Minggu, 27 Februari 2011

Anak Berkebutuhan Khusus?


Aditya Gumay lagi-lagi membuat penonton filmnya terharu, tergelitik, sekaligus tertegun dengan film yang diangkat dari buku Jendela Rara ini. Film yang mengisahkan dua lingkungan yang kontras: rumah singgah (beserta lingkungannya) dan rumah mewah (beserta lingkungannya) ini menembus berbagai penghalang antara yang ada antara dua lingkungan tersebut. Aldo! Ya, Aldo, anak berkebutuhan khusus itu yang menjembatani jurang kaya dan miskin. Maka tidaklah berlebihan bila Aldo disebut sebagai inisiator yang dahsyat! Nenek Aldo, orang padang dari Medan  menjadi pembuka jalan saat Rara terjatuh di samping mobil mereka dengan membawa Rara berobat ke rumah sakit dan mengantarkan Rara kembali ke rumahnya.

Aldo menjadi penggagas pemberian buku-buku untuk Rumah Singgah, sekolah Rara yang Bu Alya mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak pemulung itu di sana. Aldo yang menggagasi renang bersama di kolam renang rumahnya, serta menggagasi tinggalnya Rara di rumahnya sementara Ayah dan Nenek Rara dalam keadaan kritis. Aldo, anak berkebutuhan khusus itu, menjadi tokoh utama yang sangat manusiawi.

Betapa sebuah "kebaikan" merupakan bahasa yang dipahami oleh semua insan. Dulunya saya bertanya-tanya, apa konsep seorang anak berkebutuhan khusus (anak yang tidak lazim, atau tidak sama dengan anak pada umumnya) tentang "kebaikan", spiritualitas dan kehidupan. Film ini memecahkan keingintahuan itu. Sungguh Aldo dan anak berkebutuhan khusus lainnya pun pada kenyataannya memiliki pemahaman yang sama. Satu hal yang menarik, bahwa mereka pun lebih mulia.


Salam Secangkir Kopi!

Tanjung Duren, Minggu Pagi.

Kamis, 24 Februari 2011

Minum Kopi di Busway

Yuk!

Menikmati secangkir kopi di bus Transjakarta (baca: Busway) benar-benar meneduhkan jantung.:-) Mari bersama toast untuk kopi kita! Toast!

Berbondong-bondong menuju pintu karcis, kretak krutuk, kletek kletak, derap langkah insan-insan sibuk sungguh meramaikan ibukota. Langsung terbayang dengan derap langkah kuda di jaman dulu, barangkali tak jauh berbeda. Betapa kagum! Puluhan, mungkin ratusan bahkan dalam sehari entah ribuan orang bisa melewati lantai-lantai besi itu, hingga tampak banyak bagian besi itu terkikis oleh kaki. Licin dan mengkilap, menipis, dan sebagian mulai berlubang karena menipis. Bahkan karat pun tak berani menempel. Mewangi, ramai, segar, panas, sesak, semua menyatu di pagi hari menuju kereta kencana Jakarta, sang Busway. Ya, sang Busway. Menantinya bak menanti keselamatan. Klaksonnya bak lonceng kemenangan. Berhari-hari dengan hal yang sama, menjadi sebuah rutinitas yang selalu dapat disaksikan di tengah hiruk pikuknya kota ini. Banyak sama dan sedikit berbeda dengan petang, saat sang pejuang nafkah kembali dari medan perangnya masing-masing. Aroma parfum bercampur aroma manusiawi, nafas-nafas panas dan kering, wajah-wajah lesu dan lelah menjadi warna rutinnya saat petang hingga malam. Ya, mari minum kopi di busway!


Pemersatu Kebhinnekaan
Minum kopi di busway selalu menggairahkan. Bukan saja takut kopi tertumpah karena guncangan beberapa lubang dan rem sang pengemudi, namun kopi itu membuat mata tak bisa terpejam. Selalu ada hal baru! Fenomena Smartphone berbagai merek, QWERTY, touchscreen, mulai dari harga tertinggi di nusantara hingga harga terendah di nusantara ada di busway. Selalu demikian pagi dan petang. Berbagai pola wajah, mulai dari kantoran, bersantai, riang, gundah, semua menyatu di busway. Tak heran bila busway bagiku adalah pemersatu kebhinnekaan! Tak bisa memejamkan mata. Selalu ada yang menarik untuk dilihat:-)


Superplong Sang Pembunuh Supermacet
Keresahan dan kejenuhan dengan macetnya ibukota bukan saja menjadi milik masyarakat pada umumnya. Pak Beye pun, bahkan jajaran media menyorot sumpeknya kota ini, dengan sekelumit masalah terkait kepadatan penduduk, jumlah kendaraan bermotor yang kian meningkat serta polusi yang ditimbulkannya, hampir tak terpecahkan. Saat dibuatnya jalur-jalur khusus busway dan pengontrolan penggunaan jalur busway, baru nafas terasa lega sebab naik busway kemanapun lebih cepat dan lebih hemat. Saya sudah putus hubungan dengan macet! Supermacet telah tiada sejak superplong diberlakukannya koridor 9 dan 10, serta survey berkala oleh ITDP dan layanan cepat dari sang superplong yang asli. Namun banyak superplong palsu pula berkeliaran! Waspadalah!:-)

Layanan Premium dengan Harga Ekonomis
Entah sampai kapan para pemilik mobil mewah akan menggunakan busway menjadi alat transportasinya menuju kantor dan rumah. Dalam liburan Desember hingga Januari, hampir tidak pernah saya menaiki busway, sebab mengendarai mobil menjadi pilihan pertama. Saat harus menaiki busway kembali, mulai resah dengan bayangan akan kepadatan antrian, panas, berdiri sepanjang perjalanan, dan lelahnya dalam perjalanan. Namun kinerja dan upaya Transjakarta tidak dapat dianggap enteng. Betapa nyamannya saya menaiki busway Grogol-Harmoni, Harmoni-Bendungan Hilir, Harmoni-Senen, dan sebaliknya. Bahkan jauh lebih nyaman daripada taksi BlueBird atau Silver Bird! Sungguh! Jalur busway telah steril dan perjalanan kemanapun sangat cepat, bahkan kadang lebih cepat daripada antriannya, dan pasti lebih cepat daripada menaiki taksi yang masih terikat dengan kemacetan dan biaya yang semakin besar terlebih dengan naiknya harga BBM.


Ketika Busway Menjadi Pembuka Masalah Sosial
Mulai dari Blok-M hingga Harmoni, dan dari Harmoni hingga Pulo Gadung, aku tak berhenti mencatat di memoriku betapa banyaknya pendobrak detak jantungku. Siapapun pasti merasakan hal yang sama jika mengalaminya. Antrian panjang yang tak kurang dari setengah jam, berdesakan dan saling mendorong untuk masuk... Jika saja nafas manusia adalah asap, halte Harmoni tentulah penyebab polusi kota ini. Kepulan asapnya bisa saja melebihi kepulan asap pabrik kertas Indorayon dulu di Sumatera Utara. Aku teringat dengan adanya pemisahan antrian laki-laki dengan wanita, ditempel jelas di pintu masuk dan keluar halte. Keliaran lelaki dan perempuankah yang disimbolkan dengan aturan itu? Antrian buswaykah pemicu keliaran itu? Di beberapa halte, aturan tersebut tinggal tempelan kertas yang sudah tidak terlihat lagi tintanya, dan antrian kembali membaur. Hampir di semua halte busway, mesin ATM Bank DKI berfungsi sebagai penghias saja. Saya heran, di luar halte busway, justru mesin ATM berfungsi optimal melayani para nasabah. Kedua tempat itu memiliki SATPAM atau setidaknya yang bertanggungjawab menjaganya. Lantas, buswaykah pemicu kriminalitas baru tersebut? Bahkan pintu-pintu haltepun sudah tidak berfungsi elektronis lagi, serta kasus pencurian, perampokan dan penyekapan marak. Jumlah pengemis jembatan-jembatan penyeberangan menuju halte busway, pengasong, pedagang kaki lima, semakin hari semakin bertambah. Jembatan penyeberangan itu bahkan terasa seperti pasar dengan kemacetan pejalan kaki pula karena dagangan mereka mengambil setengah area pejalan kaki. Saya sedang mensinyalir akan ada arogansi para pengemudi busway pula. Dipicu oleh semangat dan komitmen pemerintah DKI untuk mensterilkan jalan busway, para pengemudinya pun serta merta dengan mudah saja melindas kendaraan yang secara sengaja atau tidak masuk ke jalur busway, bahkan orang pun tak boleh menyeberanginya (lihat pemberitaan bulan lalu, anak kecil ditabrak tewas oleh busway, pengendara motor meninggal karena busway).
Dialihkannya trayek PPD dan Mayasari Bakti yang searah dengan busway pun bersamaan mengalihkan kriminalitas ke busway. Kemanakah para artis bis kota itu akan pergi? Kemanakah para preman dan pemalak pergi? Tentulah busway bukan menjadi tempatnya. Maka mereka harus memodifikasi bentuk premanismenya dengan yang lebih sesuai dengan busway, sebab memang bus umum adalah kantor mereka. Para preman tak lagi berpakaian sangar, namun mulai berkemeja wangi. Para pengamen beralih menjadi banci di lampu merah, lap mobil, dan lainnya yang lagi-lagi menimbulkan masalah baru--KEMACETAN. Apakah yang ada dalam benak para kaum margin ini saat adanya busway dihubungkan dengan kerja apa yang akan mereka lakukan?


Resiliensi: Secangkir Kopi
Pusat keramaian memang menjadi pusat masalah. Berani ramai, berani menuai masalah. Para tokoh dalam tulisan ini adalah: aparat keamanan, supir busway, kaum margin, penumpang busway, dan presiden. Anda siapa dari antara mereka? Luangkan waktu Anda membantu mereka...



Salam secangkir kopi!
Gn. Sahari Selatan, 24 Februari 2011, 21.00 WIB.

Potret!



Baginya, terlihat sulit sekali mengambil sepenggal potret badanku yang akan kusertakan di CV baruku. Tiga puluh menit akhirnya aku merasa puas dengan salah satu hasil jepretannya, sementara yang lainnya kuhapus. Hahaha! Begitulah. Rasanya puas melihat hasil foto yang satu itu. Walau memang faktor wajah yang kurang bersahabat di kamera memang salah satu faktor yang menghambat.:-)

Anyway, life is a potret! Sekali menjalaninya, tidak akan dapat diulang kembali. Setiap detik berlalu, itu adalah potret. Ya. Potret adalah masa lalu! Hal itulah yang terefleksikan olehku, saat aku melihat kamera kecil itu, bergumam dalam hati, mengapa harus ada kamera? Ya. Potret adalah masa lalu! Maka kamera adalah masa lalu. Betapa berharganya masa lalu, sehingga kamera menjadi sebuah benda yang dianggap wajib dimiliki setiap orang (entah di HP, kamera kantong, atau bahkan kamera berlensa yang kisaran harganya 14-30 jutaan). Betapa mahalnya sebuah potret. Ya, sebuah potret. Mari berfoto! Mari membangun masa lalu yang indah! Mari tersenyum! Ciptakanlah foto-foto terbaikmu di semua lensa kamera yang ada.


Salam Secangkir Kopi!
Tengah malam di Ibukota, 23 Februari 2011

Rabu, 23 Februari 2011

Resilience!

Waktunya tidur. Mulailah bermimpi. Seonggok harapan, segudang nafsu, sekelumit keliaran, jelajahi represimu! Jadilah manusia! Lepaslah resilience!

Waktunya untuk berbenah. Masuklah ke alam mimpi. Bersama Freud. Bersama Nietszhe. Bersama "aku"mu. Jadilah manusia! Lepaslah resilience!

Waktunya terpingkal. Kemarikan suaramu. Tegangkan nadimu, sorakkan ceriamu. Jadilah manusia! Lepaslah resilience!



Ibukota, 23 Februari 2011