definisi dan cara Pencipta dalam mempersiapkan manusia pertama itulah seharusnya penyesatan dan pengelabuan oleh para akademisi bisnis dan motivator-motivator diakhiri. Serta dalam pengertian itulah gugatan terhadap para entrepreneur diakhiri—karena kenyataannya, memang para entrepreneur tersebut adalah kaum traumatis dan kaum yang lupa diri, lupa Pencipta. Maka bergunakah hamba menggugat entrepreneur yang amnesia dan traumatis?


[1] Bahwa seseorang perlu menggabungkan sumber daya, tenaga kerja, bahan baku, serta aset lain untuk menghasilkan nilai yang lebih besar dari sebelumnya.
[2] Bahwa manusia digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu, bereksperimen, menyelesaikan atau mungkin melarikan diri dari otoritas orang lain.
[3] Hisrich, R., Peters, M., Shepherd, D. 2008. Kewirausahaan, Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hal. 6.
[4] Ilmu tentang pengetahuan.
[5] Hisrich, R., Peters, M., Shepherd, D. 2008. Kewirausahaan, Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hal. 10.
[6] Melihat pasar apa yang akan diisi? Bagaimana kondisi sosial yang mendasari kebutuhan pasar tersebut?
[7] Menyusun rencana yang komprehensif.
[8] Mencari tahu sumber daya apa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diharapkan, serta menyusun strategi apa yang akan dilakukan untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan.
[9] Mengembangkan gaya manajemen, mengidentifikasi dan mengendalikan masalah. Bahkan aspek ini mencakup kemampuan untuk memilih usaha apa yang dilakukan? Apakah gazzeles yang berpotensi pertumbuhan sangat besar? Apakah perusahaan keuangan yang dibentuk berdasarkan penelitian terhadap pasar saham? Apakah perusahaan gaya hidup yang memiliki keterbatasan pertumbuhan? Atau apakah perusahaan yang berpotensi tinggi untuk mendapatkan dana dari investor?
[10] Seperti membandingkan gaji pegawai dengan gaji pengusaha sukses, dan lain sebagainya.
[11] Untuk ini, terimakasih pada Dr (Kand.). Lidia Sandra, S.Psi., M.Comm.Eng.Sc., Direktur SDM Universitas Kristen Krida Wacana atas diskusi expert yang akhirnya menggiring pemikiran kepada tulisan-tulisan pewahyuan.