Rabu, 06 Juni 2012

Budaya Bangsa VS Budaya Gaga

Saya memang peragu menuliskan pemikiran saya di blog. Meski saya menyadari bahwa acap kali gagasan kritis saya berguna. Namun persoalan waktu adalah persoalan yang ternyata tidak terlalu besar:-) LAMBAT karena ada yang ditunggu, CEPAT karena ada yang hendak dikejar.

Lady GAGAL memang tidak jadi konser di Indonesia. Pihak manajemennya membatalkan rencana konsernya. FPI mengadakan pesta syukuran karena konser tersebut batal, dan ratusan penggemar seni Gaga sedih, namun tak sedikit pula dari mereka akhirnya menyaksikan konser sang Gaga di Singapura. Kepolisian pun lebih lega karena potensi kericuhan berkurang di Indonesia.

Terdapat berbagai situasi yang menarik untuk disorot dari kacamata kritis.

Pertama, BUDAYA. Ternyata, budaya sebuah negara yang berdaulat bisa dengan mudahnya akan dirubah oleh budaya seorang gadis berusia 26 tahun, bukan nasionalis, bukan pemikir, maupun politikus--melainkan hanya seorang penyanyi. Hal-hal seperti ini tampaknya semakin sering terjadi. Penyanyi rumahan mengorbit seketika menjadi penyanyi papan atas; pelantun lagu Korea yang liriknya pun tak kita pahami dengan mudahnya mengubah gaya hidup remaja bahkan dewasa kini. Memang bukan mustahil jika budaya sebuah bangsa dapat dipengaruhi dengan kuat oleh seorang penyanyi. Namun itu hanya sekarang terjadi. Dulu, perubahan-perubahan besar seperti ini dilakukan oleh Karl Marx, Marcuse, Horkheimer, Adam Smith, Nelson Mandela, dan Soekarno. Hal lain yang patut dipikirkan adalah, setelah seminggu Lady Gaga gagal konser di Indonesia, apakah budaya bangsa ini masih baik? Apakah budaya bangsa itu? Sudah lama budaya bangsa ini tak dirumuskan.

Kedua, DUNIA TANPA BATAS. Tampaknya mudah bagi Gaga mengorbitkan namanya ke seluruh dunia. Saya teringat dengan Alexander the Great yang namanya pun meroket saat berusia semuda Lady Gaga. Tentu banyak juga yang sekelas Lady Gaga, seperti Justin Bieber, Connie Talbot, dan Michael Jackson. Begitu konsernya gagal diadakan di Senayan, dengan mudahnya para penggemarnya segera nongkrong di Singapura untuk menyaksikan konser akbar tersebut. Singapura memang negara yang sangat terbuka. Sejarah bangsanya menunjukkan bahwa jika mereka menjadi negara yang tertutup, maka tidak akan ada kemajuan. Namun di sisi lain, perbatasan negara, misalnya perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan dan Kepri, serta perbatasan Indonesia dengan Singapura di Kepri masih terus dalam situasi panas. Caplok mencaplok lahan, hingga penyeludupan-penyeludupan. Indonesia mengklaim bahwa batas bagian dalam wilayahnya adalah MILIK negara. Kenyataannya, rakyat perbatasan tak selamanya punya tanah sendiri. Tidak pun memiliki laut maupun harta lainnya. Kepemilikan tanah dan air di perbatasan sudah jelas-jelas dimiliki oleh segelintir orang kaya, para investor. Lantas, masih relevankah batas-batas antar negara jika pada kenyataannya dunia sedang menuju pada kondisi tanpa batas? Apakah makna sebuah batas? What is border?

Ketiga, TATA HIDUP BERSAMA. John Locke justru menegaskan bahwa tata hidup bersama itu penting. Setiap orang harus meletakkan haknya untuk menjamin langgengnya kehidupan bersama. Sebagian rakyat berpesta, sebagian rakyat menangis. Kaum mayoritas menekan kaum minoritas. Kaum minoritas menolak kaum mayoritas. Di manakah sang Leviathan yang berjanji menjaga perjanjian rakyatnya? Maka masihkah relevan sebuah tata hidup bersama dalam kondisi seperti ini?



Salam secangkir kopi!
Toast dari STF Driyarkara