Rabu, 15 Februari 2012

HARUSKAH ADA INDONESIA?

Indonesia. Ya, Indonesia. Hampir semua memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara (khususnya bila teringat dengan pidato Bung Karno pada 1945). Sebuah terminologi klasik yang artinya adalah "tanah" dan "air" (Indo dan Nesos). Tidak banyak yang tahu bahwa bahkan nama negara ini bukanlah buatan pribumi, tapi seorang berkebangsaan Inggris karena melihat gugusan pulau di Indonesia yang teramat banyak. Tidak naif jika menyebutkan bahwa Indonesia, Negara Indonesia, terbentuk bahkan bukan dari dewa, bukan oleh Soekarno dan bukan oleh Jawaharlal Nehru serta tokoh-tokoh termahsyur dunia saat itu.

Marilah menoleh sejenak ke Indonesia yang bukan Indonesia. Indonesia yang bukan sebuah kesatuan, tetapi gabungan dari suku-suku dan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Mataram, Kerajaan Sriwijaya, dan lain sebagainya. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan yang berlokasi di Indonesia. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian dijajah oleh negara-negara yang lebih kuat seperti Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol, dan Jepang. Mari hidup dalam era itu! Kerajaan yang satu sedang berperang dengan kerajaaan yang lain, namun tidak sampai di situ, kerajaan berperang pula melawan bangsa penjajah. Rakyat pun saling berperang merebut lahan, merebut kekuasaan, dan merebut perhatian para raja.

Seharusnya cuplikan tersebut ada di masa lalu. Amat disayangkan, keadaan sekarang tidak jauh berbeda dengan dulu. Setiap individu dalam negara berperang untuk mencapai keberhasilan, kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Bahkan setiap komunitas seakan-akan "berperang" untuk mencapai kekuasaan--walau tidak dapat dihindari, kekuasaan berjumlah sangat sedikit. Sebab jika semua menjadi penguasa, lantas siapa yang menjadi dikuasai? Maka di mana ada penguasa, maka ada yang dikuasai. Di mana ada pemenang, di sana ada yang kalah. Penggusuran rumah-rumah penduduk di metropolitan untuk dijadikan apartemen dibalas dengan aksi jahit mulut. Penegakan hukum yang lemah dibalas dengan aksi bakar diri. Keadaan ini dapat menggiring pemikiran moralitas, mengapa harus ada kekuasaan jika kekuasaan justru menimbulkan perang yang seharusnya tidak ada? Mengapa harus menjadi Indonesia jika tokh keadaannya sama seperti dulu? Filsafat kiranya dapat menjawabnya melalui logika negatif dengan mempertanyakan: bagaimana jika sebuah negara tidak ada?

Pertanyaan tersebut mengingatkan kembali pada tiga tokoh besar filsafat politik: Thomas Hobbes (1588-1679), John  Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Pada pemikiran ketiga filsuf inilah tulisan ini akan mencoba menemukan jawaban. Sebab "Dari apa yang ada, kita tidak dapat menyimpulkan apa yang seharusnya ada" (D. Hume). Bukan berarti bahwa karena negara ada, maka seharusnya sebuah negara itu ada. Mari mengandaikan sebuah negara tidak ada, karena itu sangat mungkin.

THOMAS HOBBES
Kita mulai dari pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes meyakini bahwa sangat mungkin untuk membentuk sebuah non-negara. Itulah yang disebutnya sebagai keadaan asali. Hobbes mendasari pemikirannya tentang keadaan asali berawal dari pengertiannya tentang teori gerak (oleh Galileo Galilei). Sebelum Galileo, pertanyaan yang kerap didiskusikan adalah: "mengapa benda tetap bergerak?" Dari sanalah Galileo menemukan bahwa pertanyaan tersebut kurang tepat. Seharusnya adalah mempertanyakan mengapa sebuah benda bergerak dan mengapa berubah arah saat bergerak. Berdasarkan pengenalan Hobbes terhadap Galileo melalui buku dan pengenalan langsungnya, Hobbes menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya bergerak. Tidak akan terhenti kecuali jika ada yang menghentikannya (apakah kematian, atau manusia lain yang melarangnya).

Gerak manusia bagi Hobbes diisi oleh sebuah naluri, sensasi, hasrat, nafsu, imajinasi, pikiran, bahasa, dan lain sebagainya. Maka benar jika Hobbes yang dikenal sebagai filsuf politik ini sebenarnya mengawali pengertiannya tentang politik dari filsafat manusia. Hobbes menyimpulkan manusia akan bergerak terus menerus untuk mencapai hasratnya, yakni keberhasilan, kesuksesan, dan lain sebagainya. Sayangnya, objek-objek hasrat itu langka, sehingga pencapaian hasrat sangat kompetitif dan tidak jarang menimbulkan konflik karena setiap manusia selalu kuatir kalau hasratnya direbut. Manusia penuh ketakutan. Penuh hasrat. Siapapun yang menghalangi hasratnya akan disingkirkan, sebab jika tidak demikian maka hasratnya tidak terpenuhi. Bahkan kematian pun menjadi hal yang paling ditakutkan. Itulah sebabnya Hobbes mengeluarkan pernyataannya yang amat dikenal: HOMO HOMINI LUPUS EST.

