Jumat, 29 April 2011

Mencari Kekayaan yang Membahagiakan


Tujuan hidup bisa beragam, dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan, motivasi diri, latarbelakang budaya dan pendidikan, pengalaman masa lalu, harapan di masa mendatang, dan banyak lagi. Bukan saja dipengaruhi  banyak faktor, tujuan hidup juga mempengaruhi banyak faktor seperti cara bersikap, cara mempresentasikan diri, dan lain sebagainya. Mendasarkan pada pandangan bahwa tujuan hidup adalah "bahagia', kiranya tulisan ini dapat menjadi penyegar para pencari kebahagiaan dan para pemberi kebahagiaan.

Socrates suatu kali dimintai datang ke rumah seorang yang sangat kaya. Orang kaya tersebut menunjukkan kekayaannya pada Socrates. Rumah yang indah, para pegawai yang penurut, ruangan-ruangan bersih dan mengkilap, serta taman yang indah, seperti sebuah istana. Dengan senyum lebar, orang kaya tersebut berkata kepada Socrates: "Akuilah Socrates, tentu engkau iri melihat kekayaan ini." Socrates menjawab: "Aku bangga padamu dengan keyaaan seperti ini, aku kagum. Namun tentunya engkau lebih kagum padaku karena aku tidak memerlukan kekayaan sebanyak ini untuk mendapatkan kebahagiaan."

Lazimnya, menilai kekayaan adalah dari sisi ekonomi. Teringat dengan cerita sang dosen, Prof. Wegie, kekayaan itu ada batasnya. Jangan coba melewati batasnya. Saat engkau melewati batasnya, maka yang ada adalah petaka. Beliau memberikan contoh, Gayus Tambunan (pegawai golongan III yang korup di kantor Pajak). Demikian pula dengan Khadafy, Melinda Dee, serta tentunya banyak nama lain. Mantan Presiden bangsa ini, Soeharto, patutlah diperhitungkan sebagai orang yang berbahagia. Berkuasa selama puluhan tahun sebagai presiden, berkarya demi bangsa, memiliki kecukupan bahkan berkelimpahan. Sebagai seorang presiden/ mantan presiden, beliau pantas dianggap memperoleh kebahagiaan yang besar. Namun sebagai seorang Ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi istrinya, dapatkah kebahagiaan didapatkan saat harus melihat istri sendiri meninggal tertembak pistol anak sendiri?

Robin Sharma menuliskan dalam bukunya ada 8 jenis kekayaan.
  1. Kekayaan pribadi (inner wealth)
    • Ketenangan, kedamaian hati. Banyak orang kaya yang tidak memiliki ketenangan ini. Hatinya selalu gelisah, tidak pernah puas, dan selalu merasa terancam. Saya teringat dengan sinetron yang menceritakan percakapan seorang anak majikan dengan anak pembantunya yang kebetulan tinggal bersamanya, "Kamu beruntung. Sekalipun kamu miskin, tetapi kamu punya orangtua yang selalu bisa bermain bersamamu. Saya memang dikasih banyak uang tetapi orangtuaku tak pernah ada waktu untukku."
  2. Kekayaan fisik
    •  Tidak sedikit yang mengumpulkan kekayaan, prestasi dan prestis, ambisi dan lain sebagainya dengan mengorbankan fisiknya. Setelah itu, semua kekayaan, prestis, prestasi dan ambisinya pupus dan harus dikorbankan untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Maka kekayaan secara ekonomi belum ada artinya jika fisik kita sakit-sakitan. Pusing, tidak bisa tidur lelap, terbangun di tengah malam, sakit maag, kemudian berkembang menjadi insomnia, diabetes, stroke dan jantung akut, tidak terbatas hanya untuk orang yang tak punya uang.
  3. Kekayaan keluarga dan sosial
    • Tidak ada artinya menjadi kaya tatkala keluarga berantakan. Apalah artinya menjadi kaya jika hubungan keluarga penuh intrik, pertengkaran dan rusak. Anak-anak masuk penjara, serta perasaan terancam karena banyaknya musuh.
  4. Kekayaan karier
    • Banyak yang bekerja menghasilkan banyak uang, namun sesungguhnya dia tidak menyukai pekerjaan yang digelutinya. Pekerjaan itu baginya tidak memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Saat ditanya secara jujur, sebenarnya mereka bosan dan benci dengan pekerjaannya.
  5. Kekayaan ekonomi
    • Kekayaan ini yang paling banyak dipahami. Uang sering menjadi ukurannya. Walau uang bukanlah segalanya, setiap manusia juga membutuhhkan uang untuk memenuhi banyak hal yang dibutuhkan. Sayangnya, banyak orang yang melihat kekayaan inilah satu-satunya ukuran kekayaan dan ini yang menyesatkan.
  6. Kekayaan hubungan dan pergaulan
    • Facebook, twitter, BBM group, YM, dan berbagai media sosial lainnya di dunia maya atau bahkan di dunia nyata merupakan sebuah pertanda bahwa manusia butuh interaksi. Persahabatan dan hubungan adalah kekayaan yang penting. Selama kita memiliki jaringan yang bisa mendukung kita, maka kita akan sulit terpuruk. Dalam hal inilah bidang praktis marketing menemukan permata-permata baru.
  7. Kekayaan pengalaman
    • Banyak yang kaya secara ekonomi namun miskin dalam pengalaman. Mereka tidak pernah ke mana-mana karena takut, banyak dibatasi untuk mendapatkan pengalaman karena berbagai ketakutan dan kekhawatiran.
  8. Kekayaan pengaruh sekitarnya
    • Tidak sedikit orang kaya yang menikmati kekayaan untuk diri sendiri dan keluarganya saja. Orang-orang sekitarnya tidak merasakan dampak positif dari kekayaan yang mereka miliki. Saat orang kaya ini meninggal, tidak banyak orang di sekitarnya yang merasa kehilangan. Tidak terlalu ditangisi, sebab tidak pula menjadi berkat bagi orang lain.
Kekayaan adalah sesuatu yang tidak datang begitu saja. Itu adalah hasil kerja keras, semangat pantang mundur, dan ketekunan dalam bertindak. Yang merasa belum kaya melihat bahwa setelah kaya, pasti akan bahagia. Kaya selalu diidentikkan dengan kebahagiaan, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Bahkan acap kali, kekayaan justru tidak mendatangkan kebahagiaan. Sudahkah Anda memiliki kekayaan yang membahagiakan?



Salam secangkir kopi!

Jumat, 01 April 2011

Semiotika & Psikoanalisa


 
 Langue & Parole
Dalam upaya memahami paparan Roland Barthes, mengenal langue dan parole merupakan sebuah hal yang penting—dalam tujuan mengerti tentang semiologi yang disajikannya. Langue dan parole, merupakan sebuah jalan bagi kita untuk dapat memahami bagaimana “bahasa” ada dan digunakan oleh banyak orang. Dalam pengertian lebih lanjut, langue (katakanlah “bahasa”) merupakan objek sosial, sistematis dan terlembaga; dan ini berbeda dengan parole, yang merupakan bagian dari individu.[1]  Jadi, langue merupakan bentukan sosial yang memiliki aturan tersendiri dan disepakati oleh sekelompok orang, dan dengan demikian, pendapat Barthes bahwa langue dapat dikategorikan sebagai sistem sosial, dapat dipertanggungjawabkan, sebab memang langue adalah bentukan sebuah kelompok (bukan individu, dan bentukan individu cukup jelas dinamakan sebagai parole), harus diterima atau ditolak seluruhnya, dan memiliki aturan main sendiri yang disepakati oleh masyarakat.[2] Demikian pula halnya, selain menempatkan langue sebagai sistem sosial, Barthes memang dalam waktu yang sama menepatkannya sebagai sistem nilai.[3]  Sebagai sistem nilai, memang, langue memiliki unsur-unsur yang dapat dibandingkan dan ditukarkan.

Berbeda pula dengan langue, parole adalah bagian dari individu untuk dapat melakukan kreasi (meskipun tidak dapat dikatakan hanya sebagai kreasi—sebab parole lebih luas dari itu).  Dalam kapasitas yang lebih besar, parole dapat disebut sebagai “wacana” kiranya dapat dimengerti.  Hal ini dapat dijelaskan begini:  parole itu terdiri dari “kombinasi”[4] yang membuat si pembicara (individu) dengan bahasa tertentu mampu mengungkapkan pendapatnya. Lebih luas darii tu, Barthes mengemukakan bahwa parole adalah mekanisme psiko-fisik yang mempengaruhi terbentuknya sebuah kombinasi tertentu. Sebagai contoh, Barthes memberikan pengertian bahwa cara pengucapan tidak dapat dirusak oleh langue, karena baik secara institusi maupun sistem nilai, tidak akan berubah bila individu yang menggunakannya berbicara dengan nada bicara apa saja (keras, lembut atau dengan cara apa pun). Maka, penjelasan Barthes sudah sangat memadai, bahwa parole, dengan pengulangan tanda-tanda yang sama dalam sebuah wacana ke wacana lainnya sangat penting, dan tanda-tanda itu merupakan unsur bahasa. 

Langue dan parole merupakan sesuatu yang dapat diaplikasikan dalam sebuah tatanan masyarakat, katakanlah sebagai contoh: kelompok musik Reggae. Setiap orang yang menyukai dan ingin masuk dalam komunitas Reggae setidaknya memang (mau atau tidak mau) perlu mengikuti gaya yang sudah diakui sebagai bagian dari Reggae (bahwa Reggae juga memiliki langue), meskipun dalam hal itu, keberadaan Mbah Surip pun bisa menampilkan parole nya dengan mengungkapkan pikiran pribadinya.

Namun dalam sudut pandang yang lain, Barthes pula memberikan eksplanasi bahwa langue dan parole pada hakikatnya dihubungkan dengan hubungan dialektis. Maksudnya, langue dan parole tidak dapat memiliki pengertian sepenuhnya tanpa melalui proses dialektikal yang menghubungkannya satu sama lain.[5]  Dan sesungguhnya, dalam proses inilah aktivitas linguistik benar-benar nyata.  Dengan pemahaman ini, maka penjelasan Barthes tentang langue dan parole dapat membuat pengertian yang baik dan membuka jalan untuk dapat melihat dua poros bahasa yang disampaikan oleh Barthes.

Hubungan Paradigmatik dan Sintagmatik
Barthes memberikan pula sebuah penjelasan tentang hubungan paradigmatic dan sintagmatik dalam tulisannya.[6] Hubungan paradigmatik dan sintagmatik itu sendiri dapat dilihat dengan lebih jelas lewat contoh nyata: memilih  pakaian ke gereja (lihat dalam tabel):

Hubungan Paradigmatik
Sintagmatik
Harus pilih pakai jaket atau pakai jas
Pakai kemeja dan jas boleh saja dipakai bersamaan

Dengan tabel itu, maka jelas bahwa hubungan sintagmatik adalah memilih salah satu dari beberapa pilihan, karena tidak mungkin kita menyampaikan dua kata bersamaan, karena harus linear. Hal berbeda dengan hubungan paradigmatic, bahwa kita menghadirkan dua kata sekaligus meskipun salah satunya in absentia.[7] Lebih lanjut, kalau berbicara tentang Nasi, maka orang langsung berpikir tentang makan, lauk, sayur dan kenyang atau lapar (sementara yang lain itu tidak ada tertulis)—ini salah satu contoh hubungan paradigmatic.

Psikoanalisa Sigmund Freud
Seperti dalam beberapa penjelasan tentang biografi Sigmund Freud, kehadiran idenya memang mengejutkan dunia ilmu kedokteran pada zamannya dengan berbagai penemuan dan penjelasan ilmiahnya, salah satu yang paling tersohor adalah teori tentang mimpi.  Pada awalnya, Freud memang tertarik dan didorong oleh rasa ingin tahu saat bersama dengan Joseph Breuer, yang kemudian bersama-sama menulis buku Studies on Hysteria. Freud menemukan pengalaman berharga bersama Breuer dalam penanganan kasus pertama, Anna O., dengan metode penyembuhan talking cure.[8] Freud sendiri, meskipun bagi orang sezamannya telah menemukan sesuatu yang baru, menganggap bahwa psikoanalisa adalah mitologi[9], meskipun lebih dari sekadar terai (karena ia menganggapnya sebagai ilmu pengetahuan)[10], dan memang memberikan kontribusi yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan.

Cukup lama Freud menggunakan penyembuhan dengan talking cure dan hypnosis sebagai cara terapi untuk pasiennya, sampai dia menemukan metode asosiasi bebas.[11] Baginya, hypnosis berbau mistis dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Freud mensejajarkan hypnosis dengan pervia di pore (ibarat pelukis yang menuangkan lukisannya—sebab metode ini membebaskan si pasien berbicara apa saja, yang penting si pasien di hypnosis), karena memang baginya, metode ini seperti melukis: sang dokter sedang menuangkan cat untuk mendapatkan symptom.. Metode yang kemudian digunakan Freud adalah asosisasi bebas. Metode asosisasi bebas ini menuntut pasien mengatakan segala sesuatu yang muncul dalam kesadarannya (tanpa malu karena tidak pantas kedengarannya). Ini berbeda dengan katarsis, karena metode ini tidak berhenti pada asal usul simtom-simtom, dan pasien bisa menceritakan segala sesuatu tanpa urutan yang logis, teratur dan penuh arti. Biasanya si pasien ditempatkan pada tempat yang nyaman sehingga dapat menceritakan semuanya dengan lengkap.[12] Dalam sisi lain, Freud mengakui bahwa asosisasi bebas sebetulnya tidak benar-benar bebas,[13] dan Freud melukiskannya sebagai  per via di levare (mengibaratkannya seperi seorang pemahat yang memahat patung, boleh dengan pukulan lembut atau keras). Alasannya adalah karena teknik ini mengeluarkan semua ketidaksadaran boleh dengan cara keras atau lembut demi mendapatkan symptom.

Lebih menarik dan lebih mengejutkan lagi sebab Freud pun memperkenalkan teori seksualitas pada anak-anak. Bagi Freud, anak-anak pun sudah mengalami pengalaman seksual, yang lebih dikenal dengan Oedipus Kompleks. Hal ini tampak jelas dalam penjelasannya tentang tahap-tahap perkembangan manusia: tahap infantile, tahap laten, tahap genital dan tahap kematangan. Namun tulisan ini akan berorientasi pada tahapan psiko seksual yang sesungguhnya membuktikan bahwa pendapat Freud tentang seksualitas anak-anak (tahapan infantil) sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Tabel berikut ini akan mengemukakan tahapan seksual menurut Freud dan sedikit informasi tentang tahapan laten dan genital.


Tahap-tahap Psikoseksual

Tahapan Psikoseksual
Daerah Libido
Hasil perkembangan utama
Objek Libido
Oral (dari lahir sampai 1 tahun)
Mulut, kulit, ibu jari
Memasukkan secara pasif segala benda melalui mulut; sensualitas autoerotik
Susu ibu, tubuh sendiri
Anal (2-3 tahun)
Anus, buang air besar
Mencari secara aktif reduksi tegangan; menguasai diri sendiri; tunduk secara pasif.
Tubuh sendiri
Falik (3-5 tahun)
Alat kelamin, kulit
Konflik Oedipus dan Electra; ingin memiliki ibu; identifikasi dengan orang tua sejenis; ambivalensi hubungan cinta
Ibu untuk anak laki-laki; Ayah untuk anak perempuan
Laten (6-8 tahun)
Tidak ada
Represi bentuk-bentuk libido pragenital; mempelajari rasa malu dan jijik yang tepat menurut kebudayaan terhadap objek-objek cinta yang tidak tepat.
Objek-objek yang sebelumnya direpresikan
Genital (masa remaja dan seterusnya)
Mengutamakan hal genital
Reproduksi, keintiman seksual
Mitra heteroseksual

Walaupun Freud tidak memiliki pengalaman khusus dengan anak-anak bahkan anaknya sendiri,[14] ternyata dia mampu memberikan teori tersebut sebagai bagian dari pengamatan psikoanalisa dan memandang manusia secara utuh adalah salah satu alasan dalam mengamati perkembangan psikoseksual bahkan mulai sejak kelahiran manusia—dan pengalaman masa kecil ternyata (dalam pengalamannya) memberikan banyak pengaruh kepada masa sekarang. Teori seksual pada anak-anak ini akhirnya berhasil menjelaskan bahwa ketidaksadaran itu ternyata adalah karena dorongan seksual. Baginya, dorongan seksual memberikan banyak hal.

Pengalaman seksual dan pengalaman lainnya disebabkan oleh norma-norma yang ada[15] akhirnya direpresi. Dalam teorinya tentang represi, Freud memberikan penjelasan yang sangat baik tentang represi sekunder dan represi primer, karena pembagian itulah yang dibuatnya untuk menjelaskan tentang represi. Represi primer terjadi pada masa-masa awal perkembangan kemanusiaan kita saat dorongan-dorongan yang ada tidak bisa diterima dalam kesadaran (ego).  Dorongan yang ada itu tidak hilang begitu saja, tapi disimpan dalam-dalam, berubah bentuk dan akhirnya menghasilkan fiksasi (dalam bentuk ingatan—dan hanya energinya yang bisa dirasakan). Ini disebut Vorstellungs-repräsentanz.

Represi sekunder terjadi waktu ketidaksadaran yang terbentuk lewat represi primer tersebut muncul kembali untuk dipuaskan. Yang muncul dalam tahap ini hanya dorongan-dorongan derivatif (dorongan yang memiliki kesamaan) saja. Dorongan-dorongan pun dapat disebut sebagai ketidaksadaran karena tidak bisa masuk ke dalam kesadaran (maka yang direpresi  adalah sebagian dari ketidaksadaran).[16] Jadi, semua yang direpresikan itu kemudian muncul tanpa disadari, padahal itu pun adalah ketidaksadaran (yang dikenal dengan istilah ketidaksadaran laten).

Hal ini pula mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang mimpi, yang bagi Freud adalah jalan untuk menjadi seorang psikoanalis.[17]  Baginya, proses ketidaksadaran hanya bisa dikenali dengan mimpi dan neurosis yang merupakan wish-fulfillments (berbagai hal yang tidak dapat dicapai dalam keadaan bangun), dan yang paling penting adalah apa yang direpresikan muncul dalam mimpi. Di dalam hal inilah kemudian Freud mempelajari cara kerja dan bahasa mimpi,[18] yang baginya merupakan via regia  menuju ketidaksadaran.[19]

Memahami Psikoanalisa Lacan
Meskipun berasal dari aliran yang sama dengan Freud, eksplanasi Lacan tentang manusia pun menarik dipelajari. Diperkenalkan dengan sebuah skema L, bahwa Ego itu lahir berdasarkan specular images. Atau dapat dikatakan bahwa Es (si anak) terbentuk berdasarkan a’ (si Ibu), dan di sanalah dia menemukan dirinya (menemukan “aku”), sebab dia masih terfragmentasi waktu itu, dan image yang ada di depannya dianggapnya sebagai “itulah aku.” Dalam waktu yang sama mengalami sense of other dan sense of self. Dapat dikatakan, si Ibu adalah ibarat cermin bagi si anak, kemudian membentuk egonya (a)—sebab disana dia berkesimpulan bahwa cermin itu adalah dirinya sendiri.[20] Menurut Lacan, ini terjadi pada enam bulan pertama usia anak.s




Dalam mengidentifikasi dirinya, si anak terus memperhatikan cermin dan untuk waktu lama, si anak mengakui bahwa itulah dirinya.[21] Hal ini terjadi sampai sosok Ayah (autre) tampil untuk membentuk egonya (a) dengan memperkenalkan hukum, norma, dan membuat si anak tunduk pada aturan-aturannya.[22]

Ada fase di mana si anak memasuki fase pasca cermin, dan semua image yang ada kemudian hancur lebur, saat dia mengakui AKU BUKAN AKU; saat dia menyadari ternyata image yang ada selama ini bukanlah dirinya. Inilah masa alienasi yang dialami oleh subjek tersebut. Ini terjadi saat si anak sudah mulai mengenal bahasa dan tidak lagi memakai cermin sebagai image untuk menceritakan pengalaman kediriannya.[23]


[1] Roland Barthes. 1967 (1964). Elements of Semiology. “Language (Langue) and Speech”. Tr.Annette Lavers and Colin Smith, N.Y.: Hill & Wang. 13.
[2] Ibid., 14. “As a social institution, it is by no means an act, and it is not subject to any premeditation.  It is the social part of language, the individual cannot by himself either create or modify it; it is essentially a collective contract which one must accept in its entirely if one wishes to communicate.”
[3] Ibid., 14. “A language is therefore, so to speak, language minus speech; it is at the same time a social institution and a system of values.”
[4] Lihat Ibid., 14-15. Kombinasi yang dimaksud adalah gabungan dari tanda-tanda yang dipakai dalam wacana yang disampaikan. “it is because signs are repeated in successive discourses and within one and the same discourse (although they are combined in accordance with the infinite diversity of various people’s speech) that each sign becomes an element of the language…”
[5] Ibid., 15-17. ‘No language without speech; and no speech outside language.”
[6] Lihat di Roland Barthes, op cit., 58-71.
[7] Lihat dalam Roland Barthes, op cit., 58.
[8] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hal. 179.
[9] Ibid., 179.
[10] Ibid., 183.
[11] Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hal. 129-130.
[12] Ibid., 130.
[13] Peter Beilharz, op cit., 182.
[14] Lihat Yustinus Semiun, op cit., 102-114.
[15] Lihat Ibid., 60-68. Penjelasan tentang Id, Ego dan Super Ego sangat jelas memaknainya. Id adalah dorongan-dorongan dasariah manusia yang tidak dapat dengan begitu saja dimunculkan dalam kesadaran, sebab ada sensor menuju kepada Ego (yang dalam istilah lain disebut sebagai pendamai antara Id dengan Superego). Sebab Superego adalah tuntutan-tuntutan moral, nilai-nilai yang harus dituruti agar dapat diterima oleh orang lain, sehingga dorongan Id harus dipendam sejauh mungkin. Proses itu disebut represi, dan represi itu dapat saja kemudian muncul pada waktu yang lain dengan ledakan yang lebih besar karena represi yang berkepanjanangan. Jadi yang merepresi adalah Ego dan Superego, walaupun dalam perjuangan keras, id akan selalu meminta dipuaskan.  Dalam Lima Ceramah Freud, dia menawarkan cara mengatasinya: sublimasi, represi, atau membiarkannya dilampiaskan.
[16] Sigmund Freud, “The Unconscious”, 166.
[17] Wenn ich gefragt werde, wie man Psychoanalytiker werden kann, so antworte ich, durch das Studium seiner eigenen Träume. (Sigmund Freud, 1910)
[18] Yustinus Semaun, op cit., 132.
[19] Karena dalam mimpi, sistem tak sadar (di mana hasrat muncul) melewati sensor dengan cara yang sangat halus (distorsi) sehingga tak terlihat menentang norma-norma etis sadar dari kepribadian.
[20] J. Lacan, Ecrit, 18.
[21] Lacan membagi tiga fase untuk teorinya: Fase Cermin (usia 0-6 bulan), fase cermin (usia 6-18 bulan), dan fase pasca cermin.
[22] Peter Beillharz, op cit., 253.
[23] Lihat Peter Beilharz, op cit., 247-256.

Studi Kasus Akuntansi




CASE I
1.  Karakter Linda adalah berkaitan dengan Etika Akuntansi, Auditing dan dapat berkaitan juga dengan pajak. Dalam Akuntansi Keuangan biasa dilakukan window-dressing dengan double book keeping. Dalam Auditing: terjadi conflict of interest pada diri akuntan yang cenderung memihak pada kepentingan manajemen, karena mereka yang membayar fees. Idealnya Akuntan Publik harus independen. Dalam bidang perpajakan dikenal : Tax Evasion dan Tax Avoidence.
Yang paling kelihatan adalah masalh etika akuntansinya. Dibidang Akuntansi Manajemen dalam Penganggaran pada perusahaan terdivisionalisasi terdapat istilah Slack Budget dengan “Motto”: It is better to promise too little and deliver more, than to promise too much and deliver less. Slack Budget: perbedaan antara apa yang seharusnya dicapai dengan apa yang sungguh-sungguh diusulkan dalam anggaran.

Tujuan Budget Slack: Target mudah dicapai (untuk pendapatan) dan ada pengaman 
(biaya).

Tujuan akhirnya: memperoleh insentif manajemen

Perilaku lain: menghabiskan anggaran biaya dengan tujuan agar anggaran periode berikutnya tidak dipotong dimana bila terjadi berarti terdapat Nonvalue Added Activities yang menimbulkan Nonvalue Added Costs bagi organisasi

Akibat selanjutnya: daya saing rendah.
Maka tindakan Linda tidak dibenarkan secara etika. Selain itu, perusahaan tidak melakukan perannya dengan baik sebagai pengontrol.

2.  Tidak mau bekerjasama dalam hal tersebut, agar perusahaan dapat melakukan perencanaan lebih objektif dengan pasar yang ada. Jika saya bekerjasama, maka perusahaan tidak dapat melihat peluang pasar dengan objektif. Apalagi, dalam penyusunan anggaran, semuanya akan dihitung dari unit marketing terlebih dulu.

3. Merekomendasikan perubahan dari traditional budget ke performance budget. Sehingga penilaian lebih berorientasi pada hasil atau kinerja. Sebagai seorang plan manajer, pertimbangkan saja apakah penjualan jika ditunda, biayanya akan lebih besar atau lebih kecil, itu yang pertama dilakukan (analisis cost) terhadap barang disimpan? Profitnya bisa berapa?:-)


CASE II

1. Adanya persaingan harga, mendesaknya pengembangan kualitas dan kuantitas produksi, supply bahan sangat memadai. Apakah membeli barang dari luar negeri perlu dipertahankan?
2.  Ada beberapa alternati yang tidak masuk akal/ tidakmungkin dan memungkinkan dilakukan:
a. Mendirikan perusahaan sendiri—Ini memakan biaya yang terlalu besar, serta membutuhkan sumber daya dan mesin baru. Sementara itu, supply di pasaran semakin membludak yang mengakibatkan harga barang turun. Potensi profit bisa suram.
b.  Menyewa lokasi usaha yang lebih besar, dan mengontrakkan gedung sekarang—perlu pertimbangan biaya perpindahan, perubahan alamat, dan beberapa perubahan lainnnya yang membutuhkan adaptasi, juga hubungan dengan konsumen.
c. Membeli barang dari luar negeri—Hal ini perlu pertimbangan kualitas barangnya. Apakah kualitasnya memang ekstrim berbeda, atau hampir sama atau malah sama dengan yan di dalam negeri? Bagaimana dengan waktu pengirimannya, apakah dapat dijamin tiba tepat waktu secara rutin?
d.  Menyewa gedung sebagai gudang—perlu pertimbangan biaya gedung, lokasinya dari kantor berapa jauh (2 mil) dan berapa mudah aksesnya.

Melihat diskusi dan profil singkat Norton, maka yang paling dapat dilakukan dengan baik saat in adalah alternatif D. Pertimbangan: waktu melakukan tindakan lebih cepat sehingga tidak kehilangan banyak opprtunity cost, tujuan untuk mengembangkan produksi dapat tercapai, dan jaraknya tidak jauh.



1.       Fungsi Budgeting:
a.      Planning
b.      Communication and Coordination
c.      Allocating resources
d.      Controlling Profit and Operations

2.       Perbedaan Traditional Cost (Biaya harga tradisional) dengan Target Costing :
a.  Biaya harga tradisional yang didasarkan dirancang untuk menarik setiap pelanggan, tetapi sasaran target costing pelanggan tertentu.
b. Biaya harga tradisional yang didasarkan mempertimbangkan pasar yang availavle untuk produk pada akhir proses, sedangkan target costing menganggap pasar pada awal proses.
c. Biaya produk tidak relevan di bawah harga biaya tradisional yang didasarkan, tetapi sangat penting di bawah target costing
d. Biaya produk tidak relevan di bawah target costing, tetapi sangat penting dalam penetapan harga berdasarkan biaya tradisional.
3.       Ya, agar memperoleh hasil yang sama dari profit perusahaan.
4.       Apakah ada sumber daya manusia yang sudah sanggup mengerjakannya? Jika sudah ada mesin, akankah produksi berjalan rutin? Seberapa besar perbedaan hasil yang akan didapatkan? Seberapa efektif? Berapa jumlah karyawan yang dapat digantikan mesin? Apa resikonya jika ada yang di PHK?


Merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah Akuntansi Manajerial, Prodi MM, UNIKA Atmajaya Jakarta. Terimakasih untuk Ibu Jade M. Feliany yang telah membimbing dalam mata kuliah ini.