Kamis, 09 Juni 2011

Secangkir Kopi Bagi Bangsa yang Kuat

Asap mengepul di Plaza Semanggi pada Rabu (8/6-2011) itu mengingatkanku pada kata kunci: "bencana." Di halaman depan pada pagi itu, para petugas pemadam kebakaran berjaga dan bertugas cepat, lincah dan tepat, dan para petugas mal itu berdiri memandangi asap itu dari bawah.

Bencana, merupakan bahasa yang sudah mulai berafiliasi dengan istilah "NGO", "bantuan", dan mungkin kata yang lainnya. Pada kenyataannya, bencana kerap terjadi di Indonesia. Yang paling melekat pada ingatan orang Indonesia tentang bencana adalah bencana alam atau mungkin krisis ekonomi pada tahun 1998. Entah apa yang membuat bangsa ini cukup sering mendapatkan bencana. Gempa dan tsunami di Aceh, Mentawai, gunung meletus, hama ulat bulu yang tak terkendali penyebarannya, banjir, dan banyak lagi. Hal ini menjadi kajian yang dianggap penting oleh negara, sehingga tak heran jika Universitas Pertahanan Indonesia menjadikan Prodi Manajemen Bencana sebagai salah satu jurusan pilihan dalam program beasiswanya yang bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Melihat begitu seringnya bangsa mendapatkan bencana, negara pantas menjadi sebuah negara yang experienced dan  benar-benar expert dalam penanggulangan bencana. Dengan demikian, bencana telah menjadi kopi resiliensi bangsa ini!:-)

Amat miris memperhatikan kenyataan berbeda dengan yang seharusnya. Masalah sekarang bukan lagi tentang ketidakpedulian terhadap lingkungan. Lebih dari itu, kesiapan menghadapi bencana pun hampir tak tampak. Hampir pasti bahwa tidak semua rumah memiliki senter, lampu minyak, dan lain sebagainya untuk kesiapan menghadapi bencana. Lahirlah bangsa yang banyak menuntut PLN untuk berkinerja melebihi kapasitasnya, bangsa yang menuntut pembangunan mal di mana-mana, bangsa yang hampir tidak puas dengan jaringan sinyal telepon, dan bangsa yang hampir lupa dengan masa lalunya.


Negara Dilemahkan?

Lantas apakah negara ini telah menjadi negara yang tak terlawan? Masihkah gemuruh proklamasi dan semangat kemerdekaan tahun 1945 itu masih bergaung di gaya hidup setiap masyarakatnya?

Sedikit meleset dari yang seharusnya. Tawaran modernisme dan postmodernisme terlalu menggiurkan. Boro-boro memikirkan negara dan impian proklamasi, kesempatan yang ada digunakan untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan diri. Sejenak melupakan bangsa, sejenak mengingat bangsa dan berlagak pahlawan, demikianlah fenomena yang ada. Jika saja dulu penjajah telah melemahkan bangsa, maka sekarang orang Indonesia sendiri yang melemahkan bangsa ini.

Pendidikan yang dulu diteriakkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Budi Utomo dan lain-lain sudah seharusnya membatin dalam setiap generasi. Kenyataannya adalah biaya pendidikan mahal, fasilitas pendidikan apa adanya, bahkan lulusannya pun kurang dihargai sebagaimana mestinya. Dosen-dosen yang telah bergulat dengan sungguh-sungguh belajar di luar negeri untuk membangun bangsanya seakan diabaikan, dan tak sebagaimana mestinya diperlakukan.

Kesiagaan bencana menjadi hal yang hampir saya pertanyakan. Apakah rakyat benar-benar sudah siap menghadapi bencana karena seringnya bencana, sehingga persiapan menghadapi bencana pun tak tampak? Atau apakah rakyat sudah semakin kuat sekarang ini sehingga tak perlu lagi menggunakan alat bantu? Pada kenyataannya, masih saja tidak sedikit yang menjadi korban dalam bencana yang terjadi. Sungguh bangsa dilemahkan oleh rakyatnya sendiri.


Bencana Susulan

Bencana, bukan saja terpasung pada istilah bencana alam. Korupsi yang terungkap di berbagai departemen dan kementerian, korupsi diperusahaan-perusahaan swasta, praktik suap dan pencucian uang bukan lagi masalah baru. Bahkan seakan susul menyusul, informasi tentang hal itu silih berganti muncul di televisi. Sulit menemukan orang yang tidak materialistis di kota besar seperti Jakarta. Tidak mudah mencari nasionalis sejati yang bercita-cita mulia dan tulus untuk bangsanya. Bahkan yang ada justru bom diledakkan oleh rakyatnya sendiri yang sampai sekarang entah apa motifnya. Semuanya pun menelan korban.

Semua peristiwa di atas hanyalah cuplikan kecil keadaan yang terjadi. Bencana, kini perlu diakui telah terjadi setiap hari di negeri ini. Bencana ekonomi, bencana moral, bencana politik, dan berbagai bencana lainnya datang silih berganti. Hasilnya, rakyat miskin tetap miskin, bahkan menjadi buas dan garang. Yang kaya semakin kaya, bahkan menjadi lupa bahwa dia adalah orang Indonesia yang bersahaja. Inilah cerminan masa kini sebuah bangsa yang dulu pernah kuat dan mengklaim diri sebagai bangsa yang merdeka dan terhitung berani, terlebih pada masa Bung Karno sebagai presidennya.
Sungguhkah bangsa ini negara tak terlawan?





Salam secangkir kopi...
Toast dari semanggi!
 9 Juni 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar