Selasa, 21 Februari 2012

SISTEM FILSAFAT INDIA

Sistem filsafat India. Ya, tulisan ini akan menguraikan secara ringkas sistem filsafat India. Sistem filsafat India terdiri dari enam, sehingga dikenal pula dengan nama shad dharsana yang merupakan kristalisasi pengetahuan pada masa Weda, Brahmana, Upanishad, dan Purana. Enam sistem filsafat didirikan oleh para Rhisis berdasarkan kontempelasi yang sungguh-sungguh dengan melihat realitas yang sama. Enam sistem filsafat ini adalah jalan menuju pencerahan sejati; bukan tujuan itu sendiri, namun sebuah jalan menuju tujuan yakni Realitas yang absolut.
Enam sistem filsafat dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar (sehingga terdapat tiga pasang) antara lain: Nyaya-Vaisheshika, Samkhya-Yoga, dan Mimamsa-Vedanta. Setiap pasangan saling melengkapi. Nyaya-Vaisheshika adalah pasangan sistem filsafat yang menjadikan argumen, logika, dan kemampuan menganalisis pengalaman sebagai tema sentralnya. Mencuplik Nyaya-Vaisheshika, dapat mengingatkan kita pada Plato (yang sama mirip dengan apa yang ada pada Nyaya-Vaisheshika) tentang “substansi” dan “kategori” serta “bagian inteligibel” dan “bagian “sensibel.” Bagi Plato, pengetahuan dapat diperoleh dengan jalan yang  “sensibel”  (yaitu ilusi, opini, dan penginderaan); dan jalan yang inteligibel (dengan pengetahuan, intelek, dan sains). Pada Nyaya-Vaisheshika pun demikian. Manusia memiliki kemampuan sensibel dan inteligibel untuk melakukan “penyimpulan” atas hubungan “sebab-akibat” (dan sebaliknya), dan penyimpulan atas absrtak persepsi. Ciri yang menarik dalam kedua sistem yang berpasangan ini adalah teori subatomis yang menerima adanya empat unsur dasar yaitu tanah, air, api, dan udara.
Pasangan yang kedua adalah Sankhya-Yoga. Sankhya berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah “renungan.” Melalui Sankhya, fakta filsafat tertinggi dapat dicapai dengan pengetahuan. Namun seperti pasangan sistem filsafat yang lain, Sankhya pun memiliki keterkaitan dengan Yoga. Sankhya dapat dicapai dengan baik jika melakukan praktik Yoga (dengan delapan aspek utamanya yang mencakup: tidak melukai, kesucian, berpuas diri, studi, berserah pada Tuhan, postur tubuh, pernafasan, pengendalian indera, konsentrasi, meditasi, dan ekstasis). Selain itu, Yoga adalah jalan menuju “pembebasan.” Jika demikian, maka tidak berlebihan jika Yoga diklaim sebagai pendamai seluruh sistem filsafat India—sebab dengan mempraktikkan Yoga, pengetahuan dan pencapaian tujuan memahami realitas melalui lima sistem filsafat yang lainnya dapat dicapai. Bagaimanapun kompleksitas pengertian tentang Yoga, Yoga dapat mencapai berbagai tujuan manusia seperti: penyatuan (Samadhi), transendensi diri, disiplin diri, dan berbagai tujuan pemurnian diri lainnya (tentunya dengan tahapan-tahapan yang benar. Mendalami sistem filsafat India, pengetahuan tertinggi bukan saja “ada” tetapi “sangat mungkin” dipahami dengan pengetahuan manusia.

Rujukan: Ali, M. 2010. Filsafat India, Sebuah Pengantar Hinduisme dan Budhisme. Tangerang: Sanggar Luxor. Hlm. 29-88.

Kamis, 16 Februari 2012

HINDU DAN FILSAFAT TIMUR: SEBUAH PENGANTAR

Sebuah agama yang bukan agama, tetapi kumpulan agama-agama. Sangat liberal. Cara hidup, filsafat yang sangat mendalam, dan menjunjung hukum abadi (Sanathana Dharma). Agama dengan ribuan lembar teks suci. Secuplik penjelasan pada empat kalimat awal tersebut sebenarnya belum cukup menjelaskan tentang Hindu yang begitu luas pengertiannya. Ya, Hindu adalah sebuah agama yang merupakan kumpulan agama-agama, karena Hindu merupakan sintesis dari agama para Aryan yang masuk ke India sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Agama para Aryan merupakan agama yang meyakini pemujaan terhadap para dewa yang dianggap merupakan lambang kekuatan-kekuatan alam. Hindu disebut liberal karena setiap orang dapat menjadi nabi, bahkan menjadi dewa.
Jika para Aryan yang mempengaruhi munculnya agama Hindu, bukan berarti perintisnya adalah para Aryan. Sebab Hinduisme tidak memiliki pendiri (seperti agama-agama pada umumnya), tidak memiliki badan perumus dogma, dan lebih tepat jika disebutkan bahwa “Hinduisme merupakan gabungan berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada di balik kehidupan” (Ali, 2010). Maka tidak berlebihan jika Hindu dikategorikan unik.
Teks suci Hinduisme dapat dibagi menjadi dua bagian besar yakni Sruti (revealed) dan Smriti (remembered, tradition). Teks-teks suci dalam Sruti berisi pujian (Rig-Veda), music (Sama-Veda), ritual-ritual kurban (Yajur-Veda), dan jimat atau mantra (Atharva-Veda).  Sementara teks-teks dalam Smriti adalah itihasa (terdiri dari Ramayana, Mahabharata, Puranas (yang terdiri dari vaishnava puranas, shaiva puranas, Brahma Puranas, dan UpaPuranas), dan Dharmashastras. Weda, kitab suci yang dikenal sebagai kitab suci Hindu merupakan sebuah sintesis dari kitab-kitab para Aryan dari utara dan selatan. Weda pun berasal dari kata yang memiliki arti widya yang berguna menuntun manusia dari awidya (tidak berpengetahuan) menjadi widya (berpengetahuan). Dengan latar tersebut, Hindu hampir tidak dapat dipisahkan dari enam sistem filsafat India. Filsafat adalah Hindu, dan Hindu adalah filsafat.

Berdasarkan gambaran tersebut, melirik filsafat timur dengan mengayunkan langkah dari Hindu tidaklah berlebihan, bahkan menarik. Hindu, sebuah tawaran filsafat yang berbeda jauh dengan keketatan filsafat barat, sebuah khazanah baru yang akan melengkapi pengertian tentang filsafat secara utuh. Enam sistem filsafat India disebut shad darshana. Dharsana berarti pandangan kontemplatif, spiritual, dan persepsi langsung (Ali, 2010). Enam sistem filsafat India disusun oleh para Rhisis. Sistem Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa, dan Vedanta. Setiap filsafat didahului dengan analisis unsur-unsur yang membangun eksistensi dan pengalaman manusia, serta merumuskan hubungan Roh Absolut dan Alam (Ali, 2010). Tampak sangat liberal, cair dan elastis, namun justru dengan sistem-sistem filsafat inilah filsafat India akan kaya makna. Sanathana Dharma!
Rujukan: Ali, M. 2010. Filsafat India, Sebuah Pengantar Hinduisme dan Budhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.

Rabu, 15 Februari 2012

HARUSKAH ADA INDONESIA?

Indonesia. Ya, Indonesia. Hampir semua memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara (khususnya bila teringat dengan pidato Bung Karno pada 1945). Sebuah terminologi klasik yang artinya adalah "tanah" dan "air" (Indo dan Nesos). Tidak banyak yang tahu bahwa bahkan nama negara ini bukanlah buatan pribumi, tapi seorang berkebangsaan Inggris karena melihat gugusan pulau di Indonesia yang teramat banyak. Tidak naif jika menyebutkan bahwa Indonesia, Negara Indonesia, terbentuk bahkan bukan dari dewa, bukan oleh Soekarno dan bukan oleh Jawaharlal Nehru serta tokoh-tokoh termahsyur dunia saat itu.

Marilah menoleh sejenak ke Indonesia yang bukan Indonesia. Indonesia yang bukan sebuah kesatuan, tetapi gabungan dari suku-suku dan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Mataram, Kerajaan Sriwijaya, dan lain sebagainya. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan yang berlokasi di Indonesia. Suku-suku dan kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian dijajah oleh negara-negara yang lebih kuat seperti Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol, dan Jepang. Mari hidup dalam era itu! Kerajaan yang satu sedang berperang dengan kerajaaan yang lain, namun tidak sampai di situ, kerajaan berperang pula melawan bangsa penjajah. Rakyat pun saling berperang merebut lahan, merebut kekuasaan, dan merebut perhatian para raja.

Seharusnya cuplikan tersebut ada di masa lalu. Amat disayangkan, keadaan sekarang tidak jauh berbeda dengan dulu. Setiap individu dalam negara berperang untuk mencapai keberhasilan, kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Bahkan setiap komunitas seakan-akan "berperang" untuk mencapai kekuasaan--walau tidak dapat dihindari, kekuasaan berjumlah sangat sedikit. Sebab jika semua menjadi penguasa, lantas siapa yang menjadi dikuasai? Maka di mana ada penguasa, maka ada yang dikuasai. Di mana ada pemenang, di sana ada yang kalah. Penggusuran rumah-rumah penduduk di metropolitan untuk dijadikan apartemen dibalas dengan aksi jahit mulut. Penegakan hukum yang lemah dibalas dengan aksi bakar diri. Keadaan ini dapat menggiring pemikiran moralitas, mengapa harus ada kekuasaan jika kekuasaan justru menimbulkan perang yang seharusnya tidak ada? Mengapa harus menjadi Indonesia jika tokh keadaannya sama seperti dulu? Filsafat kiranya dapat menjawabnya melalui logika negatif dengan mempertanyakan: bagaimana jika sebuah negara tidak ada?

Pertanyaan tersebut mengingatkan kembali pada tiga tokoh besar filsafat politik: Thomas Hobbes (1588-1679), John  Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Pada pemikiran ketiga filsuf inilah tulisan ini akan mencoba menemukan jawaban. Sebab "Dari apa yang ada, kita tidak dapat menyimpulkan apa yang seharusnya ada" (D. Hume). Bukan berarti bahwa karena negara ada, maka seharusnya sebuah negara itu ada. Mari mengandaikan sebuah negara tidak ada, karena itu sangat mungkin.

THOMAS HOBBES
Kita mulai dari pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes meyakini bahwa sangat mungkin untuk membentuk sebuah non-negara. Itulah yang disebutnya sebagai keadaan asali. Hobbes mendasari pemikirannya tentang keadaan asali berawal dari pengertiannya tentang teori gerak (oleh Galileo Galilei). Sebelum Galileo, pertanyaan yang kerap didiskusikan adalah: "mengapa benda tetap bergerak?" Dari sanalah Galileo menemukan bahwa pertanyaan tersebut kurang tepat. Seharusnya adalah mempertanyakan mengapa sebuah benda bergerak dan mengapa berubah arah saat bergerak. Berdasarkan pengenalan Hobbes terhadap Galileo melalui buku dan pengenalan langsungnya, Hobbes menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya bergerak. Tidak akan terhenti kecuali jika ada yang menghentikannya (apakah kematian, atau manusia lain yang melarangnya).

Gerak manusia bagi Hobbes diisi oleh sebuah naluri, sensasi, hasrat, nafsu, imajinasi, pikiran, bahasa, dan lain sebagainya. Maka benar jika Hobbes yang dikenal sebagai filsuf politik ini sebenarnya mengawali pengertiannya tentang politik dari filsafat manusia. Hobbes menyimpulkan manusia akan bergerak terus menerus untuk mencapai hasratnya, yakni keberhasilan, kesuksesan, dan lain sebagainya. Sayangnya, objek-objek hasrat itu langka, sehingga pencapaian hasrat sangat kompetitif dan tidak jarang menimbulkan konflik karena setiap manusia selalu kuatir kalau hasratnya direbut. Manusia penuh ketakutan. Penuh hasrat. Siapapun yang menghalangi hasratnya akan disingkirkan, sebab jika tidak demikian maka hasratnya tidak terpenuhi. Bahkan kematian pun menjadi hal yang paling ditakutkan. Itulah sebabnya Hobbes mengeluarkan pernyataannya yang amat dikenal: HOMO HOMINI LUPUS EST.

Perlu diingat, Hobbes sedang menceritakan keadaan asali. Keadaan yang tidak ada hukum, tidak ada kekuasaan, dan tidak ada moralitas (karena moralitas hanya ada jika ada baik dan benar, ada hukum).  Namun bagi Hobbes, manusia dalam keadaan asali memiliki hukum alami (daya nalar). Daya nalar tersebut kemudian mendorong manusia untuk mencari cara memenuhi hasratnya tanpa merasa ketakutan (ketakutan diperangi dan ketakutan dibunuh manusia lainnya). Dengan itu, maka dibentuklah sebuah perjanjian bersama: 1) Tidak akan memerangi, jika tidak diperangi. 2) Setiap orang menyerahkan haknya untuk membunuh, selama orang lain pun melakukan hal yang sama. 3) Saling menepati janji. Tampaknya keadaan menjadi lebih baik, karena manusia akan hidup dengan lebih tenang. Namun siapa yang akan menjamin agar perjanjian tersebut tidak dilanggar? Hobbes memberikan jawaban: LEVIATHAN. Leviathan adalah metafora dalam kitab suci Kristiani dan Yahudi melukiskan buaya laut yang perkasa dan ditakuti (sekaligus Hobbes menjadikan itu menjadi judul bukunya yang amat mahsyur: LEVIATHAN). Manusia yang sama-sama ketakutan dan terancam membentuk sebuah Leviathan, kekuatan berdaulat--dan inilah yang disebut negara--fungsinya adalah untuk melindungi manusia. Jika negara adalah bentukan bersama, maka absurd jika manusia secara logis menolak dirinya sendiri.


JOHN LOCKE (1632-1704)
Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa keadaan asali itu ada. Kondisi asali bagi Locke adalah kondisi kebebasan, kesetaraan, dan setiap orang terikat oleh "hukum alami." Raja/ Ratu bukanlah utusan Tuhan, karena semuanya bebas dan setara. Namun apakah kebebasan tersebut tidak akan menimbulkan maslaah baru semisal bebas membunuh, bebas menyakiti dan bebas melakukan penyiksaan demi mencapai kebebasannya? Locke menegaskan bahwa kebebasan hanya akan menjadi teduh jika ada hukum alami. Hukum alamilah yang melarang seseorang untuk membunuh, menyakiti, dan melukai orang lain yang juga mencari kebebasan.

Kondisi asali menurut Locke tampaknya lebih adem, serta lebih menawarkan kondisi yang jauh lebih baik. Tidak ada pertentangan, seluruhnya damai. Jika demikian mengapa harus ada sebuah negara? Locke menyatakan bahwa negara berguna sebagai penjamin pelaksanaan "hukum alami." Selain itu, sejak manusia mengenal UANG, setiap manusia kemudian berebut lahan, hasil bumi, dan lain sebagainya karena semua memiliki nilai tukar. Di sinilah letak kekacauan kondisi asali menurut Locke. Maka diperlukan sebuah kekuasaan yang lebih kuat untuk menjaga dan melindungi hak milik pribadi. Sehingga bagi Locke, "tugas pokok negara adalah melincungi hak milik pribadi" (Second Treatise of Government, hlm. 63).

JEAN JACQUES ROUSSEAU (1712-1778)
Berbeda dengan Hobbes dan Locke, Rousseau justru tidak menganggap bahwa kondisi asali adalah seperti apa yang disampaikan Hobbes dan Locke. Sebab bagaimana mungkin membandingkan keadaan modern dengan keadaan di hutan belantara?  Namun demikian, Rousseau meyakini bahwa tidak ada "keadilan" dalam kondisi asali. Manusia dalam kondisi asali tidak melukai orang lain adalah karena manusia memiliki naluri alami untuk tidak melukai. Manusia sesungguhnya hidup soliter. Tidak ada yang perlu diperebutkan dan dipertentangkan, sebab manusia hanya membutuhkan TIDUR, MAKAN, dan PEMUASAN SEKS. Mungkin manusia membutuhkan orang lain untuk menolong saat sakit, namun alam dalam kondisi asali justru sebenarnya membuat manusia tidak mudah sakit.

Manusia dalam kondisi asali menurut Rousseau tidak menghasrati kekuasaan. Manusia yang dilengkapi free-will dan kemampuan untuk peningkatan kapasitas diri (inovasi, namun bukan seperti Hobbes yang menganggap inovasi adalah lewat kompetisi) kemudian membawa manusia kepada pengertian tentang kerjasama. Bekerjasama untuk berburu membuat manusia lebih cepat mendapatkan hewan buruannya, sehingga manusia bisa memiliki waktu luang, lebih cepat tidur, lebih cepat makan, dan dapat memuaskan seks. Dari situlah muncul barang-barang luxury untuk mengisi waktu luang manusia. Dari titik inilah manusia yang satu kemudian melirik manusia lainnya, muncullah rasa iri, rasa terhormat dan terhina, sehingga kondisi asali berubah menjadi pertengkaran. Orang-orang kayalah yang kemudian membuat aturan tentang keadilan untuk menjamin keadaan tetap aman. Dengan demikian, negara bagi Rousseau adalah bentukan orang-orang yang "berada di atas angin" yang berguna untuk menjamin tidak terjadinya perang dan pertengkaran.


Pendekatan logika negatif dari ketiga filsuf tersebut nyatanya telah memberikan sebuah pemahaman bagaimana sebuah negara menjadi penting. Indonesia menjadi penting untuk melindungi warganya, membuat warganya tidak diserang, melindungi harta milik warga, dan menjamin tidak adanya perang antar manusia. Pemberitaan media tentang penderitaan rakyat marginal, harta milik warga yang dikorupsi, dijarah, perang suku, perang agama, dan perang ide dalam panggung politik nasional--jika semuanya ini tetap ada di Indonesia, maka Indonesia yang bagaimanakah seharusnya ada?


Salam secangkir kopi.
Toast dari Semanggi!

Selasa, 07 Februari 2012

SEKILAS: FILSAFAT POLITIK

Hari ini masih dalam gairah diskusi hangat media tentang Tsunami Partai Demokrat.:-) Mengapa permasalahan Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan Andi Malaranggeng layak disebut politik Partai Demokrat?:-) Terkait dengan itu, mencuplik filsafat politik akan menarik.

Politik berasal dari kata "polis" yang artinya adalah kota. Politik adalah tata hidup bersama. Politik dapat ditinjau dari pendekatan historis dan pendekatan tematik. Pendekatan historis dapat dilakukan dengan melacak asal-usul gagasan tentang politik itu, dari pemikir-pemikir yang terlibat, dan melihat asal pemikirannya hingga hari ini. Tidak mudah ya?:-) Pendekatan tematik adalah pendekatan yang hanya melihat penanda, tongga, konsep-konsep sentral saja yang akan menjadi kajian filosofis. Tulisan ini akan mencoba mendefinisikan politik, filsafat, filsafat politik, dan ilmu politik. Pendefinisian ini disusun atas pembacaan diktat mata kuliah Pengantar Filsafat Politik bimbingan Dr. Herry Priyono di STF Driyarkara (pada 7 Februari 2012).

APA ITU POLITIK?
Polisi, Hukum, Pajak, dan Penjara, adalah politik. Mengapa Polisi berhak untuk menangkap orang, menilang orang dan mengatur lalu lintas? Mengapa seseorang yang dipuja-puja kemudian ditangkap karena kasus korupsi? Lantas apa hak orang untuk meminta pajak kepada seluruh rakyat? Apa pula yang mendasari Polisi untuk memenjarakan orang lain?:-) Anehnya, jika saya berbelanja buku, itu tidak disebut sebagai politik. Jika Presiden berbelanja, itu disebut politik.
Sebagaimana politik merupakan tata hidup bersama, politik hanya didefinisikan sebagai politik jika ada penggunaan alat kekuasaan untuk menentukan arah hidup bersama, dan penggunaan kekuasaan untuk menentukan corak hidup bersama.

APA ITU FILSAFAT?
Filsafat adalah upaya untuk mencari hikmat. Atas pembacaan terhadap tulisan Isaiah Berlin yang berjudul Introduction to Philosophy, filsafat berusaha menjawab berbagai pertanyaan yang mendasar seperti: apa itu keadilan? apa itu kebenaran? Filsafat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar (dan pada umumnya sulit untuk dijawab) namun diketahui metode menjawabnya.

APA ITU FILSAFAT POLITIK?
Filsafat politik hanya akan berguna jika saja manusia tidak menganggap bahwa baik buruknya tata pemerintahan tidak dianggap sebagai nasib saja. Filsafat politik memberikan justifikasi pemerintahan yang baik dan buruk, karena dapat membedakan pemerintahan yang baik dan buruk. Selain itu, dianggap normatif karena mencoba mengkaji mengapa demokrasi itu baik dan mengapa buruk--berdasarkan keketatan argumen nalar/ logika (bukan karena pengaruh seseorang). Kalau tidak ada gagasan yang baik, filsafat politik tidak berguna. Ini adalah cabang dari ilmu filsafat. Meskipun akan sulit untuk memisahkan filsafat dan politik dalam berbagai bagian.
Tentunya masih ingat bahwa filsafat merupakan kajian yang mencoba menjawab apa itu polis? (Metafisis); Kenapa harus hidup bersama? Mana lebih baik hidup di hutan atau bersama (Etis). Sebenarnya dapat juga dikaitkan dengan etika politik. Namun etika politik lebih praktis, tidak seluas kajian filsafat politik yang mencakup metafisika, epistemologis, dan etika/ estetika.
Pemerintahan dalam kajian filsafat politik maksudnya adalah gugus-gugus kelembagaan yang menyangga hidup bersama (dari kacamata manajemen/ pemegang otoritas politik). Berbeda dengan filsafat sosial, yang mana filsafat sosial adalah polis dalam pandangan masyarakat atau tatanan sosial.

APA ITU ILMU POLITIK?
Mengapa disebut sebagai ilmu politik? Ilmu politik adalah ilmu tentang tata pemerintahan, yang metodenya banyak dipinjam dari fisika dan astronomi. Karenanya maka ilmu politik banyak berbicara tentang aturan, faktor-faktor apa yang membuat tata pemerintahan ada di sebuah negara. Pada umumnya metodenya mengukur regularitas tata pemerintahan. Inilah yang menyebabkan ilmu politik sangat jarang menetapkan baik buruknya sebuah tata pemerintahan (dan lebih banyak menggunakan statistik). Hal ini terjadi karena adanya penyerapan metode fisika dan astronomi dalam bidang ilmu ekonomi, politik, dan sosiologi.
Filsafat politik dan ilmu politik kemudian bergandengan tangan, karena tidak akan dapat menghasilkan sebuah pengertian yang  baik tentang politik. Ilmu politik membutuhkan sebuah kepastian sebuah tata pemerintahan yang baik dan buruk untuk kemudian dapat mencari data-data yang akan dianalisis. Sebaliknya, filsafat politik akan dapat menentukan baik buruknya sebuah tata pemerintahan jika terdapat data-data yang mencukupi dalam memberikan deskripsi keadaan politis.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya tidak berlebihan jika Indonesia membutuhkan pendekatan-pendekatan filosofis dan ilmu-ilmu dalam merumuskan banyak hal politis. Indonesia yang merupakan negara (politis) selalu memerlukan pembenahan dan perenungan kritis terhadap tata hidup bersama. Tata hidup bersama Indonesia hampir saja tidak khas, dan hampir saja mengabaikan kajian-kajian filosofis dalam menyelesaikan berbagai permasalahan politis--seakan-akan tidak ada waktu untuk berefleksi politis.