Perlu diingat, Hobbes sedang menceritakan keadaan asali. Keadaan yang tidak ada hukum, tidak ada kekuasaan, dan tidak ada moralitas (karena moralitas hanya ada jika ada baik dan benar, ada hukum).  Namun bagi Hobbes, manusia dalam keadaan asali memiliki hukum alami (daya nalar). Daya nalar tersebut kemudian mendorong manusia untuk mencari cara memenuhi hasratnya tanpa merasa ketakutan (ketakutan diperangi dan ketakutan dibunuh manusia lainnya). Dengan itu, maka dibentuklah sebuah perjanjian bersama: 1) Tidak akan memerangi, jika tidak diperangi. 2) Setiap orang menyerahkan haknya untuk membunuh, selama orang lain pun melakukan hal yang sama. 3) Saling menepati janji. Tampaknya keadaan menjadi lebih baik, karena manusia akan hidup dengan lebih tenang. Namun siapa yang akan menjamin agar perjanjian tersebut tidak dilanggar? Hobbes memberikan jawaban: LEVIATHAN. Leviathan adalah metafora dalam kitab suci Kristiani dan Yahudi melukiskan buaya laut yang perkasa dan ditakuti (sekaligus Hobbes menjadikan itu menjadi judul bukunya yang amat mahsyur: LEVIATHAN). Manusia yang sama-sama ketakutan dan terancam membentuk sebuah Leviathan, kekuatan berdaulat--dan inilah yang disebut negara--fungsinya adalah untuk melindungi manusia. Jika negara adalah bentukan bersama, maka absurd jika manusia secara logis menolak dirinya sendiri.


JOHN LOCKE (1632-1704)
Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa keadaan asali itu ada. Kondisi asali bagi Locke adalah kondisi kebebasan, kesetaraan, dan setiap orang terikat oleh "hukum alami." Raja/ Ratu bukanlah utusan Tuhan, karena semuanya bebas dan setara. Namun apakah kebebasan tersebut tidak akan menimbulkan maslaah baru semisal bebas membunuh, bebas menyakiti dan bebas melakukan penyiksaan demi mencapai kebebasannya? Locke menegaskan bahwa kebebasan hanya akan menjadi teduh jika ada hukum alami. Hukum alamilah yang melarang seseorang untuk membunuh, menyakiti, dan melukai orang lain yang juga mencari kebebasan.

Kondisi asali menurut Locke tampaknya lebih adem, serta lebih menawarkan kondisi yang jauh lebih baik. Tidak ada pertentangan, seluruhnya damai. Jika demikian mengapa harus ada sebuah negara? Locke menyatakan bahwa negara berguna sebagai penjamin pelaksanaan "hukum alami." Selain itu, sejak manusia mengenal UANG, setiap manusia kemudian berebut lahan, hasil bumi, dan lain sebagainya karena semua memiliki nilai tukar. Di sinilah letak kekacauan kondisi asali menurut Locke. Maka diperlukan sebuah kekuasaan yang lebih kuat untuk menjaga dan melindungi hak milik pribadi. Sehingga bagi Locke, "tugas pokok negara adalah melincungi hak milik pribadi" (Second Treatise of Government, hlm. 63).

JEAN JACQUES ROUSSEAU (1712-1778)
Berbeda dengan Hobbes dan Locke, Rousseau justru tidak menganggap bahwa kondisi asali adalah seperti apa yang disampaikan Hobbes dan Locke. Sebab bagaimana mungkin membandingkan keadaan modern dengan keadaan di hutan belantara?  Namun demikian, Rousseau meyakini bahwa tidak ada "keadilan" dalam kondisi asali. Manusia dalam kondisi asali tidak melukai orang lain adalah karena manusia memiliki naluri alami untuk tidak melukai. Manusia sesungguhnya hidup soliter. Tidak ada yang perlu diperebutkan dan dipertentangkan, sebab manusia hanya membutuhkan TIDUR, MAKAN, dan PEMUASAN SEKS. Mungkin manusia membutuhkan orang lain untuk menolong saat sakit, namun alam dalam kondisi asali justru sebenarnya membuat manusia tidak mudah sakit.

Manusia dalam kondisi asali menurut Rousseau tidak menghasrati kekuasaan. Manusia yang dilengkapi free-will dan kemampuan untuk peningkatan kapasitas diri (inovasi, namun bukan seperti Hobbes yang menganggap inovasi adalah lewat kompetisi) kemudian membawa manusia kepada pengertian tentang kerjasama. Bekerjasama untuk berburu membuat manusia lebih cepat mendapatkan hewan buruannya, sehingga manusia bisa memiliki waktu luang, lebih cepat tidur, lebih cepat makan, dan dapat memuaskan seks. Dari situlah muncul barang-barang luxury untuk mengisi waktu luang manusia. Dari titik inilah manusia yang satu kemudian melirik manusia lainnya, muncullah rasa iri, rasa terhormat dan terhina, sehingga kondisi asali berubah menjadi pertengkaran. Orang-orang kayalah yang kemudian membuat aturan tentang keadilan untuk menjamin keadaan tetap aman. Dengan demikian, negara bagi Rousseau adalah bentukan orang-orang yang "berada di atas angin" yang berguna untuk menjamin tidak terjadinya perang dan pertengkaran.


Pendekatan logika negatif dari ketiga filsuf tersebut nyatanya telah memberikan sebuah pemahaman bagaimana sebuah negara menjadi penting. Indonesia menjadi penting untuk melindungi warganya, membuat warganya tidak diserang, melindungi harta milik warga, dan menjamin tidak adanya perang antar manusia. Pemberitaan media tentang penderitaan rakyat marginal, harta milik warga yang dikorupsi, dijarah, perang suku, perang agama, dan perang ide dalam panggung politik nasional--jika semuanya ini tetap ada di Indonesia, maka Indonesia yang bagaimanakah seharusnya ada?


Salam secangkir kopi.
Toast dari Semanggi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar