Jumat, 29 April 2011

Mencari Kekayaan yang Membahagiakan


Tujuan hidup bisa beragam, dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan, motivasi diri, latarbelakang budaya dan pendidikan, pengalaman masa lalu, harapan di masa mendatang, dan banyak lagi. Bukan saja dipengaruhi  banyak faktor, tujuan hidup juga mempengaruhi banyak faktor seperti cara bersikap, cara mempresentasikan diri, dan lain sebagainya. Mendasarkan pada pandangan bahwa tujuan hidup adalah "bahagia', kiranya tulisan ini dapat menjadi penyegar para pencari kebahagiaan dan para pemberi kebahagiaan.

Socrates suatu kali dimintai datang ke rumah seorang yang sangat kaya. Orang kaya tersebut menunjukkan kekayaannya pada Socrates. Rumah yang indah, para pegawai yang penurut, ruangan-ruangan bersih dan mengkilap, serta taman yang indah, seperti sebuah istana. Dengan senyum lebar, orang kaya tersebut berkata kepada Socrates: "Akuilah Socrates, tentu engkau iri melihat kekayaan ini." Socrates menjawab: "Aku bangga padamu dengan keyaaan seperti ini, aku kagum. Namun tentunya engkau lebih kagum padaku karena aku tidak memerlukan kekayaan sebanyak ini untuk mendapatkan kebahagiaan."

Lazimnya, menilai kekayaan adalah dari sisi ekonomi. Teringat dengan cerita sang dosen, Prof. Wegie, kekayaan itu ada batasnya. Jangan coba melewati batasnya. Saat engkau melewati batasnya, maka yang ada adalah petaka. Beliau memberikan contoh, Gayus Tambunan (pegawai golongan III yang korup di kantor Pajak). Demikian pula dengan Khadafy, Melinda Dee, serta tentunya banyak nama lain. Mantan Presiden bangsa ini, Soeharto, patutlah diperhitungkan sebagai orang yang berbahagia. Berkuasa selama puluhan tahun sebagai presiden, berkarya demi bangsa, memiliki kecukupan bahkan berkelimpahan. Sebagai seorang presiden/ mantan presiden, beliau pantas dianggap memperoleh kebahagiaan yang besar. Namun sebagai seorang Ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi istrinya, dapatkah kebahagiaan didapatkan saat harus melihat istri sendiri meninggal tertembak pistol anak sendiri?

Robin Sharma menuliskan dalam bukunya ada 8 jenis kekayaan.
  1. Kekayaan pribadi (inner wealth)
    • Ketenangan, kedamaian hati. Banyak orang kaya yang tidak memiliki ketenangan ini. Hatinya selalu gelisah, tidak pernah puas, dan selalu merasa terancam. Saya teringat dengan sinetron yang menceritakan percakapan seorang anak majikan dengan anak pembantunya yang kebetulan tinggal bersamanya, "Kamu beruntung. Sekalipun kamu miskin, tetapi kamu punya orangtua yang selalu bisa bermain bersamamu. Saya memang dikasih banyak uang tetapi orangtuaku tak pernah ada waktu untukku."
  2. Kekayaan fisik
    •  Tidak sedikit yang mengumpulkan kekayaan, prestasi dan prestis, ambisi dan lain sebagainya dengan mengorbankan fisiknya. Setelah itu, semua kekayaan, prestis, prestasi dan ambisinya pupus dan harus dikorbankan untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Maka kekayaan secara ekonomi belum ada artinya jika fisik kita sakit-sakitan. Pusing, tidak bisa tidur lelap, terbangun di tengah malam, sakit maag, kemudian berkembang menjadi insomnia, diabetes, stroke dan jantung akut, tidak terbatas hanya untuk orang yang tak punya uang.
  3. Kekayaan keluarga dan sosial
    • Tidak ada artinya menjadi kaya tatkala keluarga berantakan. Apalah artinya menjadi kaya jika hubungan keluarga penuh intrik, pertengkaran dan rusak. Anak-anak masuk penjara, serta perasaan terancam karena banyaknya musuh.
  4. Kekayaan karier
    • Banyak yang bekerja menghasilkan banyak uang, namun sesungguhnya dia tidak menyukai pekerjaan yang digelutinya. Pekerjaan itu baginya tidak memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Saat ditanya secara jujur, sebenarnya mereka bosan dan benci dengan pekerjaannya.
  5. Kekayaan ekonomi
    • Kekayaan ini yang paling banyak dipahami. Uang sering menjadi ukurannya. Walau uang bukanlah segalanya, setiap manusia juga membutuhhkan uang untuk memenuhi banyak hal yang dibutuhkan. Sayangnya, banyak orang yang melihat kekayaan inilah satu-satunya ukuran kekayaan dan ini yang menyesatkan.
  6. Kekayaan hubungan dan pergaulan
    • Facebook, twitter, BBM group, YM, dan berbagai media sosial lainnya di dunia maya atau bahkan di dunia nyata merupakan sebuah pertanda bahwa manusia butuh interaksi. Persahabatan dan hubungan adalah kekayaan yang penting. Selama kita memiliki jaringan yang bisa mendukung kita, maka kita akan sulit terpuruk. Dalam hal inilah bidang praktis marketing menemukan permata-permata baru.
  7. Kekayaan pengalaman
    • Banyak yang kaya secara ekonomi namun miskin dalam pengalaman. Mereka tidak pernah ke mana-mana karena takut, banyak dibatasi untuk mendapatkan pengalaman karena berbagai ketakutan dan kekhawatiran.
  8. Kekayaan pengaruh sekitarnya
    • Tidak sedikit orang kaya yang menikmati kekayaan untuk diri sendiri dan keluarganya saja. Orang-orang sekitarnya tidak merasakan dampak positif dari kekayaan yang mereka miliki. Saat orang kaya ini meninggal, tidak banyak orang di sekitarnya yang merasa kehilangan. Tidak terlalu ditangisi, sebab tidak pula menjadi berkat bagi orang lain.
Kekayaan adalah sesuatu yang tidak datang begitu saja. Itu adalah hasil kerja keras, semangat pantang mundur, dan ketekunan dalam bertindak. Yang merasa belum kaya melihat bahwa setelah kaya, pasti akan bahagia. Kaya selalu diidentikkan dengan kebahagiaan, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Bahkan acap kali, kekayaan justru tidak mendatangkan kebahagiaan. Sudahkah Anda memiliki kekayaan yang membahagiakan?



Salam secangkir kopi!

1 komentar: