Minggu, 26 Juni 2011

Perbandingan Dua Bangsa Besar

Entah mengapa cukup sering aku mendengar kisah tentang orang Tiongkok (atau Tionghoa) yang jika dibandingkan dengan orang Indonesia berbanding terbalik dalam hal kerja keras, kegigihan, dan kemampuan berbisnis. Orang Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia dikenal lebih tekun dan lebih bersungguh-sungguh daalam bekerja. Dalam sejarah dunia, suku bangsa Tionghoa pun telah dikenal cukup lama sebagai pedagang dan hampir ada di setiap negara. Sebagai bukti, nama tempat di beberapa daerah dan negara mengabadikannya (misalnya: China Town, atau Pecinan, dan mungkin ada nama lain). Di Indonesia sendiri, nama tempat tersebut hampir ada di setiap provinsi.

Berbicara tentang bisnis dan ekonomi, orang Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa sangat berperan besar. Masih sangat jelas dalam ingatan betapa mengerikannya diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Namun keadaan sekarang jauh berbeda. Bahkan roda perekonomian Indonesia tidak akan dapat berputar cepat tanpa adanya peran keturunan Tionghoa yang menjadi pebisnis, konsumen, dan bahkan pengambil kebijakan strategis di pemerintah pusat. Kita patut berterimakasih pada mereka.

Pagi ini, di speed boat kecil bermuatan kurang lebih 35 orang penumpang, saya melihat sepasang orangtua yang sudah lanjut usia masuk bersama seorang putranya dan pembantunya (orang pribumi, kemungkinan besar dari Jawa). Tujuan mereka berempat sama dengan tujuan saya, Batam.

"Berapa untuk empat orang?" Tanya putranya kepada wanita muda penjual tiket yang berdiri di hadapan saya.

"Tigapuluh delapan ribu per-orang, Bang." Ujar si penjual tiket.

"Hah! Mahal! Bukan Tigapuluh ribu ya?"

"Tidak, Bang. Tigapuluh ribu itu ongkos ke Lobam. Bukan ke Batam..." Jawab si penjual tiket.

"Ah, beda dua ribu rupiah saja dengan ferry! Mending saya naik ferry!" Sahutnya lirih.

Langsung kedua lansia tadi menyampaikan keberatannya sahut menyahut kepada si penjual tiket. Sekitar lima menit kejadian itu berlangsung. Hingga akhirnya mereka pun membeli tiketnya dan meminta kembalian yang pas.

Sepasang orangtua tersebut duduk manis di bangku terdepan, berseberangan dengan saya yang juga duduk di bangku paling depan. Tinggal menunggu beberapa penumpang lagi agar kapal penuh, dan dapat berangkan menuju Batam. Satu persatu penumpang masuk ke kapal, dan kebanyakan membayar sejumlah Rp. 50.000, dan si penjual tiket selalu memberikan kembalian Rp. 10.000. Tentunya kurang Rp. 2.000 dari yang seharusnya. Melihat hal itu, sepasang orangtua tadi heran dan saling bicara, "kembaliannya kurang..." sesekali mereka berkata "lho, kok kembaliannya kurang Rp. 2.000 tidak diambil?" Lelah dengan berkali-kali melihat hal yang sama, sepasang orangtua tadi akhirnya diam saja dan si Bapak berkata pada istirnya: "Orang-orang bayar lebih Rp. 2000."

Pengakuan ini membuat saya bertanya dalam hati, inikah pembeda bangsa pribumi yang terkesan lamban dengan bangsa keturunan Tionghoa yang terkenal ulet itu?

+++++++++++

Secangkir kopi menemani brainstorming kiranya memberikan inspirasi.

Apa yang paling cocok sebagai atribut bangsa Tionghoa: Pelit? Adil? Tidak ingin mengambil yang bukan haknya?

Lantas apa atribut keturunan pribumi: Kurang perhitungan? Dermawan, luhur? Suka mengambil yang bukan haknya?

Apapun itu, cuplikan di Pelabuhan Sri Bintan Pura ini sangat berharga bagi para penggemar kopi:-)



Salam secangkir kopi,
Pulau Bintan, 15 Juni 2011 (06.35 WIB)

Kamis, 09 Juni 2011

Secangkir Kopi Bagi Bangsa yang Kuat

Asap mengepul di Plaza Semanggi pada Rabu (8/6-2011) itu mengingatkanku pada kata kunci: "bencana." Di halaman depan pada pagi itu, para petugas pemadam kebakaran berjaga dan bertugas cepat, lincah dan tepat, dan para petugas mal itu berdiri memandangi asap itu dari bawah.

Bencana, merupakan bahasa yang sudah mulai berafiliasi dengan istilah "NGO", "bantuan", dan mungkin kata yang lainnya. Pada kenyataannya, bencana kerap terjadi di Indonesia. Yang paling melekat pada ingatan orang Indonesia tentang bencana adalah bencana alam atau mungkin krisis ekonomi pada tahun 1998. Entah apa yang membuat bangsa ini cukup sering mendapatkan bencana. Gempa dan tsunami di Aceh, Mentawai, gunung meletus, hama ulat bulu yang tak terkendali penyebarannya, banjir, dan banyak lagi. Hal ini menjadi kajian yang dianggap penting oleh negara, sehingga tak heran jika Universitas Pertahanan Indonesia menjadikan Prodi Manajemen Bencana sebagai salah satu jurusan pilihan dalam program beasiswanya yang bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Melihat begitu seringnya bangsa mendapatkan bencana, negara pantas menjadi sebuah negara yang experienced dan  benar-benar expert dalam penanggulangan bencana. Dengan demikian, bencana telah menjadi kopi resiliensi bangsa ini!:-)

Amat miris memperhatikan kenyataan berbeda dengan yang seharusnya. Masalah sekarang bukan lagi tentang ketidakpedulian terhadap lingkungan. Lebih dari itu, kesiapan menghadapi bencana pun hampir tak tampak. Hampir pasti bahwa tidak semua rumah memiliki senter, lampu minyak, dan lain sebagainya untuk kesiapan menghadapi bencana. Lahirlah bangsa yang banyak menuntut PLN untuk berkinerja melebihi kapasitasnya, bangsa yang menuntut pembangunan mal di mana-mana, bangsa yang hampir tidak puas dengan jaringan sinyal telepon, dan bangsa yang hampir lupa dengan masa lalunya.


Negara Dilemahkan?

Lantas apakah negara ini telah menjadi negara yang tak terlawan? Masihkah gemuruh proklamasi dan semangat kemerdekaan tahun 1945 itu masih bergaung di gaya hidup setiap masyarakatnya?

Sedikit meleset dari yang seharusnya. Tawaran modernisme dan postmodernisme terlalu menggiurkan. Boro-boro memikirkan negara dan impian proklamasi, kesempatan yang ada digunakan untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan diri. Sejenak melupakan bangsa, sejenak mengingat bangsa dan berlagak pahlawan, demikianlah fenomena yang ada. Jika saja dulu penjajah telah melemahkan bangsa, maka sekarang orang Indonesia sendiri yang melemahkan bangsa ini.

Pendidikan yang dulu diteriakkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Budi Utomo dan lain-lain sudah seharusnya membatin dalam setiap generasi. Kenyataannya adalah biaya pendidikan mahal, fasilitas pendidikan apa adanya, bahkan lulusannya pun kurang dihargai sebagaimana mestinya. Dosen-dosen yang telah bergulat dengan sungguh-sungguh belajar di luar negeri untuk membangun bangsanya seakan diabaikan, dan tak sebagaimana mestinya diperlakukan.

Kesiagaan bencana menjadi hal yang hampir saya pertanyakan. Apakah rakyat benar-benar sudah siap menghadapi bencana karena seringnya bencana, sehingga persiapan menghadapi bencana pun tak tampak? Atau apakah rakyat sudah semakin kuat sekarang ini sehingga tak perlu lagi menggunakan alat bantu? Pada kenyataannya, masih saja tidak sedikit yang menjadi korban dalam bencana yang terjadi. Sungguh bangsa dilemahkan oleh rakyatnya sendiri.


Bencana Susulan

Bencana, bukan saja terpasung pada istilah bencana alam. Korupsi yang terungkap di berbagai departemen dan kementerian, korupsi diperusahaan-perusahaan swasta, praktik suap dan pencucian uang bukan lagi masalah baru. Bahkan seakan susul menyusul, informasi tentang hal itu silih berganti muncul di televisi. Sulit menemukan orang yang tidak materialistis di kota besar seperti Jakarta. Tidak mudah mencari nasionalis sejati yang bercita-cita mulia dan tulus untuk bangsanya. Bahkan yang ada justru bom diledakkan oleh rakyatnya sendiri yang sampai sekarang entah apa motifnya. Semuanya pun menelan korban.

Semua peristiwa di atas hanyalah cuplikan kecil keadaan yang terjadi. Bencana, kini perlu diakui telah terjadi setiap hari di negeri ini. Bencana ekonomi, bencana moral, bencana politik, dan berbagai bencana lainnya datang silih berganti. Hasilnya, rakyat miskin tetap miskin, bahkan menjadi buas dan garang. Yang kaya semakin kaya, bahkan menjadi lupa bahwa dia adalah orang Indonesia yang bersahaja. Inilah cerminan masa kini sebuah bangsa yang dulu pernah kuat dan mengklaim diri sebagai bangsa yang merdeka dan terhitung berani, terlebih pada masa Bung Karno sebagai presidennya.
Sungguhkah bangsa ini negara tak terlawan?





Salam secangkir kopi...
Toast dari semanggi!
 9 Juni 2011



Rabu, 01 Juni 2011

Rapuh Menanti Bangkit

Dia seorang janda, guru di sebuah sekolah negeri di daerah Sumatera. Rumahnya adalah sekolah dan gubuk kecilnya yang berjarak sedikitnya 20 kilometer dari sekolah tempat dia mengajar.
Seakan terhempas saat dia mendengar anak tunggalnya menjadi pembawa bencana dan menjadi korban bencana, atau apapun yang terkait dengan bencana itu, dia tak tahu pasti. Yang pasti, dia seakan tersambar petir dengan kekuatan media dan informasi tentang putranya itu. Sontak saja dia menangis, meraung, menjerit, marah, geram, gemas, serta menggertakkan giginya.
 Lama dia merasakan kesusahan itu. Lama sekali. Hingga suatu saat putranya melewati tempahan waktu dan menunjukkan pada Ibunya bahwa dia kuat! Sampai saat itu, terbersitlah senyum di bibir Ibu itu, terucaplah syukur pada Yang Maha Kuasa. Sekarang tertinggallah sisa keluhan masa lalunya: kerutan di dahinya, keriput pada tubuhnya yang kian kurus, serta langkahnya yang gontai.


Kisah di atas bisa saja menjadi pengalaman banyak orang. Lazimnya, rasa syukur, kemauan untuk bangkit dan kemampuan untuk tersenyum hanya muncul saat ada kebahagiaan atau pengalaman indah yang dirasakan. Namun tidak selamanya kebahagiaan harus dilalui dengan senyuman dan ucapan syukur. Sebagaimana tidak seharusnya pula kesusahan dilalui dengan air mata dan kata-kata yang kurang baik.

Jika saja si Ibu berdiri saat badai itu datang, tentulah dia lebih kuat dari sekarang dan bisa saja masa lalu tak berbekas sama sekali.




Salam secangkir kopi...
Semanggi (1/6-2011)